The Floating Castle adalah bahasa Inggrisnya sebuah film Jepang yang berjudul Nobou no Shiro. Sebuah film berlatar belakang sejarah Jepang di tahun 1590, waktu Toyotomi Hideyoshi sebagai daimyo (tuan tanah) berusaha menyatukan Jepang. Jaman itu memang jaman yang penuh peperangan yang disebut dengan Sengoku Jidai 戦国時代 . Nah, pasukan Toyotomi Hideyoshi ini mendapat perlawanan keras dari sebuah castle yang dikelilingi danau yang bernama Oshijou 忍城.
Pemimpin Oshi Castle ini adalah Narita Nagachika yang masih muda dan nyentrik, dan harus menggantikan ayahnya yang meninggal menjadi pemimpin daerah itu. Bagaimana tidak nyentrik atau bahkan gila dilihat dari sebutan yang diberikan “Nobou” (singkatan dari Dekunobou) padanya, yaitu dengan kekuatan pasukan 500 orang dia bersikeras untuk MELAWAN pasukan Toyotomi Hideyoshi sejumlah 20.000 orang!
Pada saat pasukan Toyotomi (di bawah pimpinan Ishida Mitsunari) terdesak pada serangan pertama, mereka kemudian membuat Ishida Tsutsumi (Dam Ishida) yaitu sebuah dam untuk membendung aliran sungai dan memaksa Narita a.k.a Nobou ini untuk menyerah. Semua daerah yang rendah tertutup air, dan warga petani berlari mencari perlindungan ke kediaman Nobou. Tempat istana yang tidak sembarangan bisa diinjak kaum biasa itu apalagi waktu itu warga yang mengungsi berlumpur kakinya. Satu yang menarik sekali bagiku adalah Nobou sendiri TURUN menginjak lumpur dan menjadikannya sama dengan warga yang mencari perlindungan itu. Dia dan permaisurinya dengan kaki kotor mengajak semua warga yang ada untuk masuk ke kastil untuk berlindung.
Mengetahui bahwa dia tidak akan bisa menang dengan keadaan terendam air, maka Nobou pergi dengan perahu ke arah Ishida Tsutsumi di depan Maruhakayama Kofun (bukit makam yang menjadi pusat pasukan Toyotomi) untuk membuat pertunjukan tarian di depan musuh! Layaknya bunuh diri 🙁 Tarian Dengaku yang ditarikan merupakan tarian petani waktu berdoa pada dewa supaya panen berhasil. Nobou memang terkenal sebagai eksentrik yang suka bermain ke pertanian wilayahnya dengan maksud untuk membantu, tapi biasanya hanya akan mengganggu pekerjaan petani. Waktu dia sedang menari itulah, dia ditembak oleh pihak musuh.
Melihat pemimpinnya jatuh ke dalam air, beberapa petani yang menyusup ke dalam pasukan musuh membongkar tanggul sehingga air yang mengelilingi Shijo Castle itu surut. Pengaruh Nobou pada petani memang besar.
Setelah air surut, Nobou bersiap untuk berperang lagi. Demikian juga pihak musuh. Tetapi sebelum terjadi pertempuran, ada pemberitahuan bahwa Odawara Castle sudah kalah, sehingga peperangan tidak perlu dilakukan lagi. Odawara Castle lebih tinggi kedudukannya dari Oshi Castle. Pertempuran selesai dengan kondisi seri, namun tentu Nobou tidak bisa tinggal lagi di castle itu. Oshi castle adalah satu-satunya castle dalam perang Sengoku Jidai yang tidak “kalah”.
Dan yang mengesankan pada pertemuan dengan pihak musuh setelah perang usai, Nobou mengajukan dua syarat yaitu minta supaya sawah yang hancur oleh perang (ditimbun tanah waktu membendung tanggul) untuk dibersihkan. Katanya, “Jika tidak dibersihkan petani tak bisa bertanam lagi”. Dan yang ke dua, waktu pertempuran ada beberapa petani yang dibunuh oleh prajurit musuh. Petani bukanlah samurai, jadi tidak boleh dibunuh. Itu sudah merupakan etika perang. Jadi Nobou minta supaya prajurit yang membunuh petani untuk dihukum (dibunuh). Di sini dapat dilihat betapa Nobou berpihak pada petani.
Setelah itu memang tidak diketahui Nobou pergi dan tinggal di mana. Ada seorang panglima perangnya yang kemudian menjadi pendeta Buddha untuk mendoakan mereka yang sudah mati dalam peperangan. Oshi Castle bubar, dan terakhir menjadi milik keluarga Abe, salah seorang menteri berpengaruh di pemerintahan Tokugawa (abad 18).
Trailer film ini bisa dilihat di : http://youtu.be/9I__lzfCpHU
Film yang cukup bagus menurutku. Aku sendiri baru menonton persis sehari sebelum kami pergi ke Oshi Castle tanggal 19 Mei yang lalu. Riku dan Kai diajak papanya menonton waktu film ini dirilis tahun lalu. Sebetulnya film ini akan dirilis bulan September 2011, tapi untuk menghormati Gempa Tohoku (Maret 2011) rilis film ini ditunda. Pertimbangannya karena ada adengan luapan air bagaikan tsunami yang menutupi daerah rendah sekitar castle, yang mungkin akan berpengaruh pada perasaan korban gempa dan keluarga yang ditimpa musibah. Rasanya tidak etis… Keputusan ini juga aku kagumi. Toleransi orang Jepang yang sangat tinggi! Selain itu di cover DVD yang kami pinjam juga tertulis peringatan bahwa akan ada adegan seperti tsunami.
Oshi Castle ini sendiri terletak di Gyoda Saitama, cukup dekat dengan rumah kami hanya dengan 1 jam bermobil. Kami pergi ke sana dan menemukan bangunan castle tetapi bukan peninggalan jaman Nobou tentunya. Castle ini masih baru dan berfungsi sebagai museum sejarah daerah setempat. Kami sampai di castle sekitar pukul 2 siang karena kami harus ke gereja dulu paginya. Kami lalu membeli karcis masuk seharga 200 yen untuk dewasa dan 50 yen untuk anak-anak. Untung sekali waktu itu Staf memberitahukan bahwa ada kesempatan untuk memakai baju perang yoroi sebagai sebuah acara tambahan museum. Gratis asal membayar tanda masuk castle yang 200 yen itu! Murah sekaliiiii….. Begitu mendengar bahwa bisa memakai yoroi, anak-anak sangat gembira sampai stafnya berkata, “Wah senang sekali melihat anak-anak ini begitu antusias”.
Kami langsung menuju aula tempat mencoba memakai pakaian perang itu dan mendaftar. Cukup lama harus menunggu giliran. Akhirnya Kai dipakaikan baju perang dari Takeda Shingen (yang kami kunjungi dua minggu sebelumnya). Yoroi itu ternyata terpisah-pisah. Pertama pakai pelindung kaki, lalu pelindung tangan baru semacam rok dan pelindung dada. Roknya terdiri dari lempengan besi dan keseluruhan berat pakaian ini sekitar 20 kg untuk orang dewasa (rata-rata sepertiga dari berat badannya). Bisa lihat beratnya baju perang ini dalam video Kai berputar memakai yoroi.
Riku memakai yoroi ukuran dewasa yaitu yoroi dari keluarga Abe, si penguasa Oshi Castle pada jaman Tokugawa. Memang setiap yoroi berbeda desain menurut keluarganya, sehingga bisa terlihat waktu perang, prajurit itu prajurit siapa. Dan staf yang memakaikan baju perang ini pada Riku amat baik dan menawarkan mengambil foto kami sekeluarga. Mungkin karena aku orang asing ya 😀
Setelah mencoba berpakaian yoroi, kami pun melihat benda-benda bersejarah dari Oshi castle ini yang dipamerkan di tiga lantai. Seperti kebanyakan museum, kami tidak boleh memotret dalam museum. Tapi memang tidak ada yang menarik sih. Mungkin yang menarik di situ adalah bahwa kota Gyouda ini terkenal juga sebagai pembuat kaus kaki untuk kimono. Dan di salah satu corner ada foto alas kaki pesumo terkenal dan kita bisa membandingkan kaki kita dengan pesumo itu. Wah memang kakinya pesumo itu besar ya 😀 Habis kaki itu harus menanggung berat badan yang tidak tanggung-tanggung sih.
Setelah melihat museum, kami pindah tempat menuju ke Ishida Tsutsumi, dam buatan waktu pasukan Toyotomi merendam Oshi Castle dengan air sungai. Di dekatnya terdapat Maruhakayama Kofun (makam) yang menjadi pusat pasukan Toyotomi. Makam ini berbentuknya seperti gundukan tanah yang tinggi, tapi karena waktu itu aku capek sekali, aku tidak ikut naik ke atas. Lagipula sudah mulai hujan rintik-rintik, aku takut kalau terpaksa harus bergegas turun, padahal aku takut ketinggian (sehingga pasti butuh waktu lama untuk menuruni bukit).
Sebetulnya di sekitar tempat itu juga ada museum dokumentasi lainnya, tapi karena sudah pukul 4:30 sudah tutup. Kami juga tidak sempat (lebih ke tidak berminat sih) mencoba makanan khas daerag Gyouda yaitu Gorengan dan Jelly Goreng … yieks.
Senang sekali perjalanan waktu itu, bisa mengunjungi castle yang menjadi tempat bersejarah. Sayangnya castle ini tidak termasuk dalam 100 castle terkenal di Jepang. DeMiyashita sedang berusaha mengunjungi dan mengumpulkan stamp dari castle-castle yang termasuk dalam 100 castle terkenal di Jepang 100名城. Ntah kapan bisa terlengkapi, tapi senang jika mengetahui bahwa kami mempunyai suatu target bersama, target keluarga dalam hidup kami.