Aku pernah mengatakan waktu berkomentar di blog seseorang, “Coba ada tombol “like this” seperti di FB, pasti aku pakai tombol itu untuk tulisan ini. Aku suka!”
Dan kemarin pagi tiba-tiba plugin “Like This” itu muncul di perkenalan plugin di dashboardku…dan aku langsung pasang. Bisa dilihat bahwa di setiap posting akan ada tombol yang bisa diklik seperti di facebook, asalkan sudah login di FB. Aku merasa si Ferri Sutanto briliant, karena aku sejak lama mengamati fenomena like this a.k.a jempol di FB. Memang paling gampang memasang tombol like this untuk status-status atau link, foto, application, dll untuk menyatakan pada pemilik akun itu, “Saya sudah lihat, saya setuju/suka, tapi tidak bisa berkomentar banyak!”. Meskipun kadang aku merasa aneh jika si pemasang status ikut men”jempol” postingnya sendiri (kamu pasti suka/setuju dong jika sampai memasangnya di status, atau boleh deh asal jangan setiap statusnya dijempolin), atau memasang “like this” untuk berita kemalangan atau kematian.
Hihihi, biasanya kalau kopdar pasti chatters atau bloggers atau insan radio/TV ya? Semuanya akrab lewat jaringan udara, jaringan televisi, atau jaringan internet. Jadi sebetulnya anggota segala macam SNS (Social Networking Site) macam fesbukers, plurkers, twitters, kalau bertemu di real namanya juga kopdar dong ya?
Hari Jumat yang lalu aku libur mengajar, karena di Universitas sedang persiapan Festival Universitas (semacam bazaar). Jadi aku bisa bertemu Whita, yang juga tinggal di Tokyo. Kami berkenalan lewat TE (tapi Whita tidak punya blog sendiri, sehingga tidak masuk kategori blogger) kemudian menjadi teman di Fesbuk. Nah, waktu aku menulis bahwa aku sedang di KBRI bersama adik saya memperpanjang pasport, dia mengatakan…. tahu begitu kan bisa pergi sama-sama. Kebetulan aku bermaksud akan mengambil paspor adik yang sudah jadi pada hari Jumat, sehingga aku menghubungi dia. “Ayo sama-sama ke KBRI besok!”
Kami bertemu di Stasiun Meguro pukul 10 lewat. Langsung saling mengenali, selain sudah tahu muka lewat foto, satu “identitas” yang langsung tertangkap adalah…kami berdua memakai scarf batik! (Hidup Batik Indonesia! ayooo jangan melempem pake batiknya. Tapi terus terang aku cuma punya scarfs)
Perjalanan rute kami sama dengan waktu aku mengantar adik, ke foto studio, lalu ke KBRI. Itu mah sudah tidak usah diceritakan lagi. Tapi aku ingin ceritakan acara kami sesudah itu. LUNCH! (ngga jauh-jauh dari makanan hihihi).
“Mau makan apa? ”
“Apa saja”
Cuma kali ini aku yang tidak punya banyak waktu karena aku harus berada di rumah jam 2:30 siang, karena Riku pulang jam segitu. Jadi kami memilih pergi ke restoran Sushi “berputar”, Kaiten Sushi. Tentu saja kami memilih resto ini karena cepat, enak, dan bisa makan sedikit. Sama sistemnya seperti restoran Padang, hanya membayar apa yang dimakan saja.
Begitu masuk restoran kami dipersilahkan duduk di salah satu pojok sebuah counter yang besar. Di depan kami terdapat ban berjalan yang mengantarkan piring-piring kecil berisi berbagai macam sushi, nasi kepal dengan potongan ikan mentah, setengah matang (aburi) dan matang (seperti udang rebus). Kami tinggal mengambil piring yang kami mau dan makan. Tapi waktu mengambil piring, biasanya kami melihat corak/warna piringnya, dan melihat ke dinding resto yang memasang jens piring beserta harganya. Harganya bermacam-macam dari 160 yen, 200-an, 300-an, 400-an dan termahal 500-an.
Ada beberapa yang “aneh” yang kami makan (baru makan pertama kali) termasuk di antaranya Ikan Buntal Goreng (Ikan Fugu yang beracun itu loh), pernah saya tulis di sini. Sambil makan kami sibuk memotret dan mengirim ke handphone masing-masing.
Nah, yang menarik adalah waktu akan membayar. Biasanya di resto sushi berputar yang lain, kami menumpukkan piring sesuai dengan warnanya, misalnya merah (160-an) , hijau (200-an) dst. Si petugas resto akan mencatat warna masing-masing serta menjumlahkannya dalam kertas, dan kami bawa kertas itu ke kasir untuk membayar.
Tapi ternyata, resto sushi yang ini amat canggih . Kita cukup menumpuk piringnya tak beraturan. Si pelayan membawa alat scanner sebesar remote control, lalu diarahkan ke atas piring teratas. Pit pit… lalu kami diberi sebuah alat mirip kalkulator kecil tanpa angka/tombol apa-apa. Wahhh bukan kertas pula! Jadi ingat beeper (yang berfungsi memanggil jika makanan sudah jadi) yang ditulis oleh Pak Oemar di sini.
Alat itu rupanya merekam harga yang tercantum di chips di piring yang kita makan. Begitu kita menyerahkannya pada kasir. Alat itu didekatkan pada suatu reader, dan keluar harga yang kita mesti bayar di display mesin kassa. Canggih! Tanpa kertas…
Kami berdua terheran-heran …sempat aku tanya sih tentang cara kerja alat pembaca chips di piring itu. Tapi karena restoran itu mulai sibuk dengan tamu-tamu yang mau lunch, terpaksa aku tidak bisa memotret alat reader itu dengan detil.
Akhirnya kami menutup cara kopdar hari itu dengan minum kopi di Tully’s Coffee (saingannya Starbuck) dengan saran aku Hazelnut Cappucino… yummy. Waktu masih kerja sebagai DJ di Radio, ada gerai Tully’s dekat studio, sehingga hampir setiap aku rekaman, pasti mampir situ. Adicted banget sampai beli Hazelnut siropnya untuk dicampur setiap minum kopi. Jadi gemuk deh…kan gula itu hihihi.
Kami berpisah di peron Yamanote line, dengan janji akan buat pesta bakso di rumah. Nanti cari waktu ya Whit…atau natalan juga bisa…cihuy.. (kayaknya masih lama deh tuh hihihi)