LPF dan Bali Lax

24 Apr

Bukan nama partai politik atau organisasi deh pokoknya. Cuma LPF ini adalah “pelajaran” baru yang kudapatkan hari ini. Singkatan dari Low Pass Filtering. Mau tau isinya apa? Silakan baca wikipedia di sini yah. Soalnya aku juga tidak ngerti hihihi.

Jadi ceritanya kamera DSLR Nikon D-80  kami (yang lungsuran dari bapak mertua) itu ternyata kemasukan kotoran di lensa bagian dalamnya. Aku sadarnya waktu aku bawa ke Jakarta waktu mama meninggal Februari lalu. Setiap memotret pasti ada titik noktah hitam yang tidak bisa hilang meskipun sudah diganti lensa atau dibersihkan lensa luarnya. Hmmm pasti butuh servis nih. Apalagi waktu aku pakai untuk memotret sakura di Taman Inokashira waktu itu, kehadiran noktah itu amat sangat mengganggu. Sayang keindahan sakuranya jadi berkurang banyak, meskipun sudah aku usahakan hapus dengan photoshop.

Waktu kutanya bapak mertuaku, ternyata memang sering terjadi seperti itu, dan tinggal bawa saja ke service center Nikon, yang ada di Ginza atau di Shinjuku. Karena rumahku lebih dekat ke Shinjuku, pagi tadi kubawa kamera itu ke Nikon Plaza di Gedung L Tower, Shinjuku. Aku beritahukan masalahnya, dan oleh petugas aku diberi kertas order servis dan bisa diambil pada jam 1 (waktu itu pukul 11:30). Wah cepat juga. Dan tertulis biayanya 1500 yen (150.000). Murah! Aku sudah takut saja kalau biayanya mahal.

Sambil menunggu servis selesai, aku janjian makan siang dengan Tina adikku dan temannya, di sebuah restoran Indonesia di Shinjuku. Bukan di restoran  Jembatan Merah, tapi di restoran Bali Lax. Hmm aku baru pertama kali ke sini. Oleh Tina disarankan ke sini karena semua lunch menu setnya seharga 980 yen dan sudah termasuk salad bar, minuman, dessert dan sup. Tina sukanya karena bisa makan sayur sebanyak-banyaknya di sini. Well memang sih salad pumpkin yang digiling dengan cream cheese nya enak!

Penampakan nasi campurnya 😀

Kami memesan Nasi Campur, yang terdiri dari sate daging, ayam bumbu, bakmi goreng, acar, kerupuk dan ikan goreng tepung. Semuanya jumlahnya sedikit (untung juga karena pasti tidak habis). Supnya sup thailand semacam Tom Yan. Dessertnya irisan orange, nanas dan coktail buah. Ada kopi dan teh juga (Aku tak tanya kopinya kopi apa. Tapi yah kalau menurutku rasa masakannya jauh dari masakan Indonesia, meskipu mungkin cocok untuk lidah orang Jepang. Tapiiii di sini suasananya bagus. Ada kolam-kolaman dengan hiasan-hiasan Bali. Di pintu luar tertulis sih kalau dinner, setiap orang dicharge 525 yen selain pesanan makanan dan minuman.

Menu yang kami pesan: Nasi Thanpuru!

Salah dua yang menarik adalah penulisan Nasi Campur dalam alfabeth yang aneh! Padahal tulisan dalam katakananya sudah benar Nashi camupuru, eeeeeh kok alfabethnya jadi Nasi Thanpuru 😀 Selain itu koki dalam bahasa Inggrisnya menjadi shef. Lucu jadinya. Yang lainnya adalah sebuah “sayur” yang baru kukenal. Namanya Romanesco. Cuma kok kelihatan grotesque ya?

Sayur baru, Romanesque yang terlihat grotesque 😀 Rasanya sih enak loh

Setelah makan (salada sebanyak-banyaknya) dan bercakap-cakap, Tina dan temannya harus kembali ngantor dan aku juga harus mengambil kameraku. Nah baru saat aku mengambil kembali kameraku itu aku membaca di papan digital bahwa Low-pass itu memakan waktu 1 jam. Ya pembersihan lensa dalam itu dengan cara yang diberi nama Low Pass. Sebetulnya bisa sendiri, karena waktu aku googling ketemu caranya di Youtube ini. Tapi kok aku takut coba-coba (awalnya juga tidak tahu sih) padahal kalau bisa sendiri, kan tidak usah keluar 1500 yen. But still leave it to the pro’s. Lebih afdol a.k.a lebih mantap! Betul kan?

Sebelum dibersihkan dengan LPF
Setelah dibersihkan dengan LPF, langit di Tokyo sore ini dilihat dari apartemenku

Kaleidoscope

22 Des

Saya diberi tugas oleh Bang Hery untuk membahas tentang kaleidoscope. Setelah saya cari dalam google versi jepang, saya mendapatkan keterangan ini.

Kaleidoscope berasal dari bahasa Yunani yang merupakan paduan kata [Kalos] yang berarti indah, [eidos] berarti corak dan [scope] berarti melihat. Jadi kaleidoscope sendiri merupakan sebuah alat semacam teropong yang didalamnya terdiri dari 3 lembar lempengan kaca yang diberi sekat, dan di bagian dalam diberi kepingan kaca atau kertas warna warni sehingga bisa memantulkan sesuatu corak yang berwarna-warni. Kita bisa melihat langsung ke dalam teropong tersebut atau memantulkannya ke dinding. Seni ini sangat terkenal di Jepang, sehingga kalau Anda pergi ke toko cendera mata, pasti akan menemukan tabung dengan lapisan kertas Jepang, dan jika Anda melihat lewat lubang kaca yang ada di ujungnya, bisa melihat corak warna yang bisa berubah jika tabung itu diputar.

Ya! itulah kaleidoskop (bahasa Jepangnya Bankakyou) . Arti sesungguhnya melihat corak yang indah…. sampai ada museum di Kobe bernama Kobe Kitano Kaleidoscope yang menyuguhkan keindahan kaleidoscope dalam berbagai jenis warna dan corak. Lihat slogannya, Healing and Relaxing Time with Beautiful View in a Small Hole.

Tapi di penghujung tahun biasanya memang ada acara di televisi/media lain di Indonesia yang menyajikan suatu rangkaian kejadian yang terjadi dalam satu tahun sebagai kilas balik, dan dinamakan Kaleidoscope. Tapi karena isinya bermacam-macam kejadian, dan termasuk juga kejadian buruk, mestinya tidak cocok ya dinamakan kaleidoscope. Semestinya diberi nama kilas balik saja… atau perenungan. Siapa yang mau usul?

Hei boy... what are you thinking about? Live? or enjoying the scenery or thinking of you Mother?
Hei boy... what are you thinking about? Live? or enjoying the scenery or thinking of you Mother?(Riku @ Okinawa)

:::::::::::::::::::::::

Saya sebetulnya ingin sekali membuat kaleidoscope eh kilas balik saya di tahun 2008. Tapi karena tidak ada waktu, saya ingin membuat sebuah “CHILDLENS”. Apa yang dilihat seorang anak melalui lensa kamera. Terinspirasi dari sebuah buku dengan judul sama, yang saya baca di Sendai. Seorang anak diberikan kamera dan bebas mengambil foto apa saja. Dalam buku itu ada foto tatami, ada foto kamar, atau mainannya, dan ada foto ibunya sedang berganti baju. Sebagai pengganti Kaleidoscope saya, saya ingin mengetengahkan childlens Riku yang membawa kamera waktu dia pergi ke Okinawa musim panas lalu. Saya pilihkan beberapa foto dia yang layak menurut kacamata orang dewasa.

Bagaimana? Apakah Anda terhibur dengan hasil potret Riku?

Waktu kecil dan pertama kali saya kasih Riku pegang/potret dengan camera digital, papanya bersungut-sungut. Katanya,”Anak-anak dikasih kamera, nanti kalau rusak bagaimana?” Tapi saya bilang, asal kita kasih tahu tidak boleh begini begitu kan pasti bisa. Kalau rusak ya itu resiko. Sama halnya waktu Riku sudah mulai mengerti dan menggeratak apa saja, saya bilang, “Jangan pegang pisau. Pisau itu bisa membuat berdarah, dan sakit. Tapi kalau Riku mau sakit, silakan!. Riku mau sakit?”….. Tentu saja dia bilang tidak. Dan sejak saat itu biarpun ada pisau di atas meja, dia tidak akan pernah ambil atau bermain. Malahan dia bilang, “Mama ini pisau. Bahaya loh!”….

Biarkan anak-anak bermain dan berkembang dan juga merasakan kenyataan yang mungkin tidak bagus, sejauh resiko itu masih rendah. (Tentu saja saya tidak akan biarkan dia berjalan sendirian di jalan besar waktu itu kan, karena semua juga ada waktunya. Lihat-lihat kondisinya lah….)