Mainan Baru

30 Nov

Horree sudah umur segini masih suka main! hehehe. Sepertinya bermain memang bukan monopoli anak-anak saja kan? Asal bermainnya tidak negatif, boleh kok main terus sampai …. mati 😀

OK langsung saja deh aku memang punya mainan baru! Tepatnya sejak tanggal 13 Oktober yang lalu. Sudah  1 bulan lewat, dan aku mulai terbiasa bermain dengannya. Ya, aku dibelikan gadget ini oleh Gen sebagai hadiah 20th  berada di Jepang….

Aku ditawari Gen mau iPad atau iPhone, dan jelas kupilih iPhone. Tahu kenapa? Karena adikku punya yang 4S dan aku melihat hasil fotonya bagus-bagus, terutama untuk dalam ruangan. HP ku sudah bagus untuk fungsi cameranya, tapi kalau di ruangan kurang cahaya, maka hasilnya kurang bagus a.k.a buram. Sudah itu saja 😀 Fitur-fitur lain tidak penting bagiku. Karena itu ketika kami terpaksa harus mengganti kamera Canon Powershot kami karena sudah “koit”, kupikir aku tak perlu lagi iPhone. Untunglah suamiku gigih menanyakan terus, sehingga akhirnya aku memesan di counter AU, operator teleponku yang menyediakan iPhone 5 ini. Selama ini, sampai dengan iPhone 4S, hanya dimonopoli operator Softbank, sehingga kalau mau menggunakan iPhone, harus pindah operator. Dan aku tidak mau pindah. Alasannya? Operator ini sudah kugunakan lebih dari 15tahun, dan service “humanis” seperti yang kutulis di sini. (Menawarkan pindah paket karena pemakaian membengkak pada tengah bulan untuk menghindari kewajiban harus membayar dalam jumlah besar) Aku pernah mempunyai telepon cadangan dengan operator Softbank, tapi aku tutup…. kurang sreg dengan pelayanannya.

Hari pertama menerima gadget baru, aku masih bingung bagaimana harus menelepon, atau mengirim pesan. Untung saat itu yang menghubungiku cuma adikku, jadi sambil belajar, sambil memakainya. Yang lucu aku belajar pemakaian gadget baru itu selain dari adikku tentunya, justru dari Riku. Riku tahu pemakaian fungsi panorama pada kamera, sehingga mengambil foto pertama di hari pertama. Dasar anak jaman sekarang, cepat sekali menyerap teknoogi. Aku baru bisa menguasai fungsi itu sesudah2 minggu! Dan kemarin aku memotret foto panorana 360derajat yang menjadi andalan iPhone5 ini di taman Okuma yang terletak di sebelah universitas Waseda dan Rihga Royal Hotel Waseda.

Ya, akhirnya aku sempat juga melihat keindahan musim gugur dengan warna dedaunan yang khas, setelah berkali-kali batal rencana pergi di akhir pekan. Ternyata ada tempat sebagus ini di tempat kerjaku! Tahu begitu kan aku bisa bahwa DLSRku juga 😀

Senang sekali loh melihat pemandangan seperti ini meskipun hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit! Mahasiswa di sini benar-benar dimanjakan oleh fasilitas taman sebagus ini. Tapi memang karena aku datang pas jam kuliah ke 4, jadi tidak banyak mahasiswa orang Jepang yang bermain di taman itu. Kebanyakan mahasiswa dari Taiwan atau China, sehingga aku kaget sekali waktu menoleh ingin meminta diambil fotoku, ternyata mahsiswi itu berjilbab! Langsung kutanya: Dari Indonesia ya? Ternyata dia mahasiswa program Master, dan kami akhirnya gantian mengambil foto kami dengan latar belakang pemandangan indah itu.

Kembali lagi ke gadget, mainan baruku ini bisa SIRI, fungsi mengenali suara dan melaksanakannya. Aku memang sudah lihat di iklan TV, tapi sama sekali tidak bermaksud untuk menggunakannya. Tahu-tahu waktu aku menyetir, aku memang meminjamkan gadget itu kepada Riku. Lalu dia berkata: “One Piece”. Dan dengan bantuan SIRI itu dia mengakses You Tube yang menampilkan film anime One Piece yang dia mau tonton. Waaaaahhh Riku lebih tahu dari mamanya! Pernah tidak merasa “sebal” karena anak kita jauh lebih tahu dari kamu? Kelihatannya aku sudah harus menerima kenyataan itu loh 😀

Tapi tentu saja yang bisa download aplikasi hanya aku. Dan dari aplikasi yang aku pakai, ada beberapa yang sudah aku hapus, karena kurasa tidak perlu. Hari kedua memakai gadget baru itu aku langsung download app Viber dan Whatsapp! Senang sekali bisa bercakap-cakap dengan teman-teman tanpa harus keluar uang. Dan aku juga tentu saja ikut-ikutan memakai aplikasi yang sering dipakai “warga smartphone” seperti Instagram, Path, Line (belum ada satupun yang call aku lewat LINE nih…hehehe, jadi belum tahu cara pakainya) . FB, WordPress dan Twitter tentu keharusan ya :D. Dan yang terakhir aku ikut-ikutan Titik (thanks ya Tt) yang memakai aplikasi Accuweather. Bagus juga aplikasi ini karena memberitahukan suhu kotaku, lengkap dengan info kelembaban, angin, dan yang penting real feel. Jadi meskipun tercantum 10 derajat, karena faktor angin dan kelembaban, bisa saja real feelnya cuma 3 derajat. Seperti hari Rabu kemarin terasa dingin sekali, tercantum 7 derajat, padahal real feelnya 3 derajat, dan keseokan harinya tercantum 14 derajat padahal real feelnya 16 derajat! Bingung deh badannya.

Aplikasi game? Tadinya aku tidak mau download aplikasi game (apalagi yang angry bird, bisa-bisa HPku tidak bisa aku pakai karena dipakai anakku terus), tapi sekarang ada satu game dalam iPhoneku itu. Bernama “Atta あった” yaitu mencari barang-barang yang disebutkan dalam gambar. Aku sadari bahwa ternyata masih ada beberapa nama barang dalam bahasa Jepang yang tidak aku ketahui. Bagaimana bisa mencari barang itu kalau kita tidak tahu apa artinya hehehe. Jadi sekaligus deh belajar bahasa Jepang. Sayang permainannya terbatas karena memang gratis sih ya. Jika semua aku sudah bisa temukan berarti aku harus cari game baru lagi deh 😀

Maaf kalau posting ini terkesan pamer, tapi sebetulnya aku tidak bermaksud pamer gadgetnya. Aku tadinya cuma mau pamer foto panorama dan foto-foto musim gugurnya aja kok hehehe.

Posting ke 12 di bulan November (lebih bagus performasinya daripada Oktober yang cuma 10 postingan) yang tinggal satu hari kurang …..

 

 

Tiny

25 Mei

Melihat foto-foto tentang “tiny” di blognya Desty dan Titik, jadi ingat punya foto yang cocok. Tidak untuk disertakan dalam weekly photo challenge sih, hanya sedang malas berpikir untuk menulis posting hari ini.  Batuk masih menyiksa padahal besok harus mengajar.

kecil ya? ibu jariku normal kok

 

 

 

yes, he is sooooo tiny.... and who is he? Riku or Kai?

 

Terima kasih atas komentar sahabat-sahabat. Si pemilik jari mungil itu adalah RIKU. Sekarang jarinya sudah sebesar jariku, padahal baru 8 tahun loh hehehe

Pertanyaan itu….

27 Okt

Sebelum aku mulai tulisan ini, aku ingin sampaikan duka mendalam untuk korban di Mentawai, korban letusan Gunung Merapi, dan…korban banjir Jakarta. Memang kelihatannya Indonesia dihajar musibah bertubi-tubi, dan sebetulnya di Jepang pun ada sebuah pulau terendam air saat badai mengamuk beberapa hari yang lalu. Bumi sudah tua?

Aku bisa bayangkan paniknya mereka yang mempunyai saudara di tempat-tempat musibah. Begitu aku mendengar gempa di Padang, aku langsung sms ke seorang teman di sana. Dan mendapat jawabannya jam 1 malam di sini. Syukurlah dia tidak apa-apa. Demikian pula begitu mendengar Merapi meletus aku langsung menelepon rumah, tanya kabar dan mengetahui bahwa papa sedang pergi ke Pekanbaru untuk mengajar.

Tadi aku sempat chatting dengan Nana di YM. Dia mengatakan “Aku tidak tega menonton TV tentang wawancara yang dilakukan pada seorang ibu yang bayinya meninggal karena menghirup abu letusan gunung Merapi. Belum lagi si jurnalis TV menginterview keluarga Mbah Marijan dengan memakai perkataan mati gosong (aku tidak hafal tepatnya apa, tapi tidak layaklah pemakaian kata itu untuk manusia)”.

Memang seorang jurnalis harus membuat berita yang bagus (demi rating?). Dan namanya juga manusia bahwa di saat-saat seperti musibah, tidak bisa merangkai kata-kata manis sebagai pertanyaan karena panik. Tapi mbok yo yang sopan sedikit kan bisa. Karena sesungguhnya bahasamu adalah pribadimu….wahai jurnalis. Bahkan aku pernah membaca di salah satu buku jurnalis, bahwa selayaknya wartawan belajar (kuliah) membuat pertanyaan-pertanyaan yang “bernurani” kepada korban dengan simulasi-simulasi dan latihan.

Biasanya media di sini mewawancarai keluarga korban meninggal bukan dengan “Bagaimana perasaan Anda mendengar dia meninggal”, tapi “kami turut belasungkawa. Kira-kira ada pesan almarhum yang ditinggalkan sebelum meninggal?”. “Bagaimana kronologis sebenarnya yang terjadi?” dll.  Dan biasanya memang meskipun menginterview keluarga, biasanya bukan ayah/ibu/keluarga langsung. Biasanya om/tante, keluarga jauh, yang diperkirakan bisa menjawab pertanyaan. Biar bagaimanapun juga “perasaan Anda ttg almarhumah” tidak pantas untuk ditanyakan. Adakah orang yang tidak sedih jika anak/orangtua/saudara kandungnya menjadi korban? Lain halnya jika kejadian sudah cukup lama berlalu.

Dalam kasus pembunuhan, jika tersangka masih dibawah umur (di bawah 20 th) tidak dibenarkan menuliskan nama tersangka. Hanya diberi nama Shonen A. Juga bukan inisial. Begitu pula keluarganya tidak boleh ditampilkan wajahnya, untuk melindungi privasi ybs dan keluarganya. Karena si remaja tersangka pembunuhan, jika benar menjadi terdakwa dan menjalankan hukuman, masih ada kemungkinan dia akan keluar penjara dan hidup di masyarakat. Tidak diumumkannya nama remaja itu juga untuk melindungi dia waktu dia keluar penjara, kelak.

Itupun biasanya bertanya dulu kepada si pemberi info/yang di interview apakah mau wajahnya disorot atau tidak. Tidak jarang kami hanya melihat tubuh bagian bawah dengan suara ybs, atau diblur wajahnya dan suaranya pun diubah. Dan jangan harap pemirsa di Jepang bisa melihat tayangan jenazah. Tidak ada satupun media yang menampilkan wajah/tubuh orang yang sudah meninggal. Demikian pula tidak ada satupun foto jenazah dalam peti mati, meskipun saudara yang diambil/dipotret! Tidak ada fotografer di sebuah pemakaman/upacara penghormatan jenazah terakhir di Jepang! Jangan sampai orang Indonesia meminta izin kepada keluarga Jepang untuk memotret dirinya dengan jenazah! Tidak sopan.

Memang budayanya lain. Aku pun sering melihat foto-foto anggota keluarga besarku yang meninggal, wajahnya sebelum petinya ditutup. Atau biasa saja kita melihat orang yang mengupload foto jenazah kekasihnya tersebut di media internet. Wajah kematian.

Jepang menganggap orang yang sudah meninggal sebagai “hotokesama” seorang yang disucikan, kembali ke alam suci. Setiap polisi, atau medis yang harus menangani jenazah korban baik musibah atau pembunuhan, pasti menghormat di depan jenazah, seakan meminta izin. Aku tidak tahu apakah agama islam ada doa khusus sebelum menangani jenazah atau tidak. Yang kutahu bahwa ada doa waktu pertama kali kita mendengar berita kematian dengan Innalilahi…. atau surat Al Fatihah.

Sebagai hotokesama, tidak pantas kita memotret jenazah, kecuali mungkin polisi sebagai barang bukti. Dan yang pasti, foto jenazah itu TIDAK AKAN diperlihatkan kepada masyarakat umum. Terus terang aku kaget sekali melihat foto jenazah Mbah Marijan diupload begitu saja di Facebook. Entah orang itu dapat darimana, mungkin media, karena kalau medis menyebarkan foto seperti itu semestinya melanggar kode etik (atau ada kekecualian di dunia medis Indonesia?). Mungkin foto itu sebagai pembuktian bahwa beliau bersujud menyongsong kematian. Tapi apakah kita harus melihat bukti khusus berupa foto itu? Aku rasa tidak akan ada yang menyangkal kok apapun posisi jenazah, sehingga perlu ada pembuktian begitu. Atau mungkin ada tujuan lain dengan foto tersebut? Aduh… kemana moral manusia Indonesia?

Aku mungkin akan merubah pandanganku tentang foto jenazah saudara yang meninggal, setelah aku tinggal di sini 18 tahun. Aku lebih setuju mengenang wajah kala orang itu masih sehat dan segar, ketimbang merekam wajah yang tanpa nyawa. Apakah foto jenazah itu akan dipandangi terus? Kalau toh tidak dipandangi, buat apa difoto ya? Aku ada foto jenazah Oma Poel, tapi aku hanya menyimpannya dan hanya melihat satu kali waktu menerimanya, untuk kemudian tak akan pernah kubuka. Wajah Oma yang ceria dengan senyum yang khas lah yang ingin aku kenang. Bukankah begitu?

Hormatilah korban dengan perkataan/pertanyaanmu, dan tindakanmu. Karena meskipun sudah tak bernyawa, mereka tetap saudaramu. Bukankah kita semua bersaudara? Tak pantas kita menyakiti saudara kita, bukan?

(akhirnya tertulis juga uneg-unegku tentang media Indonesia.)

Orang Jepang Suka Pameran

9 Apr

Ya aku setuju dengan pernyataan itu. Bukan MAMER diri sendiri loh, tapi maksudnya pergi melihat pameran di museum-museum atau galeri seni.

Surat kabar The Art Newspaper versi online yang berkantor di London Inggris menyatakan bahwa orang Jepang adalah pecinta pameran sedunia. Mengapa? Dari seluruh pameran yang diadakan di seluruh dunia selama tahun 2009, jika dilihat berdasarkan jumlah pengunjungnya per hari, maka Jepang menduduki 4 ranking teratas di dunia.

Ranking satu  adalah pameran “Warisan Negara patung  ASHURA”  di Tokyo National Museum yang menyerap pengunjung sebanyak 15.960 orang rata-rata satu hari pameran. Yang kedua adalah pameran “Shosoin” di Nara National Museum dengan pengunjung sebanyak 14.965 orang/hari. Pameran “Permata Kekaisaran ” yang juga diadakan di Tokyo National Museum dengan pengunjung sebanyak 9473 orang/hari. Dan rangking kelima adalah pameran “Lukisan Eropa abad 17 dari Mouseum Louvre” yang diadakan di National Museum of Western Art, Tokyo, yang pengunjungnya 9267 orang/hari. Yang kelima di mana? Di Musee du quai Branly,Paris yang menyelenggarakan pameran foto dengan pengunjung per harinya 7868 orang.

Pamflet/poster pameran Ashura di Tokyo National Museum

Dikatakan oleh surat kabar tersebut bahwa kecintaan orang Jepang terhadap seni dan pameran tidak mengenal resesi. Hmmm mungkin benar juga, karena sebetulnya harga karcis masuk melihat pameran-pameran itu cukup mahal (menurut aku sih). Misalnya untuk melihat pameran Ashura itu untuk orang dewasa 1300 yen, mahasiswa 1000 yen, SMA 800 yen (bisa makan bento 2 kali tuh), SD/SMP 600 yen. Tapi mereka mau menyisihkan uang untuk mendatangi pameran itu!

Dulu, waktu masih single, aku kadang pergi ke museum, terutama untuk melihat pameran pelukis-pelukis “Impressionis”, tapi kalau sekarang mungkin pikir-pikir dulu. Kecuali kalau mendapat karcis gratis/potongan harga. Nah, biasanya kami yang berlangganan surat kabar tertentu suka mendapat potongan harga atau malahan karcis gratis pameran kesenian begitu yang disponsori oleh surat kabar tersebut. Sebagai salah satu cara promosi penjualan surat kabar kepada pelanggan, mereka membagikan karcis-karcis pameran kesenian atau pertandingan olahraga. Seperti beberapa waktu yang lalu aku mendapat karcis gratis untuk melihat Art Fair Tokyo yang diselenggarakan awal April  untuk 2 orang dari surat kabar langganan kami. Selain itu kami masih mempunyai (diberikan) beberapa karcis pameran “mamalia” dan potongan harga untuk masuk ke kebun binatang.

Karcis pameran gratis Tokyo Art Fair

Yah, bagi orang Indonesia (baca Jakarta) sekarang mungkin tujuan rekreasi akhir minggu adalah mal, tapi di Jepang? Mal bukanlah tujuan rekreasi. Pameran, Museum, Taman, Pertandingan olahraga, lebih menarik dari pada melihat orang-orang dan barang-barang dalam gedung tertutup. Ada yang memang harus mengeluarkan uang, tapi banyak pula kesempatan untuk mendapatkan karcis masuknya secara gratis, atau pelaksanaan pameran itu sendiri tidak dipungut biaya.

Mungkin kecintaan orang Jepang terhadap seni juga membawa mereka maju seperti sekarang ya? who knows….

Kamera

2 Des

Senin kemarin Riku libur. Karena semestinya Sabtu lalu ada acara pertunjukan musik oleh seluruh kelas, dan batal karena ada kelas yang “diliburkan” karena terlalu banyak yang tidak masuk/sakit influenza. Dan aku sudah berjanji akan “date” bersama dia makan di MacD (tentu saja yang lebih dicari adalah mainan yang menjadi hadiah dari Happy Set. Jadi setelah antar Kai ke penitipan Himawarinya jam 10:45, kami langsung ngedate tanpa lupa utuk memotret pakai kamera HP dulu di dalam lift. Kenapa dalam lift? Karena di situ ada cermin besar dan aku pakai cara memotret pantulan aku dan Riku di cermin. Tidak ada orang untuk dimintai memotret kami soalnya. Hasilnya lumayan kan?

Dan foto ini juga lumayan menuai “komentar” di fesbuk, apalagi dari pakde, katanya:” ala maaaaak. Lift jadi ajang narsis-narsisan juga? oh my goooot.. EM…. wots wrong???” hihihi. Tapi ada juga yang mengatakan kelihatan kurus! Well… I’ll tell you what…. camera can lie… Kamera bisa berbohong. Yang jelek kelihatan cantik, yang gemuk kelihatan kurus….bahkan sebaliknya. Terlepas dari kamera itu berbohong atau tidak, kamera memang diperlukan oleh orang yang narsis. Bahkan tidak kurang dari Jeunglala, pasti tidak bisa hidup tanpa HP dan Kamera! bener ngga?

Well aku juga sama (dan aku yakin banyak juga yang seperti kami). Tak bisa hidup tanpa kamera. Bukan karena narsis (kadar narsisku kayaknya masih standar deh), tapi karena aku suka sejarah. Dan kamera membantu mengabadikan sejarah. Bayangkan kalau tidak ada kamera, bagaimana aku tahu nenek moyangku? Bagaimana rupa mereka?

sebuah foto yang menyatakan nenek moyang keluargaku sampai 4 generasi di atasku. Foto ini yang pasti dibuat sebelum 1912.

Foto atas adalah sebuah foto yang mengabadikan nenek moyang keluargaku (coutrier) sampai 5 generasi di atasku. Bapak pengantin pria (sebelah kanan) Diederik Coutrier orang belanda yang menikahi Putri Makassar bernama  Sanging Dg. Tanri ini diperkirakan merupakan pelopor “clan” coutrier di Indonesia Makassar. Foto ini aku perkirakan  dibuat kira-kira tahun 1910. Inilah sebab mengapa aku ingin sekali belajar bahasa Makassar, dan merupakan kemungkinan besar sekali (tinggal dibuktikan dengan test DNA hahaha), Aku dan Ria bersaudara dari generasi 5 tingkat di atas kami, dengan kata kunci Galesong (Kalau sudah terbukti kita tulis yuk Ri hihihi).

Mamaku dan aku hanya bisa mengenali perempuan yang melahirkan mama yaitu Oma dari foto ini. Karena Oma Julia Kepel- Mutter meninggal waktu mama berusia 1 tahun, dan dimakamkan di Yogyakarta. Aku pernah sekali nyekar ke makamnya, waktu SMP, tapi itu sudah bertahun berabad yang lalu. Ingin sekali mencari makam Oma Julia di Yogyakarta (kerkgov), selama masih ada kenalan yang hidup dan menandainya. Meskipun kami umat katolik tahu, di makam hanya ada tulang bahkan abu tanpa jiwa/roh (sebagian orang menyebut ruh, tapi yang bahasa Indonesia adalah roh). Oma Julia duduk di samping papanya, Opa Wijk Kepel di rumah di Yogyakarta tempat mama lahir dibesarkan sampai usia 6 tahun, dan setelah itu pindah ke Manado selama 10 tahun.  Yang pasti foto ini dibuat sebelum mama lahir tahun 1938. Foto yang masih kuanggap masih lebih baru dibanding foto tahun 1910. Tapi kedua foto ini menyimpan sejarah keluargaku. (Dan yang paling ribut ngurusin genealogy –silsilah keluarga– memang cuma aku hihihi… tapi kalau aku ngga ribut, mana bisa ketemu saudara di Internet coba?)

(kiri: imechan cilik, kanan: gen cilik bersama kembarannya, hayooo yang mana si gen?)

Tanpa ada kamera, tentu saja juga tidak ada foto-foto waktu aku kecil, yang imut dan… ndut bin  chubby hihihi. Dan waktu balita, aku ini ternyata narsis sekaliiii…. Tapi kenapa kok ujug-ujug (jw, tiba-tiba) Imelda cerita tentang foto dan kamera?

Ternyata tanggal 30 November lalu itu adalah hari Kamera di Jepang. Aku tahunya dari video-TV yang ada di atas lift tempat penitipannya Kai. Kamera no hi. Dan setelah aku cari di google Japan, ternyata hari ini ditetapkan sebagai peringatan untuk Kamera (bukan hari libur) oleh perusahaan Konica-Minolta) yang pada tanggal 30 November 1977 mengeluarkan kamera autofocus pertama di dunia KonicaC35AF. Sebelumnya pada tahuun 1963, pabrik yang sama telah mengeluarkan kamera AE (Auto Exposure) pertama di dunia. Dengan adanya program AE ini, siapa saja yang tidak memiliki pengetahuan fotografi bisa membuat foto, sehingga di Amerika kamera jenis ini disebut Vacation Camera, atau mungkin ada yang pernah dengar istilah Bakacon Camera (Baka= bodoh, orang bodohpun bisa memotret…..jadi kalau gagal pemotretnya lebih daripada bodoh dong ya hihihi). Bakacon mengandung bahasa “SARA” prejudice, jadi dilarang penggunaannya di Jepang (memang istilah ini untuk jaman dulu aja sih). Padahal kalau mau ditelusuri lebih jauh kamera berawal dari kamera obscura yang diketahui dalam buku “Books of Optics” (1021) karangan Ibn al-Haytham.

Sekarang hampir semua orang punya kamera, baik yang digital camera atau yang menempel di HP. Sudah jarang yang pakai film 35mm lagi ya? Aku  merasa sayang setiap melihat kamera Canon EOS Kiss non-digital (masih pakai film), karena itu adalah kamera pertama yang aku beli sendiri. Kamera non digital sekarang apa kabarnya ya?

Tanpa ada kamera, tidak ada foto dan tidak ada bukti sejarah…. Foto tertua yang kumiliki, selain kedua foto di atas, adalah foto dari kakek buyutnya Gen pada tahun 1905 (tentu saja reproduksi). Apakah kamu juga punya foto bersejarah?

(Posting ini merupakan posting yang tertunda dua hari deh… karena perlu memeriksa sumber/bukti terlebih dahulu)

Kaleidoscope

22 Des

Saya diberi tugas oleh Bang Hery untuk membahas tentang kaleidoscope. Setelah saya cari dalam google versi jepang, saya mendapatkan keterangan ini.

Kaleidoscope berasal dari bahasa Yunani yang merupakan paduan kata [Kalos] yang berarti indah, [eidos] berarti corak dan [scope] berarti melihat. Jadi kaleidoscope sendiri merupakan sebuah alat semacam teropong yang didalamnya terdiri dari 3 lembar lempengan kaca yang diberi sekat, dan di bagian dalam diberi kepingan kaca atau kertas warna warni sehingga bisa memantulkan sesuatu corak yang berwarna-warni. Kita bisa melihat langsung ke dalam teropong tersebut atau memantulkannya ke dinding. Seni ini sangat terkenal di Jepang, sehingga kalau Anda pergi ke toko cendera mata, pasti akan menemukan tabung dengan lapisan kertas Jepang, dan jika Anda melihat lewat lubang kaca yang ada di ujungnya, bisa melihat corak warna yang bisa berubah jika tabung itu diputar.

Ya! itulah kaleidoskop (bahasa Jepangnya Bankakyou) . Arti sesungguhnya melihat corak yang indah…. sampai ada museum di Kobe bernama Kobe Kitano Kaleidoscope yang menyuguhkan keindahan kaleidoscope dalam berbagai jenis warna dan corak. Lihat slogannya, Healing and Relaxing Time with Beautiful View in a Small Hole.

Tapi di penghujung tahun biasanya memang ada acara di televisi/media lain di Indonesia yang menyajikan suatu rangkaian kejadian yang terjadi dalam satu tahun sebagai kilas balik, dan dinamakan Kaleidoscope. Tapi karena isinya bermacam-macam kejadian, dan termasuk juga kejadian buruk, mestinya tidak cocok ya dinamakan kaleidoscope. Semestinya diberi nama kilas balik saja… atau perenungan. Siapa yang mau usul?

Hei boy... what are you thinking about? Live? or enjoying the scenery or thinking of you Mother?
Hei boy... what are you thinking about? Live? or enjoying the scenery or thinking of you Mother?(Riku @ Okinawa)

:::::::::::::::::::::::

Saya sebetulnya ingin sekali membuat kaleidoscope eh kilas balik saya di tahun 2008. Tapi karena tidak ada waktu, saya ingin membuat sebuah “CHILDLENS”. Apa yang dilihat seorang anak melalui lensa kamera. Terinspirasi dari sebuah buku dengan judul sama, yang saya baca di Sendai. Seorang anak diberikan kamera dan bebas mengambil foto apa saja. Dalam buku itu ada foto tatami, ada foto kamar, atau mainannya, dan ada foto ibunya sedang berganti baju. Sebagai pengganti Kaleidoscope saya, saya ingin mengetengahkan childlens Riku yang membawa kamera waktu dia pergi ke Okinawa musim panas lalu. Saya pilihkan beberapa foto dia yang layak menurut kacamata orang dewasa.

Bagaimana? Apakah Anda terhibur dengan hasil potret Riku?

Waktu kecil dan pertama kali saya kasih Riku pegang/potret dengan camera digital, papanya bersungut-sungut. Katanya,”Anak-anak dikasih kamera, nanti kalau rusak bagaimana?” Tapi saya bilang, asal kita kasih tahu tidak boleh begini begitu kan pasti bisa. Kalau rusak ya itu resiko. Sama halnya waktu Riku sudah mulai mengerti dan menggeratak apa saja, saya bilang, “Jangan pegang pisau. Pisau itu bisa membuat berdarah, dan sakit. Tapi kalau Riku mau sakit, silakan!. Riku mau sakit?”….. Tentu saja dia bilang tidak. Dan sejak saat itu biarpun ada pisau di atas meja, dia tidak akan pernah ambil atau bermain. Malahan dia bilang, “Mama ini pisau. Bahaya loh!”….

Biarkan anak-anak bermain dan berkembang dan juga merasakan kenyataan yang mungkin tidak bagus, sejauh resiko itu masih rendah. (Tentu saja saya tidak akan biarkan dia berjalan sendirian di jalan besar waktu itu kan, karena semua juga ada waktunya. Lihat-lihat kondisinya lah….)

Photo Studio

25 Jun

Saya rasa, yang punya foto keluarga yang dipajang di ruang tamu dengan ukuran besar hanya orang Indonesia. Keluarga Indonesia waza-waza (dengan sengaja) akan pergi ke Photo studio untuk mengambil foto keluarga. Ada yang dengan seragam batik, atau kebaya/baju nasional, ada yang dengan baju hitam semua, ada yang dengan baju warna-warni alias bebas. Orang Indonesia boleh dikatakan suka berfoto. Kalau lihat blog orang Indonesia pasti ada isi foto sendiri/keluarga. Berlainan dengan orang Jepang, biasanya isinya foto anjing/kucing kesayangan, makanan, benda, pemandangan. Jarang yang memasukkan foto diri sendiri, foto keluarga, foto teman sekolah dll. Selain bermasalah dengan privacy orang, orang Jepang jarang mengabadikan sesuatu dengan foto. Anak muda Jepang sekarang, dengan adanya fungsi kamera di handphone mulai mengabadikan apa saja, dan mulai menjadi narsis seperti orang Indonesia hehehe.

Orang Jepang biasanya membuat foto di studio pada waktu mempunyai bayi yang berusia sekitar 30-40 hari, sekaligus dengan upacara Omiyamairi (Kunjungan perdana ke Kuil Shinto). Sesudah ke Kuil biasanya orang tua akan membawa bayinya ke foto Studio untuk dipakaikan kimono sewaan, lalu diabadikan. Kadang bersama orang tua + saudara kandung. Setelah upacara Omiyamairi, biasanya mereka akan ke studio lagi pada waktu perayaan shichi-go-san (7-5-3) . perayaan untuk anak perempuan berusia 3 dan 7 tahun, dan bagi laki-laki umur 5 tahun. Anak-anak itu akan memakai kimono, yang biasanya disewakan oleh Photo Studio itu. Setelah upacara7-5-3 itu, tergantung kondisi keluarga itu, ada yang pergi ke studio waktu upacara masuk TK (3 atau 4 th) atau masuk SD (6 th).

Sesudah itu biasanya akan membuat foto lagi pada waktu upacara menjadi dewasa Seijinshiki yaitu waktu usia 20 tahun. Waktu itu, seorang gadis akan memakai kimono yang dinamakan Furisode (lengannya panjang). Orang tua akan membelikan kimono ini untuk anak gadisnya, yang biasanya mahaaaaaaaaaaal sekali. yes, KIMONO is expensive. Ada mantan murid saya yang dibelikan kimono seharga 1.000.000 yen. Katanya, ini adalah pemberian termahal kepada anak perempuan, karena soro-soro (sebentar lagi) akan menikah. Sesudah menikah, furisode miliknya akan dipotong lengannya yang panjang sehingga bisa dipakai lagi dalam kesempatan yang lain. Tapi karena corak kimono untuk usia 20 tahunan biasanya cerah, tidak begitu cocok untuk mereka yang dianggap sudah berstatus ibu. Jadi? bagaimana nasib furisode itu? Ya , mungkin dijual atau menjadi penghuni lemari, dan bisa diberikan pada anak perempuannya kelak.

Setelah umur 20 tahun, foto berikutnya waktu lulus sarjana dan menikah. Untuk foto wisuda, mantan mahasiswi itu akan memakai Hakama, seperti kimono laki-laki tapi bercorak bunga. Sudah menikah? Tentu saja yang menjadi pusat perhatian adalah bayi yang baru lahir, dan kembali lagi ke siklus di atas tadi. Jadi foto keluarga biasanya hanya foto Bapak-Ibu-bayi (anak) dari . Dan sekali lagi, tidak semua orang Jepang menjalankan kebiasaan berfoto bersama satu keluarga.

—– hakama (perempuan dan laki-laki) serta furisode.—

Kalau di Jakarta, saya selalu membuat foto keluarga di Yo Photography di jalan Puloraya, dekat SMA ku dulu. Asal semua sudah siap, langsung difoto dan langsung minta cetak ukuran berapa, lalu pilih pigura, selesai. Kayaknya tidak pernah lebih dari satu jam deh. Lalu fotonya sendiri biasanya lebih artistik daripada foto di studio di Jepang. Foto di Jepang kebanyakan latarnya berwarna putih atau pastel. Sedangkan di Indonesia latar biasanya gelap, sehingga lebih menarik. Gaya orang Indonesia juga lebih beragam, lain dengan orang Jepang yang lebih kaku.

But, saya ketemu satu Photo Studio di Tokyo, di daerah Kichijoji, yang hasilnya sama dengan di studio Indonesia. Namanya Laquan Studio. Saya coba pertama kali di situ untuk pemotretan Riku kira-kira seperti Omiyamairinya. Tapi tidak menyewa pakaian dari mereka. Kebetulan ibu mertua berulang tahun ke 60, lalu adik dan adik ipar dari Sendai juga bisa hadir, sehingga kita membuat foto keluarga Miyashita yang pertama (di luar foto perkawinan). Sedangkan foto Riku bayi dengan oma opanya dibuat di Yo, jakarta. Nah anak kedua emang selalu kasihan deh. Kai sudah 11 bulan tapi belum pernah pergi ke photo studio. Lalu, tahun ini Riku berusia 5 tahun, jadi ada perayaan 7-5-3 (biasanya november). Karena mendekati november pasti studio penuh, mumpung masih banyak waktu saya pikir ambil foto sekarang saja. Apalagi kalau fotonya bisa jadi sebelum pergi ke jakarta. Bisa dijadikan hadiah untuk opa-omanya.

Jadi saya buat appointment hari Selasa kemarin jam 3, Riku dengan memakai kimono dan tuxedo, dan Kai memakai Kimono untuk bayi yang namanya odenchi. Wahhhh ternyata Kai nangis terus sehingga tidak sukses foto dengan odenchinya. Jadilah dia difoto hanya dengan pampers. Sedangkan Riku cerewet sekali. Dia sendiri yang pilih kimono dan tuxedo (baju pesta)nya. Waktu aku lihat kok hitam semua. Oi oi kamu masih anak-anak jangan pilih warna dewasa gini dong. Baju pestanya terbuat dari kulit, sehingga memang kita kasih nama baju Rockstar. Aku bilang tukar salah satu dengan yang warna cerah. Jadi dia tukar kimononya dengan yang berwarna biru dengan lukisan tradisional Jepang.

Hasilnya? Bagusan dengan Baju Rockstarnya itu daripada kimono. Mariko san yang menemani kita berkata, “Abis Riku bukan orang Jepang kan…lebih cocok yang Rockstar!” hehehe. Tapi emang benar aku lebih senang gayanya dia dengan baju Rockstar. Tidak sabar untuk menunggu hasil cetakan fotonya. Kemarin sebetulnya sudah pilih 30 lembar foto dari 148 lembar yang ada untuk dicetak. Tapi masih mikir karena mahal bo. Masak ukuran yang terkecil (L) biayanya 2100 yen ( Rp168.000) Kalau aku jadi cetak semua yang dipilih berarti 63.000 yen… wah bisa nangis deh. Memang sih biaya pemotretan, sewa baju semua gratis. Dan kalau dipikir-pikir 30.000 satu anak itu termasuk murah untuk Photo Studio di Jepang. Huhhhh, jadi bisa mengerti ya kenapa orang Jepang jarang berpotret sekeluarga hehehe. Kita akan lihat lagi foto-foto itu hari minggu bersama papanya Riku, dan biar dia tentukan berapa lembar yang akan kita pesan. Nanti kalau sudah jadi saya scan dan kasih liat deh…. ditanggung yang cewe-cewe berebut minta fotonya …hahaha (oyabaka.… arti harafiahnya orang tua bodoh, tapi ungkapan ini diucapkan jika orang tua memuji-muji anaknya sendiri. memuji keluarga sendiri seakan tabu dalam masyarakat Jepang. berlainan dengan masyarakat Indonesia ya…)