12 Jam Doraibu

18 Nov

Setelah menuliskan Sehari Tanpa Gadget : Doraibu, akhirnya deMiyashita bisa mempunyai waktu libur yang pas semuanya libur, yaitu hari Minggu kemarin, mulai dari jam 12 siang sampai 12 malam lebih. Kok siang sekali berangkatnya? Ya, karena kami harus menunggu Riku yang ke gereja dan ikut sekolah Minggu sampai jam 11. Aku dan Kai sudah ke gereja sabtu sorenya, mengikuti misa berbahasa Indonesia di gereja Meguro, sedangkan Riku belum.

Kemana selama 12 jam? Yang pasti kami pergi ke dua prefektur: Kanagawa dan Shizuoka. Sebelum kami jalan, kami menjemput ibu mertua dulu di Yokohama. Saat itu kami belum tahu mau ke mana, tapi sudah pasti tidak mau ke arah pelabuhan dan kota Yokohamanya, karena ada pertandingan marathon wanita. Jadi kami melarikan mobil ke arah Odawara dan paling tidak mengunjungi Ashinoko, Hakone tempat yang bisa melihat daun-daun merah-kuning ciri khasnya musim gugur, dan gunung Fuji. Momijigari! (Mencari pemandangan musim gugur)

Tapi hampir jam setengah 2 kami baru sampai di Ninomiya, dekat Odawara padahal kami sudah lapar sekali. Kebetulan ada rumah makan Jepang bernama Ebiya, kami langsung parkir saja di situ. Ternyata rumah makan ini menyediakan segala macam masakan ikan, udon dan soba. Maklum tempatnya dekat laut (Odawara), jadi aku memesan ikan Bora bakar, ibu mertua ikan Isaki bakar dan sazae (sejenis kerang), sedangkan Gen dan Riku makan nasi dengan ikan teri mentah dan Kai sashimi. Karena lapar semuanya enak 😀 Rupanya ibu mertuaku jarang bakar ikan karena memang makan waktu dan bau ke mana-mana ya. Jadi dia senang sekali bisa makan ikan bakar.

Makan siang terlambat di Ebiya. Kiri atas: sejenis kerang bernama Sazae. Kiri bawah nasi dan ikan teri mentah. Kanan bawah Ikan Bora bakar

Setelah makan kami menuju ke Hakone dan kebetulan ada papan penunjuk “Ichiya Castle” (harafiahnya : Kastil Satu Malam), langsung Riku berkata: “Aku mau ke situ, itu kan tempatnya si bla bla bla”. Aku tidak menyimak tapi bangga anakku tahu sejarah negaranya sendiri 🙂 Jadi kami mampir menuju peninggalan castle Ichiya. Tapi untuk melihat castlenya harus mendaki sedangkan aku pakai rok dan sepatu yang tidak cocok untuk mendaki. Ibu mertua juga tidak bisa mendaki, sehingga aku, Kai dan ibu mertua tunggu di rest area. Rest areanya juga bagus tempatnya, ada sebuah restoran bakery, tenpat penjualan hasil ladang dan bunga, serta hamparan ladang jeruk sedangkan di kejauhan terlihat pantai yang biru. Sementara kalau lihat di atas bukit bisa terlihat ray of light yang indah. Sayang kamera Nikonku dibawa Gen mendaki sehingga aku hanya ada kamera digital, yang kurang bisa menangkap ray of light nya.

Ishigakiyama, Ichiyajo yang tinggal situsnya saja (tidak ada bangunannya)

Menurut Riku, Ichiyajo artinya kastil yang dibangun 1 malam. Maksudnya BUKAN kastil sungguhan pada jaman Toyotomi Hodeyoshi. Untuk mengelabui musuhnya dibangunlah bangunan semi permanen yang dari jauh terlihat seperti kastil padahal dalamnya kosong. Menurut wikipedia selama pemerintahan Toyotomi ada dua kastil yang termasuk dalam ichiyajo yaitu Sunomatajou dan Ishigakiyamajou. Yang kemarin kami pergi itu namanya Ishigakiyamajou.

Rest area di Ichiyajo. Kai bergaya di kebun jeruk

Setelah berbelanja tanaman hias dan jeruk, kami meninggalkan tempat ini. Sudah pukul 4, dan kupikir Gen akan mengarah pulang. Ternyata dia masih mau mencari tempat wisata di sekitar tempat itu. Dan aku teringat sebuah hotel yang bernama FUJIYA, yang mempunyai arsitektur dan taman yang indah. Cocok untuk berfoto di sana. Lagipula aku ingat pernah pergi ke sana dengan mama dan papa. Ah jadi kangen mama, untung aku sudah tidak menangis lagi jika teringat alm. mama (kecuali pas down a.k.a PMS :D) Jadi kami bermobil menuju hotel itu menyusuri jalan menanjak yang berliku-liku. Pemandangannya bagus di sebelah kanan, tapi kami juga harus melihat antrian mobil yang sedang turun. MACET! Wah, kalau pulangnya nanti musti ikut antri di belakang antrian itu….. membuat hati ini terasa berat. Tapi kemudian ibu mertuaku bilang, kalau pulang lewat jalan lain saja, dan memang dulu kami pernah melewati jalan lain itu.

Kami sampai di hotel Fujiya sudah pukul 4:45, dan senja sudah mulai menggelapkan pandangan. Saat itu di hotel yang terkenal dengan keaslian dan kemahalannya itu masih dipenuhi dengan tamu dari dua pernikahan. Kupikir kalau perlu kami bisa duduk di cafe dan ngopi. Tapi ibu mertuaku bilang dia mau membeli roti di toko hotel. Jadi kami ikut lihat-lihat di sana. Oh ya hotel ini terkenal dengan kare dagingnya. Jadi aku juga membeli pack berisi kare daging untuk oleh-oleh. 

Kai yang belanja roti sendiri (pakai uang sendiri) di hotel Fujiya

Ada satu yang lucu di toko roti ini. Kai yang membawa dompetnya sendiri, ingin membeli SATU roti yang paling murah. Dia lihat dari harga roti dan memilih yang seharga 270 yen. Aku tahu dia mau bayar sendiri, jadi aku biarkan dia membawa roti yang dia ingin beli ke kasir. Untung saat itu kasirnya tidak ada orang, dan gadis penjaga kasir juga melayani Kai dengan ramah. Kai memang sudah bisa berhitung sedikit, dan dia tahu kalau dia memberikan 300 yen akan dapat kembalian. Jadi dia ambil 300 dari dompetnya dan memberikannya ke kasir. Dari jauh aku dan Gen melihat Kai yang berani dan berlagak seperti anak besar. Ah…. dia sudah bukan anak kecil lagi, sedikit demi sedikit dia akan mandiri. Jadi terharu deh…..

Setelah membeli roti kami keluar ke taman yang indah. Untung kami bisa mengejar terang senja dan masih bisa berfoto di situ. Sementara itu mulai banyak tamu yang keluar untuk menikmati keindahan senja dan lampu yang menerangi hotel dan taman. Persis pukul 5:05 kami meninggalkan parkir hotel. Kok tahu itu pukul 5:05? Ya, karena ada pemberitahuan lewat speaker bahwa sudah pukul 5:05 dan penangkapan babi hutan untuk hari itu selesai. Rupanya banyaknya babi hutan yang berkeliaran membuat pemda menginjinkan perburuan babi hutan di sekitar daerah itu.

Hotel Fujiya, Hakone

Tentu kami memakai jalan yang lain dan menjauhi jalan menurun yang masih macet. Tentu sambil melihat navigator dan GPS dari HPku. Car navigator kami sudah berusia 3 tahun dan selama 3 tahun itu sudah ada beberapa perubahan yang terjadi di daerah itu. Kami sampai di rumah mertua pukul 10 malam. Jalan toll macet cukup parah dan membuat kami harus duduk lama di mobil. Setelah istirahat sebentar di rumah mertua kami pulang ke Tokyo dan sampai di rumah pukul 12 malam. Tentu saja anak-anak sudah tertidur semua 😀

Perjalanan 12 jam doraibu (bermobil) yang nariyuki (tanpa tujuan awal) yang melelahkan tapi cukup menyenangkan.

Seni Menipu – Tokyo Trick Art Museum

10 Jun

Bukan, aku tidak mau mengajarkan pembaca mengenai bagaimana cara-cara menipu loh. Tapi yang ingin kutulis adalah tentang kesenian yang bisa mengelabui mata. Kelihatannya seperti sesuatu yang lain, padahal itu adalah pinter-pinternya yang menggambar saja.

Aku pergi ke Tokyo Trick art Museum  waktu pergi ke Legoland yang kedua kalinya. Karena Tokyo Trick art Museum ini terletak satu lantai di bawah legoland (Decks ODAIBA), sehingga pasti lewat waktu pulang. Karena harga tiket masuknya hanya 900 yen untuk dewasa, maka aku dan Sanchan sepakat untuk mampir di sini berdua, waktu anak-anak main lego, dan berfoto narsis 😀 Emang duo emak ini udah klop kalau soal foto berfoto 😀

Eh, tapi ternyata kami tidak bisa melepaskan diri dari anak-anak. Memang peraturan di Legoland itu, tidak boleh meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan orang tua. Waktu makan siang kami bisa meninggalkan satu jam, Riku dan Yuyu, tapi Kai kami bawa sebagai “jaminan” supaya waktu masuk kembali, kami bersama anak-anak. Untung saja Kai mau, dan kami ajak makan di restoran Surabaya, yang berada di gedung sebelah. Kai suka makan soto ayam, sehingga aku bisa “membujuk” dia untuk pergi sebentar dari Legoland dan makan soto ayam bersama duo emak. Riku dan Yuyu makan siang di dalam Legoland, yang ternyata menurut perhitungan duo emak, tidak terlalu mahal. Biasanya kalau makan di dalam sebuah thema park, harga makanan diketok habis-habisan (jadi inget Disneyland), tapi di Legoland, satu bento paling mahal 500 yen. Memang untuk dewasa tidak cukup (dan tidak enak), tapi untuk anak-anak lebih dari cukup. Apalagi karena kamu member, kami mendapat potongan 10% setiap berbelanja di dalam Legoland.

Restoran Surabaya di Odaiba

 

Balik ke Tokyo Trick art Museum, kami akhirnya masuk bersama pada pukul 18:30. Memang Legoland kali ke dua  itu aku minta supaya anak-anak bisa selesai dan pulang jam 6 sore. Tidak seperti malam sebelumnya yaitu jam 8 malam (Legoland sendiri tutup jam 9 malam). Nah waktu menuruni eskalator itu lah kami memutuskan mengajak anak-anak juga. Tadinya kami pikir anak-anak tidak antusias, tapi perkiraan kami salah. Ternyata anak-anak jauuuuh lebih narsis daripada ibunya 😀 

Dua gambar di atas berada di luar museum, sedangkan yang di bawah di pintu masuk

Untungnya waktu kami masuk itu masih sepi, tapi tak lama mulai berdatangan tamu yang lain, sehingga cukup menyebalkan, karena tidak bisa konsentrasi berfoto :D. Di pintu masuk kami disambut (lukisan) seorang wanita berkimono, yang jika dilihat dari berbagai sudut akan aneh. Jika melihat pada sudut yang tepat memang kita akan melihat tangannya seakan benar-benar tiga dimensi. Tapi yang cukup menarik adalah sebuah lukisan yang menggambarkan kedai minum teh ala jepang dengan payung di luar kios. Dengan menekuk lutut sedikit kita bisa memotret seakan-akan kita sedang duduk santai di situ.

Kiri atas, perumahan di kota Edo. Ternyata berbentuk segitiga yang menonjol dari dinding, sehingga Sanchan sempat menabraknya 😀 Kanan atas: Riku dengan kappa (binatang jejadian). Kiri bawah: Aku lebih kecil dari Riku. Kanan bawah : Riku minum sake dengan hantu mata tiga 😀

Permainan lukisan yang menghasilkan tiga dimensi tentang kota pada jaman Edo. Satu yang perlu percobaan cukup banyak adalah sebuah ruangan yang bisa memutarbalikkan fakta. Aku yang sebesar ini bisa jauh lebih kecil daripada Riku. Dan memang harus memotretnya dari luar ruangan. Pada jaman Edo banyak pembantaian, dan cerita mengenai setan, hantu dsb nya itu sangat populer.

Yang lucu fotonya Kai, kok dia menutupi bagian yang “tepat” dengan tangannya ya? hahaha.(eh aku ngga suruh-suruh loh) Kalau Riku dia bergaya persis memegang bahu si baju merah seakan sedang menepuknya.

 

Anak-anak cukup takut untuk sendirian berada di dalam bagian ini. Setelah keluar dari bagian “perhantuan” kami bisa melihat beberapa lukisan manusia dan binatang.

foto ikan hiu itu sepertinya sudah banyak ya?

Konon trick art seperti ini juga sudah menyebar ke Jakarta juga. Tapi aku baru pertama kali melihat berbagai trick di museum ini. Museumnya tidak besar sih, tapi ya kalau mau berusaha memotret dengan jurus yang diberitahukan (dengan tiduran atau menjengking segala) bisa menghasilkan foto yang bagus, sehingga HTM seharga 900 yen cukup murah lah. Tapi ternyata kami fotonya tidak seheboh waktu berada di Madame Tussaud. Kembali ke museum ini lagi? Nanti deh kalau musti antar tamu baru mau masuk lagi 😀

(Tulisan yang tertunda hampir 2 bulan :D)

 

The Floating Castle

8 Jun

The Floating Castle adalah bahasa Inggrisnya sebuah film Jepang yang berjudul Nobou no Shiro. Sebuah film berlatar belakang sejarah Jepang di tahun 1590, waktu Toyotomi Hideyoshi  sebagai daimyo (tuan tanah) berusaha menyatukan Jepang. Jaman itu memang jaman yang penuh peperangan yang disebut dengan Sengoku Jidai 戦国時代 . Nah, pasukan Toyotomi Hideyoshi ini mendapat perlawanan keras dari sebuah castle yang dikelilingi danau yang bernama Oshijou 忍城.

poster film Nobou no Shiro

Pemimpin  Oshi Castle ini adalah Narita Nagachika yang masih muda dan nyentrik, dan harus menggantikan ayahnya yang meninggal menjadi pemimpin daerah itu. Bagaimana tidak nyentrik atau bahkan gila dilihat dari sebutan yang diberikan “Nobou” (singkatan dari Dekunobou) padanya, yaitu dengan kekuatan pasukan 500 orang dia bersikeras untuk MELAWAN pasukan Toyotomi Hideyoshi sejumlah 20.000 orang!

Pada saat pasukan Toyotomi (di bawah pimpinan Ishida Mitsunari) terdesak pada serangan pertama, mereka kemudian membuat Ishida Tsutsumi (Dam Ishida) yaitu sebuah dam untuk membendung aliran sungai dan memaksa Narita a.k.a Nobou  ini untuk menyerah. Semua daerah yang rendah tertutup air, dan warga petani berlari mencari perlindungan ke kediaman Nobou. Tempat istana yang tidak sembarangan bisa diinjak kaum biasa itu apalagi waktu itu warga yang mengungsi berlumpur kakinya. Satu yang menarik sekali bagiku adalah Nobou sendiri TURUN menginjak lumpur dan menjadikannya sama dengan warga yang mencari perlindungan itu. Dia dan permaisurinya dengan kaki kotor mengajak semua warga yang ada untuk masuk ke kastil untuk berlindung.

Narita Nagachika diperankan oleh pemain Kyogen (kesenian tradisional Jepang) yang juga aktor: Nomura Mansai. Seniman yang hebat!

Mengetahui bahwa dia tidak akan bisa menang dengan keadaan terendam air, maka  Nobou pergi dengan perahu ke arah Ishida Tsutsumi di depan Maruhakayama Kofun (bukit makam yang menjadi pusat pasukan Toyotomi) untuk membuat pertunjukan tarian di depan musuh! Layaknya bunuh diri 🙁 Tarian Dengaku yang ditarikan merupakan tarian petani waktu berdoa pada dewa supaya panen berhasil. Nobou memang terkenal sebagai eksentrik yang suka bermain ke pertanian wilayahnya dengan maksud untuk membantu, tapi biasanya hanya akan mengganggu pekerjaan petani. Waktu dia sedang menari itulah, dia ditembak oleh pihak musuh.

Melihat pemimpinnya jatuh ke dalam air, beberapa petani yang menyusup ke dalam pasukan musuh membongkar tanggul sehingga air yang mengelilingi Shijo Castle itu surut. Pengaruh Nobou pada petani memang besar.

Setelah air surut, Nobou bersiap untuk berperang lagi. Demikian juga pihak musuh. Tetapi sebelum terjadi pertempuran, ada pemberitahuan bahwa Odawara Castle sudah kalah, sehingga peperangan tidak perlu dilakukan lagi. Odawara Castle lebih tinggi kedudukannya dari Oshi Castle. Pertempuran selesai dengan kondisi seri, namun tentu Nobou tidak bisa tinggal lagi di castle itu. Oshi castle adalah satu-satunya castle dalam perang Sengoku Jidai yang tidak “kalah”.

Dan yang mengesankan pada pertemuan dengan pihak musuh setelah perang usai, Nobou mengajukan dua syarat yaitu minta supaya sawah yang hancur oleh perang (ditimbun tanah waktu membendung tanggul) untuk dibersihkan. Katanya, “Jika tidak dibersihkan petani tak bisa bertanam lagi”. Dan yang ke dua, waktu pertempuran ada beberapa petani yang dibunuh oleh prajurit musuh. Petani bukanlah samurai, jadi tidak boleh dibunuh. Itu sudah merupakan etika perang. Jadi Nobou minta supaya prajurit yang membunuh petani untuk dihukum (dibunuh). Di sini dapat dilihat betapa Nobou berpihak pada petani.

Setelah itu memang tidak diketahui Nobou pergi dan tinggal di mana. Ada seorang panglima perangnya yang kemudian menjadi pendeta Buddha untuk mendoakan mereka yang sudah mati dalam peperangan. Oshi Castle bubar, dan terakhir menjadi milik keluarga Abe, salah seorang menteri berpengaruh di pemerintahan Tokugawa (abad 18).

Trailer film ini bisa dilihat di : http://youtu.be/9I__lzfCpHU

Film yang cukup bagus menurutku. Aku sendiri baru menonton persis sehari sebelum kami pergi ke Oshi Castle tanggal 19 Mei yang lalu.  Riku dan Kai diajak papanya menonton waktu film ini dirilis tahun lalu. Sebetulnya film ini akan dirilis bulan September 2011, tapi untuk menghormati Gempa Tohoku (Maret 2011) rilis film ini ditunda. Pertimbangannya karena ada adengan luapan air bagaikan tsunami yang menutupi daerah rendah sekitar castle, yang mungkin akan berpengaruh pada perasaan korban gempa dan keluarga yang ditimpa musibah. Rasanya tidak etis… Keputusan ini juga aku kagumi. Toleransi orang Jepang yang sangat tinggi! Selain itu di cover DVD yang kami pinjam juga tertulis peringatan bahwa akan ada adegan seperti tsunami.

Oshi Castle

Oshi Castle ini sendiri terletak di Gyoda Saitama, cukup dekat dengan rumah kami hanya dengan 1 jam bermobil. Kami pergi ke sana dan menemukan bangunan castle tetapi bukan peninggalan jaman Nobou tentunya. Castle ini masih baru dan berfungsi sebagai museum sejarah daerah setempat. Kami sampai di castle sekitar pukul 2 siang karena kami harus ke gereja dulu paginya. Kami lalu membeli karcis masuk seharga 200 yen untuk dewasa dan 50 yen untuk anak-anak. Untung sekali waktu itu Staf memberitahukan bahwa ada kesempatan untuk memakai baju perang yoroi sebagai sebuah acara tambahan museum. Gratis asal membayar tanda masuk castle yang 200 yen itu! Murah sekaliiiii….. Begitu mendengar bahwa bisa memakai yoroi, anak-anak sangat gembira sampai stafnya berkata, “Wah senang sekali melihat anak-anak ini begitu antusias”.

Oshi Castle

Kami langsung menuju aula tempat mencoba memakai pakaian perang itu dan mendaftar. Cukup lama harus menunggu giliran. Akhirnya Kai dipakaikan baju perang dari Takeda Shingen (yang kami kunjungi dua minggu sebelumnya). Yoroi itu ternyata terpisah-pisah. Pertama pakai pelindung kaki, lalu pelindung tangan baru semacam rok dan pelindung dada. Roknya terdiri dari lempengan besi dan keseluruhan berat pakaian ini sekitar 20 kg untuk orang dewasa (rata-rata sepertiga dari berat badannya). Bisa lihat beratnya baju perang ini dalam video Kai berputar memakai yoroi.


Riku memakai yoroi ukuran dewasa yaitu yoroi dari keluarga Abe, si penguasa Oshi Castle pada jaman Tokugawa. Memang setiap yoroi berbeda desain menurut keluarganya, sehingga bisa terlihat waktu perang, prajurit itu prajurit siapa. Dan staf yang memakaikan baju perang ini pada Riku amat baik dan menawarkan mengambil foto kami sekeluarga. Mungkin karena aku orang asing ya 😀

proses pemakaian baju perang

Setelah mencoba berpakaian yoroi, kami pun melihat benda-benda bersejarah dari Oshi castle ini yang dipamerkan di tiga lantai. Seperti kebanyakan museum, kami tidak boleh memotret dalam museum. Tapi memang tidak ada yang menarik sih. Mungkin yang menarik di situ adalah bahwa kota Gyouda ini terkenal juga sebagai pembuat kaus kaki untuk kimono. Dan di salah satu corner ada foto alas kaki pesumo terkenal dan kita bisa membandingkan kaki kita dengan pesumo itu. Wah memang kakinya pesumo itu besar ya 😀 Habis kaki itu harus menanggung berat badan yang tidak tanggung-tanggung sih.

Ishida Tsutsumi

Setelah melihat museum, kami pindah tempat menuju ke Ishida Tsutsumi, dam buatan waktu pasukan Toyotomi merendam Oshi Castle dengan air sungai. Di dekatnya terdapat Maruhakayama Kofun (makam) yang menjadi pusat pasukan Toyotomi. Makam ini berbentuknya seperti gundukan tanah yang tinggi, tapi karena waktu itu aku capek sekali, aku tidak ikut naik ke atas. Lagipula sudah mulai hujan rintik-rintik, aku takut kalau terpaksa harus bergegas turun, padahal aku takut ketinggian (sehingga pasti butuh waktu lama untuk menuruni bukit).

Maruhakayama Kofun

Sebetulnya di sekitar tempat itu juga ada museum dokumentasi lainnya, tapi karena sudah pukul 4:30 sudah tutup. Kami juga tidak sempat (lebih ke tidak berminat sih) mencoba makanan khas daerag Gyouda yaitu Gorengan dan Jelly Goreng … yieks.

Senang sekali perjalanan waktu itu, bisa mengunjungi castle yang menjadi tempat bersejarah. Sayangnya castle ini tidak termasuk dalam 100 castle terkenal di Jepang. DeMiyashita sedang berusaha mengunjungi dan mengumpulkan stamp dari castle-castle yang termasuk dalam 100 castle terkenal di Jepang 100名城. Ntah kapan bisa terlengkapi, tapi senang jika mengetahui bahwa kami mempunyai suatu target bersama, target keluarga dalam hidup kami.

Riku ber-yoroi

Bukitpun Kan Kudaki!

27 Mei

Jangankan emas permata sesen pun aku tak punya
Tapi jangan kau sangka aku tak kan gembira
Walau semua itu tak ada
Hidupku untuk cinta
Tlah terbalas cinta
Inilah bahagia oh oh oh

Gunung pun akan kudaki lautan kusebrangi
Asalkan kudapati cinta kasih abadi
Permata aku tak peduli

(Titik Puspa)

Enak sih kalau bisa bilang: “Siapa takut?” pada mendaki gunung. Hmm, sebetulnya AKU yang takut mendaki gunung. Selain takut karena merasa tidak pede akan kemampuan badan untuk mendaki, aku pun sebetulnya takut ketinggian. Phobia terhadap ketinggian! Tapi sejak tinggal di Jepang 20 tahun lalu, lama kelamaan aku bisa mengatasi rasa takut itu, tergantung ketinggiannya juga sih :D. Waktu menaiki gunung Nokogiriyama setinggi 330 meter yang pernah kutulis di sini, aku merasa payah. Payahnya karena semua berupa tangga yang cukup tinggi dan terjal, sehingga membuat aku takut tanpa berpegangan. Takut jatuh, sehingga rasanya aku mau merayap saja deh. 

Hari Minggu tanggal 12 Mei, persis Mother’s Day, sesudah dari gereja, kami pergi ke bekas kastil Hachiouji. Tadinya kupikir kami akan pergi ke Gunung Takao, ternyata Gen mencari di website dan mengetahui bahwa di dekat Takao, tepatnya di Hachiouji baru sebulan yang lalu dibuka rekonstruksi situs bekas kastil Hachiouji yang terbakar waktu jam perang saudara (terbakar/runtuh tahun 1590-an). Kebetulan Riku sedang getol-getolnya belajar serajah sehingga mengenal nama-nama tokoh yang meninggal di situ. Karena tempat itu berbukit-bukit, maka Gen juga membawa jala untuk menangkap kupu-kupu.

Situs rekonstruksi Hachiouji Castle

Kami parkir di tempat yang disediakan (parkir dan tanda masuk gratis semua) dan sebelum mendaki, kami pergi dulu ke pusat informasi yang terletak di sebelah lapangan parkir. Di situ kami melihat maket tempat-tempat yang diharapkan didatangi pengunjung, dan tidak lupa membawa peta bekas situs kastil Hachiouji. Tak lupa ke wc dulu, karena di atas gunung pasti tidak ada wc yang bersih. Gedung ini baru dan wcnya sangat modern.

peringatan awas ular, dan bunga wisteria ungu yang mendompleng pohon-pohon besar dalam hutan

Mulailah kami menyusuri bukit menuju ke rekonstruksi kastil Hachiouji. Untuk menuju ke sini tidak ada tangga atau bukit yang curam, semuanya landai TAPI di beberapa tempat terdapat peringatan “Hati-hati ular”, yang membuat takut juga. Setelah melintasi jembatan, jalan berbatu dan gerbang kayu, kami sampai di pelataran luas dengan beberapa batu yang diletakkan untuk menunjukkan bentuk kastil saat itu. Tapi ini baru tempat awal, karena sebetulnya pusat dari kastil ini ada di atas bukit, dan untuk itu  kami harus mendaki kira-kira 30 menit. Memang ada jalan untuk hiking, tapi bukan berupa semen, dan lebarnya hanya satu meter, sehingga aku cukup ngeri mendakinya. Yang hebat Kai, karena dia melesat sendirian ke atas, sambil sesekali menunggu kami 😀 Duh itu anak memang sih yang paling kurus dan lincah serta tidak ada rasa takut. Untung juga Riku tidak takut untuk mendaki meskipun jika kalau disuruh naik roller coaster dia tidak suka.

sampai juga ke puncak 400 sekian meter 😀

Akhirnya sampai juga sih di atas bukit, tempat Honmaru atau pusat kuil Hachijoji Castle berada di ketinggian 445m dan cukup terhibur melihat pemandangan ke arah kota Hachiouji di bawah. Tentu saja dengan menggeh-menggeh kehabisan nafas 😀 tapi aku merasa senang, waktu beberapa kali berpapasan dengan orang yang sedang turun, kebanyakan mereka menyapa “Konnichiwa”…. ah orang Jepang memang sopan-sopan.

Acara turun memang lebih cepat dari pada waktu mendaki, tapi cukup ngeri karena takut terpeleset karena pijakan masih ada beberapa tempat yang tanah merah. Aku memang bukan pendaki gunung deh, tapi aku harus memuji diriku sendiri, karena meskipun tidak berani dan tidak kuat, masih mau berusaha mendaki. Yang penting kan usahanya dulu ya. ngeles.com hihihi

Hari itu capek sekali, sehingga kami bermaksud untuk makan malam di luar saja. Dan mengikuti permintaan Riku, dia ingin makan sushi di dekat rumah kami. Tapi salah juga sih karena kami sampai di restoran itu pukul 7 malam, dan sudah banyak tamu yang menunggu. Kaget juga melihat begitu banyak orang, tapi bisa dimaklumi karena hari itu adalah Mothers Day. Kami baru bisa duduk dan makan setelah menunggu satu jam. Karena sudah capek kami tidak mau bersusah payah mencari restoran lain, dan dengan sabarnya menunggu. Hari Ibu yang melelahkan tapi menyenangkan.

sushi hari ibu 😀 Ada mawar mininya

 

Anggur dan Lukisan

23 Mei

Setelah dari Takeda Jinja, kami menuju ke  Tomi no oka Winery milik perusahaan Suntory. Aku sempat bilang pada Gen, “Loh waktu itu bukannya kita sudah pernah ke Suntory juga?” Ternyata waktu itu pabrik air mineral dan whisky, sekarang ini adalah pabrik…. tempat pembuatan anggur/ wine.

Setelah melewati perbukitan yang begitu sepi, tanpa terlihat ada satu mobilpun, kami sampai di pintu gerbang Tomi no oka Winery. Hujan rintik masih turun, dan kami dihadang oleh satpam winery itu, kami katakan bahwa kami belum mendaftar untuk berkunjung ke winery, tapi kalau bisa on the spot, ingin ikut. Oleh satpam kami diberitahu bahwa tentu bisa ikut rombongan untuk berkunjung ke winery dan kebetulan 10 menit lagi ada grup yang akan berangkat. Gratis dan karena hujan pesertanya sedikit, jadi kami bisa join. Tapi lain kali daftar dulu ya. “Yes, sir!” Kami cepat-cepat memarkirkan mobil, ambil payung dan menuliskan nama dalam buku tamu. Kami diberi tanda masuk untuk dikalungkan di leher, tapi khusus untuk Gen ada kalung lain yang bertuliskan bahwa dia menyetir mobil jadi TIDAK BOLEH sama sekali mencoba atau mendekatkan mulutnya ke wine. Selain itu anak-anak tentu karena belum cukup umur (belum 20 th) tidak boleh juga minum atau mencoba wine. Jadi… cuma mama Imelda yang bisa coba, karenanya Gen mengatakan : Selanjutnya kita menyenangkan mama.

Tomi no oka Winery. Kai setiap melihat box telepon seperti di Harry Porter dia kegirangan.

Rombongan berangkat dari dekat lapangan parkir, dan sebelum pergi ke penyimpanan anggur, kami melihat video pembuatan  wine dulu. Kalau masih pagi, sebetulnya kami bisa berkunjung dari melihat perkebunan anggurnya, lalu pabrik pembuatannya juga. Tapi karena sudah jam 3, kami cuma bisa melihat video dan kemudia pergi ke penyimpanan anggur yang telah diolah. Baru tahu dari video itu bahwa untuk wine putih, buah anggur putih dikupas dulu kulitnya, dan yang dipakai cuma daging buahnya. Sedangkan untuk wine merah, anggur merah tidak dikupas kulitnya, seluruh buah dipakai. Daging, kulit dan bahkan bijinya dihancurkan lalu disaring. Setelah ditambah biang fermentasi baru dimasukkan ke dalam tong-tong kayu. Kami kemudian melihat penyimpanan tong-tong kayu berisi wine yang belum jadi di sebuah gudang yang berada di dalam bukit.

menonton video pembuatan wine dan melihat gudang penyimpanan wine

Karena berada di dalam bukit, seperti di dalam gua, suhu udara bisa dijaga sampai sekitar 15 derajat sepanjang waktu secara alami. Memang sedikit dingin saat kami memasuki gudang tong-tong fermentasi pertama itu. Setelah itu wine dalam tong dipindahkan ke dalam botol, yang sebetulnya di dalam botolpun wine ini akan berfermentasi terus. Waktu memasuki gudang botol, terlihat rak-rak botol kosong karena wine yang sudah berusia 3 tahun sudah dijual. Dan diujung lorong penyimpanan botol, kami melihat botol-botol hasil winery Tomi no oka. Yang paling mahal dan paling enak (konon) berwarna kuning emas sebelah kiri atas. Waktu kami lihat harganya di toko di dalam winery seharga 50.000 yen (5 juta rupiah satu botol) waaaah siapa yang mau beliin untukku? 😀

Memang setelah selesai melihat penyimpanan wine itu, rombongan bubar, dan kami diminta untuk menaiki mobil kami masing-masing menuju shop, untuk mencoba wine yang diproduksi. Shop itu terletak di perbukitan menghadap perkebunan anggur dan gunung. Sayang sekali waktu itu hujan sehingga berkabut dan tidak bisa melihat jauh. Padahal kalau cerah pasti indah pemandangannya. Akupun menemukan beberapa jenis bunga yang belum pernah kulihat di Tokyo. 

Kai di jalan menuju wine shop

Di dalam shop, peserta kunjungan bisa mencoba 3 jenis wine yang disediakan. Rosso yang hanya dijual di tempat itu seharga 1890 yen, manis fruity, sedangkan wine lainnya putih dan merah aku tidak begitu suka. Salah juga sih si waiter memberikan wine manis duluan padaku 😀 memang hanya aku yang bisa mencoba minum wine, karena aku sudah dewasa dan tidak menyetir mobil. Dan yang kurasa bagus, waiternya sempat menegur dengan keras seorang kakek yang memakai kalung pertanda dia menyetir. Kelihatan memang dia ingin sekali minum, sampai dia tanya ke istrinya bagaimana rasanya dan sempat mendekatkan gelas ke hidungnya. Nah, memang pengendara mobil sudah diwanti-wanit dari awal, bahwa TIDAK BOLEH mengendus gelas sama sekali (karena itu awal ingin minum, tinggal selangkah lagi bisa tegak sekaligus kan) . Waiter itu sampai bilang, “Maaf pak, kalau tidak bisa patuh, pulangnya harus naik taxi loh. Jangan main-main. ” Memang mereka juga bertanggung jawab kalau sampai si kakek minum dan tetap mengendarai mobil. Peraturan untuk supir yang dalam pengaruh alkohol tapi masih menyetir di Jepang sangat ketat. Pemberi minuman, pelayan toko dan teman penumpang mobilnya akan ikut mendapat hukuman. Disiplin itu harus berada dari diri kita dan perlu dukungan sekitarnya.

Wine shop di depan perkebunan anggur dengan pemandangan menghadap gunung yang indah.

Karena lokasi ini cukup membosankan bagi anak-anak, akhirnya kami cepat-cepat pulang ke parkiran, dan menuju ke Museum Seni Yamanashi. Rupanya Gen ingin memperlihatkan lukisan Millet (Jean-François Millet, pelukis perancis) yang terkenal kepada Riku. Museum ini sejak dibuka 1978 memang terkenal sebagai museum Millet. Kami sampai di museum itu sudah pukul 4:30 lebih, tapi masih diperbolehkan masuk ke museum yang tutup pukul 5. (sebetulnya tidak bisa lagi beli karcis jika sudah pukul 4:30, tapi entah Gen mungkin bicara bahwa kami dari Tokyo). Harga karcis untuk dewasa 310 yen, untuk anak-anak 100 yen. Tidak mahal jika dibandingkan dengan pameran khusus yang biasanya 1800 yen/orang dewasa.

hasil karya Millet yang kuketahui

Lukisan Millet yang kuketahui cuma sang penabur (The Sower) dan pemandangan wanita yang sedang bekerja di ladang (The Gleanders). Lukisan The Gleanders ini pertama kali kulihat di Museum Louvre, Paris, sedangkan penabur aku tidak melihat langsung. Senang juga bisa melihat kedua lukisan ini dari dekat. Rupanya memang kedua lukisan ini (dan satu lagi The Angelus) merupakan lukisan Millet yang paling terkenal. Waktu kucari keterangan tentang Millet, kuketahui bahwa Millet bersama Rosseau mendirikan Barbizon School, yaitu sebuah aliran baru yang berpusat di daerah yang bernama Barbizon di pedesaan Perancis. Sedangkan kalau dilihat dari pengelompokan jenis lukisan, lukisan Millet bisa dimasukkan dalam kategori Realisme dan Naturalisme.

Sayang aku tidak bisa berlama-lama menikmati lukisan-lukisan Millet, dan lukisan pelukis Barbizon lainnya, karena aku harus menemani Kai. Ya, Kai belum bisa mengerti, mengapa harus melihat sebuah gambar berlama-lama, dalam sunyi, tak boleh bercakap-cakap dengan suara keras, dan jalan juga musti pelan-pelan, tidak boleh lari. Museum memang BUKAN tempat yang cocok untuk anak TK 😀 Tapi sebaiknya anak-anak juga dikenalkan pada lukisan dan barang-barang berharga/bersejarah  sedini mungkin sehingga bisa menghargai seni dan sejarah suatu bangsa. Jadi sementara Riku dan papanya menikmati lukisan, aku dan Kai berjalan agak cepat mengelilingi museum dan pameran khusus lain, kemudian menunggu mereka di lantai bawah. Bagi Riku dan Kai ini merupakan pengalaman pertama mengunjungi museum seni.

Yamanashi Art Museum

Persis pukul 5 sore, kami keluar museum itu dan berfoto di depan museum. Hari itu kami, terutama Gen puas karena bisa memenuhi rencana kunjungan ke tiga tempat. Takeda Jinja, Tomi no oka Winery dan Yamanashi Art Museum.

 

 

 

Yamanashi, Prefektur Tanpa Laut

15 Mei

Kalau berbicara tentang Yamanashi, bagi yang sudah tahu Jepang, tentu mengetahui bahwa Yamanashi terletak di pegunungan dan mengaku juga empunya separuh dari gunung Fuji, dan merupakan prefektur (semacam propinsi di Indonesia) yang tidak mempunyai laut. Bagi yang pernah belajar bahasa Jepang tentu tahu bahwa penggunaan ~nashi berarti tanpa ~. Nah kalau melihat nama Yamanashi, prefektur ini bukannya tanpa yama (gunung) tapi malahan tanpa umi (laut), sehingga seharusnya namanya menjadi Uminashi 😀 OK OK ini hanyalah dajare, lelucon (tidak) lucu.

Hari Sabtu kemarin, aku terbangun pukul 5 pagi. Setelah membuat sarapan untuk Riku, aku membangunkan Gen pukul 7 karena kusangka dia kerja hari itu. Ternyata dia libur! Wah, kalau begitu aku bisa tidur lagi dong 😀 Jadilah aku tidur di samping Kai yang masih terlelap sekitar pukul 7:30. Jam 9, aku lihat Kai terbangun dan keluar, tapi kupikir… ahhh kapan lagi bisa tidur sampai siang. Tahu-tahu jam 9:30 aku dibangunkan Gen. “Mel bisa bangun? Kalau bisa aku mau ke Yamanashi…”
“Kan hujan hari ini?”
“Ada 3 tempat yang aku mau kunjungi, dan tidak apa kalau hujan”
“OK….” Aku bangun dan bersiap cepat-cepat karena aku cuma punya waktu 30 menit. Gen rencana berangkat jam 10 pagi, supaya bisa sampai di Yamanashi pukul 12:30 an. Katanya jalan tol hari ini tidak macet, mungkin karena orang tahu bahwa hari ini hujan, jadi tidak berencana keluar rumah 😀

Dan… highway memang lancar jaya… Yang biasanya macet, bisa kami lewati dengan kecepatan sampai 110 km/jam. Wah seperti mimpi. Bahkan ketika kami sampai di Parking Area eh Service Area (bedanya kalau Service Area ada pompa bensin segala) Dangozaka, tetap lancar. Padahal katanya tempat itu  terkenal macetnya. Dan tempat ini lumayan besar karena ada beragam restoran dan bakery. Kai langsung berkata, “Aku lapar! Aku mau makan soba” Well, memang Kai dan Gen tidak sempat sarapan, jadi meskipun waktu itu baru sekitar pukul 11 lebih, kami makan siang sajalah.

Takeda Jinja, KOFU, Yamanashi prefektur

Setelah kami isi “bensin” , kami melanjutkan perjalanan dan sampai di pusat ibu kota Yamanashi, KOFU, kami langsung pergi menanjak menuju Takeda Jinja. Jinja adalah kuil Shinto, dan Takeda adalah nama seorang pembesar daerah, daimyo yang terkenal pada jaman Sengoku. Kebetulan Riku sedang gandrung membaca buku-buku mengenai pahlawan-pahlawan Jepang jaman dulu yang terdapat di perpustakaan (seperti yang sudah kutulis dia kan wakil ketua seksi perpustakaan OSIS di SDnya), sehingga dia bisa bercerita siapa itu Takeda Shingen dengan papanya. Wah senang deh rasanya mendengar mereka berdua bercakap-cakap di mobil. Aku juga suka sejarah (dan memang spesialisasiku sejarah Jepang khususnya jaman Tokugawa) tapi aku tidak tahu detil ceritanya seperti orang Jepang yang sudah  belajar sejarah Jepang dari kecil. Lama-lama aku ketinggalan deh pengetahuannya dibanding Riku.

Pernikahan ala Jepang tradisional di Jinja

Dan kebetulan waktu kami ke Jinja itu, ada pasangan pengantin Jepang yang merayakan upacara pernikahannya di Jinja itu. Aku sempat memotret iringan pengantin itu sebelum mereka masuk ke bagian dalam Jinja, yang hanya bisa dilihat oleh anggota keluarga saja (eh tapi aku pernah loh masuk ke bagian dalam jinja waktu menjadi penerjemah seorang wanita Indonesia yang menikah dengan orang Jepang secara Shinto). Setelah melihat-lihat jinja, kami juga masuk ke museum yang memamerkan sejarah keluarga Takeda, termasuk pedang dan pakaian perangnya. Sayang kami tidak boleh berfoto di dalam museum itu. Untuk masuk museum kami harus membayar 300 yen untuk orang dewasa.

shishimai yang mengambilan omikuji, kertas ramalan untuk Kai. Satu kertas 200 yen

Di depan museum kecil itu terdapat kotak kaca berisi shishimai (barong) yang bisa mengambilkan surat ramalan omikuji. Memang kalau ke Jinja biasanya orang akan membeli kertas omikuji yang berisi ramalan keberuntungan tahun itu. Jika bagus biasanya diikat di tempat yang disediakan dengan doa semoga dikabulkan. Yang aku baru lihat adalah tempat memasang kertas penamaan bayi. Maklum dulu waktu kami menentukan nama Riku dan Kai tidak pakai tulis di kertas begitu sih (kami juga tidak pergi omiyamairi, kunjungan pertama ke kuil Shinto 😀

bagian bawah: omikuji (ramalan kehidupan) dan meimeisho (kertas penamaan bayi)

Waktu kami datang ke Takeda Jinja ini hujan masih rintik-rintik, tapi lama kelamaan menderas, sehingga harus pakai payung. Sebelum pergi dari kuil itu kami sempat mampir ke toko souvenir dan membeli es krim rasa anggur. Daerah Yamanashi memang terkenal sebagai penghasil buah anggur. Enak!

softcream rasa anggur… oishiiiiii

Riku membeli sebuah pedang katana yang terbuat dari kayu dengan uangnya sendiri. Melihat itu Kai juga ingin beli, tapi karena Kai tidak punya (dan tidak bawa) uang, kami tidak berikan dia beli pedang. Nah, berantem deh 😀 Sulit memang untuk memberikan pengertian pada Kai, bahwa tidak semua yang dimiliki Riku itu cocok dan baik untuknya. Itu yang selalu harus kami tanamkan pada Kai, sehingga meskipun berkelahi, kami tetap tidak membelikan pedang untuk Kai. Kalau kami belikan, kata Gen, “Perang Saudara Jepang akan terjadi di Nerima” hahaha

Setelah dari Takeda Jinja, kami memasuki mobil untuk pergi ke tujuan berikutnya, yang katanya Gen untuk menyenangkan mama (setelah menyenangkan Riku, giliran mamanya). Yeay!

Berfoto di depan patung Takeda Shingen yang terdapat di alun-alun kota, sebelah stasiun, bukan di Jinja

Berlanjut~~~

Sailor Kid

13 Mei

Tanggal 5 Mei adalah hari Anak-anak Laki-laki di Jepang. Sebetulnya karena tanggal 3-4 Mei, kami sudah berada di Yokohama, bisa saja kami melanjutkan menginap di rumah mertua dan melanjutkan jalan-jalan di daerah Yokohama. Tapi karena tanggl 5 itu hari Minggu, Riku harus mengikuti sekolah minggu di gereja, dan aku pun harus hadir karena ada pertemuan orang tua murid dari anak-anak sekolah minggu. Kebetulan yang menjadi penasehat sekolah minggu adalah Pastor Ardy yang orang Indonesia, jadi tentunya aku harus memberikan support dong:D. Apalagi Kai yang kuajak ke gereja, karena merasa sudah akrab dengan pastor, dia duduk di sebelah kanan pastor 😀 Sok teu 😀

Setelah selesai mengikuti rapat sekolah minggu, Gen bergabung dan kami berjalan menuju stasiun. Kami memang mau memakai kereta api untuk jalan-jalan hari itu, dengan tujuan ke Minato Mirai di Yokohama. Parkir di Minato Mirai itu sulit dan mahal! Jadi lebih baik naik kereta yang lebih pasti. Setelah makan siang di Sukiya (restoran gyudon -nasi dengan tumis daging yang murah meriah), kami memulai perjalanan hari itu.

Untung saja kami datang di Yokohama Port Museum itu pas sebelum jam 2:30, jadi kami bisa ikut mendaftarkan anak-anak untuk mengikuti latihan memasang layar di kapal Nippon Maru, yang merupakan kapal pelatih. Untuk ikut acara ini sih gratis, tapi kami harus membayar harga masuk ke kapal seharga 600 yen untuk orang dewasa.

Latihan memasang layar untuk anak-anak

Tepat pukul 3:00 siang, kami berkumpul di geladak kapal dan karena pesertanya cukup banyak, maka orang tua tidak ikut memasang layar, cukup anak-anak saja. Itupun tidak semua layar dikembangkan. Hanya satu layar di bagian bawah. Kalau semua layar dikembangkan, katanya berbahaya untuk anak-anak karena harus memanjat. Yang diajarkan waktu membuka layar itu, bahwa menarik tali itu perlu banyak orang, tenaga dan keseragaman gerakan. Jadi ingat sih dulu waktu bermain ke sini waktu Riku masih kecil, kami melihat ‘pertunjukan’ mengembangkan layar oleh para kadet, dan indah sekali gerakan, juga  pemandangan layar terkembangnya.

bagian dalam kapal pelatih Nippon Maru

Sesudah acara memasang layar untuk anak-anak ini, kami bisa mengelilingi dalamnya kapal Nippon Maru. Memang Riku untuk kedua kalinya melihat dalamnya Nippon Maru, tapi Kai baru pertama kali sehingga dia mau melihat SEMUA, dan tertarik pada semuanya. Dia juga sempat bergaya mengemudikan kapal loh.

Riku dan Kai juga mencoba memakai baju kapten 😀

Setelah selesai, Gen dan anak-anak masuk ke museum pelabuhan Yokohama yang persis terletak di depannya (harga karcis 600 yen tadi sudah termasuk tanda masuk ke museum juga). Aku beristirahat di pelataran depan Nippon Maru sambil memotret yang bisa dipotret. Lama-kelamaan terasa dingin karena angin mulai bertiup, dan aku baru sadar bahwa jaketku ketinggalan di restoran Sukiya tadi :D. Untung masih ada syal, sehingga cukuplah untuk menutup leher.

Kembali berjalan ke stasiun, kami melihat bahwa di rotari sekitar tangga ada seniman jalanan  daigeido 大芸道 sedang bermain dengan api. Cukup menarik yang dibawakan sehingga cukup banyak orang yang berkumpul. Karena Kai kecil dan tidak bisa melihat, dia digendong papanya di pundak sehingga bisa menonton, sedangkan Riku sudah menyelinap ntah ke mana untuk menonton. Aku akhirnya naik tangga dan menonton dari atas. Ah, aku memang suka Yokohama! Kota pelabuhan yang modern dan bernafaskan luar negeri (baca: western).

menonton atraksi seniman jalanan

Setelah si seniman selesai, seperti halnya pengamen di sini, dia mengumpulkan uang, tapi bagi yang mau memberi saja. Aku lihat Riku diberikan uang oleh papanya, dan dia pergi ke kerumunan orang untuk memberikan kepada si seniman. Setelah itu kami berjalan ke stasiun dan naik kereta untuk pulang…. ke rumah mertua karena esoknya tanggal 6 Mei juga libur. Dan acara kami tanggal 6? nanti kutulis terpisah ya 🙂

 

Liburan Tanpa Rencana

9 Mei

Memang bukan baru kali ini sih, deMiyashita berlibur tanpa rencana. Sering! Kami namakan Nariyuki 成り行き : Jalan seenaknya kemana kaki (dalam hal ini biasanya sih mobil) melangkah. Nah pada libur Golden Week part 2 yaitu dari tanggal 3-4-5-6 Mei, kami juga nariyuki lagi deh. Tapi yang pasti Riku ingin menginap di rumah kakek-neneknya di Yokohama pada tanggal 3 Mei, jadi kami pergi ke Yokohama hari itu. Memang Riku amat sayang pada kakek-neneknya, dan hanya untuk datang saja, dan berada bersama mereka, Riku sudah senang. Aku pun bahagia melihat anak-anak sayang pada kakek-neneknya. Ternyata cukup banyak loh orang Jepang (ibu-ibu Jepang) modern yang tidak suka mempertemukan anak-anak mereka pada mertuanya (orang tua suami). Heran ya? Tapi itu kenyataan 🙂

 

berburu kupu-kupu di dekat rumah

Tapi sebelum berangkat ke rumah mertua, aku mesti siap-siap barang yang mau dibawa, sehingga Gen mengajak anak-anak mencari kupu-kupu di sekitar rumah kami. Lumayan dapat satu jenis kupu-kupu yang belum kami punyai specimennya yang ditangkap Riku. Kai juga sempat menangkap kupu-kupu tapi dilepas karena sudah punya specimennya. Setelah kembali ke rumah baru kami pergi ke Yokohama pada tanggal 3 Mei dan menginap di Yokohama. Tapi sebelumnya aku sempat mampir ke rumah adikku yang juga tinggal di daerah Yokohama untuk mengantarkan makanan Indonesia yang kumasak beberapa hari sebelumnya. Maklum dia wanita karir dan tidak masak sendiri, dan sebagai kakak yang baik…. hehehe. Sesampai di rumah mertua, kami makan malam bersama dan tidur. Nah keesokan harinya, cerah sekali. Sayang kalau dilewatkan di rumah saja, sehingga kami sepakat keluar rumah. Ntah kemana yang penting keluar rumah.

Kami mengarah ke semenanjung Miura. Tadinya kami ingin pergi ke Anjin, mungkin kalau pernah nonton film Shogun, orang Inggris yang bernama Wiliam Adams yang diceritakan pada film itu nama Jepangnya Anjin san. Nah konon di tempat itulah dia membangun kapal untuk pulang. Sayang kami tidak sampai ke sana karena berhenti-berhenti di tempat lain. Nanti lain kali ingin juga melihat daerah yang bersejarah itu.

kupu-kupu dan laba-laba yang kutemukan di taman PA Yokosuka. Kiri atas, mobil reklame dengan minuman kaleng di atasnya. Kanan bawah tempat charge utk mobil listrik

Tempat perhentian pertama kami adalah Parking Area dari highway di Yokosuka. Tempat para supir beristirahat makan, minum atau pergi ke toilet. Ada dua hal yang menarik kami temukan di PA ini, satu adalah adanya sebuah kolam tempat capung-capung berkumpul. Aku menemukan kupu-kupu cantik di sini. Ini merupakan fenomena menarik yang aku pelajari dari Jepang, yaitu meskipun mereka membangun fasilitas gedung untuk manusia, mereka tetap membiarkan beberapa tempat alami untuk habitat yang ada di situ. Kadang malah dibuat taman yang indah di sampingnya. Orang Jepang memang top dalam hal memadukan kedua unsur ini, buatan dan alami.

Yang kedua adalah tempat charge untuk mobil listrik. Aku takjub melihat bahwa mereka pun sudah menyediakan jasa seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana cara pembayarannya, apakah dihitung per waktu atau per energi yang dicharge. Maklum belum punya mobil listrik sih. Nanti ya kalau sudah punya, aku tulis 😀

Setelah istirahat di PA Yokosuka, kami melanjutkan perjalanan, lalu keluar tol…dan menemukan ada sebuah signboard yang bertuliskan “Tempat kupu-kupu”. Wah rupanya sebuah perusahaan LP gas bernama Sagami yang  membuat semacam museum kupu-kupu. Lumayan bagus untuk tingkat perusahaan (bukan pemda atau pemerintah). Suatu kontribusi bagi pengetahuan dan alam. Beberapa kupu-kupu yang dipajangkan berasal dari seluruh dunia. Sayang kalau difoto, lampu ruangan memantul sih, jadi tidak bisa membuat banyak foto di situ. Tidak sampai 30 menit kami di situ tapi Gen merasa senang sekali. Maklum memang melihat kupu-kupu itu hobinya. 

Museum kupu-kupu milik perusahaan Sagami. Lihat gambar kanan atas itu terbuat dari syaap kupu-kupu yang sudah mati, dari sbeuah negara di Afrika.

Melanjutkan perjalanan dan di kanan jalan kami menemukan papan “Ootawa Azalea Hills“. Mumpung sudah dekat, dan kami tidak tergesa-gesa, kami memutuskan untuk mampir. Dan untung saja kami mampir, juga dengan membawa jaring penangkap kupu-kupu, karena bukit ini indah sekali. Sepanjang mata memandang bunga Azalea di mana-mana. Lagipula dari atas kami bisa melihat kota Yokosuka membentang di bawah. Tentu saja aku menikmati waktu untuk memotret macam-macam yang bisa menjadi obyek kameraku.

Bukit Azalea Ootawa. Capek menaiki tangga ke atas, tapi pemandangannya indah. Di bagian atas ada tempat untuk piknik bagi yang mau. Masuk ke taman ini gratis

Waktu pulang menuju parkir, kami melihat ada kupu-kupu berwarna hitam yang terbang cepat. Hebat juga si Riku bisa menangkap kupu-kupu yang sedang terbang itu.

Dari bukit Ootawa itu kami menuju ke arah pantai, karena katanya di daerah itu (Nagai) ada pelabuhan ikan. Tapi sebelum itu kami menyusuri jalan sambil mencari rumah makan yang buka karena sudah waktu makan siang. Untung saja ketemu satu restoran Jepang, yang menunya hanya satu (tidak bisa pilih yang lain). Yaitu set nasi, sashimi dan ikan goreng untuk dewasa, dan nasi + sashimi maguro untuk anak-anak. Riku tentu sudah makan ukuran dewasa (dan kurang :D) sehingga kami memesan untuk  3 dewasa + 1 anak-anak.

Setelah selesai makan, kami bermain di pantai yang rupanya cukup dalam, tanpa pasir. Tapi airnya bening sekali. Ada sih sedikit sampah seperti bekas botol minuman dan plastik,tapi sedikit sekali. secara keseluruhan tempat itu bersih. Tapi tentu saja anak-anak lebih senang bermain di pasir.

Pantai buatan yang cukup dalam, tanpa pasir tapi bersih

Setelah puas bermain air, kami bergerak lagi menuju pelabuhan ikan. Rupanya ada pasar ikan tapi kecil. Dan karena kami takut ikannya busuk dalam perjalanan, kami tidak membeli ikan. Tapi kami membeli cumi-cumi bakar yang dijual di situ. Cumi-cuminya segar sehingga dagingnya tidak keras waktu dibakar. Riku suka tapi kami cuma beli satu. Itu saja harganya 300 yen (30.000 Rp).

Memang kami bisa melihat pemandangan pelabuhan di situ, yang tentu tidak sekotor/sebau di pelabuhan Sunda Kelapa. Tapi menurut Gen masih lebih besar dan lebih bagus pelabuhan Sunda Kelapa (wah baru ingat belum tulis nih…hampir setahun lewat hehehe). Ya memang pelabuhan ikan ini kan minor, tidak besar.

Pelabuhan Ikan Nagai. Kanan atas jepitan jemuran untuk menjemur ikan kering.

Karena sudah sore, aku mengajak Gen pulang saja ke Nerima. Tadinya kami berniat kembali dulu ke rumah mertua, tapi takut macet dan kemalaman, jadi kami langsung pulang ke rumah. Kami tidak bisa menginap lagi, karena tgl 5 (minggu) kami harus ke gereja pagi jam 9. Riku harus mengikuti Sekolah Minggu dan aku ada pertemuan dengan orang tua murid Sekolah Minggu.

Liburan kami tanggal 3 dan 4 berakhir dengan menyenangkan padahal tidak terencana dengan baik. Hal ini menyimpang dari kebiasaan orang Jepang pada umumnya yang apa-apa direncanakan secara mendetil. Ya,seperti Arman yang sedang merencanakan liburan musim panasnya di Canada. Bagus sih, cuma terkadang menyusun rencananya saja sudah capek duluan 😀

Teman-teman suka berlibur terencana atau nariyuki seperti kami?

Bukit Azalea Ootawa, Yokosuka

 

pantai Nagai, Yokosuka

Sumo Arena

3 Mei

Golden Week tahun ini kurang bagus urutannya. Maksudnya kurang bagus adalah tanggal yang tidak merah (sebanyak 3 hari) kena di hari biasa, sehingga tidak bisa libur berturut-turut tanpa mengambil cuti 3 hari. Kalau cuma 1 atau 2 hari, karyawan akan lebih mudah mengambil cuti daripada 3 hari, bukan? Jika urutannya bagus, ada yang bisa ambil libur sampai 10 hari berturut-turut seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini terpaksa Golden Week (GW) terbagi dua, bagian pertama yaitu tanggal 27-28-29 April dan bagian kedua tanggal 3-4-5-6 Mei.

Karena tanggal 27 dan 29 Gen harus kerja, kami akhirnya memutuskan untuk pergi berwisata di dalam kota Tokyo saja pada hari Minggunya. Tapi Riku harus mengikuti sekolah Minggu (padahal Sabtunya kami sudah ke gereja) di Kichijouji sampai pukul 11 siang. Jadi kami janjian bertemu di stasiun pukul 11 untuk bersama-sama pergi ke Ryogoku. Tujuan kami sebetulnya ada dua yaitu Sumo Arena (Ryogoku Kokugikan 両国 国技館) dan Tokyo Edo Museum. Dan perjalanan dari Kichijouji sampai Ryogoku ditempuh dalam 40 menit naik kereta lokal (berhenti setiap stasiun). Lumayan tidak usah ganti-ganti kereta lagi.

 

Stasiun Ryogoku ada cap tangan pesumo

Tapi kamu sampai di Ryogoku sudah mendekati pukul 1. Lapar, tapi menurut Gen ada kelas pembuatan teropong cermin sehingga kami buru-buru pergi ke museum Tokyo Edo Museum untuk bisa mendaftar. Tapi ternyata kami salah masuk, dan harus putar jauh sekali… memang museum ini besar sekali! Dan biasa, jika perut lapar rasanya tension semakin tinggi, kan? Kami akhirnya masuk ke Kokugikan saja (Sumo Arena), karena di situ ada bazaar yang menjual makanan khas pesumo yaitu Chanko Nabe. Kami membeli satu mangkuk chanko nabe seharga 500 yen, dan membawanya ke meja yang telah disediakan. BUT hari itu CERAH sekali, dan panas 25 derajat! Di bawah terik matahari, kami makan chanko nabe yang berupa sup panas… duh benar-benar tidak cocok deh 😀 Sementara aku dan anak-anak duduk, Gen mencari makanan lain yaitu yakisoba (mie goreng Jepang) dan takoyaki (octopus ball). Semuanya harus antri dan tentu tidak cukup untuk kami berempat, jadi aku membeli lagi satu mangkuk chanko nabe. Yang penting sudah ganjal perut deh.

panaaaaas 😀 silaauuuuuu 😀

Selesai makan kami masuk ke dalam Kokugikan. Tempat ini biasanya TIDAK dibuka untuk umum. Kalau mau masuk ke tempat ini ya harus menjadi penonton. Dan karcis menonton Sumo itu muahal jeh! Coba saja lihat tuh daftar harganya. Oh ya yang lucu dari tiket sumo itu, kita bisa membeli suatu “kapling” untuk 4 orang dan biasanya di situ duduk ala Jepang, alias di atas zabuton (alas duduk seperti cushion tapi lebih besar sedikit). Jadi tentu harus cari teman untuk bisa ber-4 atau ya bayar untuk 4 orang tapi pakai sendiri :D.

Begitu masuk memang ada beberapa stand yang menjual souvenir dan kegiatan membantu daerah-daerah terkena bencana di Tohoku. Tapi di situ juga ada boneka karakter sumo yang bernama Hakkiyoi Sekitorikun, jadi kami minta tolong staf untuk memotret kami. Di lobby masuk itu juga ada pertunjukan penyanyi-penyanyi yang membawakan lagu sebelum sumo dimulai. yang pasti sih bukan lagu pop 😀

berfoto dengan karakter sumo (bukan Angry Bird loh)

Lalu kami menuju tribun Timur, karena kami tahu bahwa ada tour backyard yang katanya akan mengantar kami melihat bagian belakang Sumo Arena. Harga karcisnya 200 yen untuk anak SD sampai dewasa. Kai tidak bayar. TAPI kami dapat giliran terakhir jam 3 sore. Masih ada waktu 1,5 jam yang harus dihabiskan. Jadi kami melongok ke dalam pintu yang terbuka, melihat arena sumo dari pintu keluar. Saat itu kami melihat ada orang-orang di bawah yang ambil foto. Kami juga mau ke sana tapi bagaimana? Mungkin perlu ijin lain ya? Jadi kami cukupkan dengan mengambil foto dari pintu atas saja.

panoramic sumo arena

Setelah itu kami pergi ke Sumo Museum yang menempati ruangan di sebelah depan utara. Museum ini menceritakan perjalanan Sumo Jepang lengkap dengan dokumen dan maket gedung sumo arena di beberapa tempat. Sayang kami tidak boleh memotret di dalam sini.

Setelah dari museum kami mengelilingi lagi arena bagian luar dan sampai pada bagian belakang yang ternyata ada pelayanan menuliskan  nama dengan kanji ala sumo di sebuah uchiwa (kipas bulat). Tulisan kanji ala sumo ini memang khas dan dipakai untuk menuliskan daftar pertandingan dalam sebuah musim. Agak bulat dan kotak. Rupanya kami bisa minta dituliskan namanya dengan membayar 1000 yen. Jadi kami minta untuk menuliskan nama Riku dan Kai. Penulis kaligrafi ini adalah Gyouji 行司 (judge atau juri). Aku baru sadar kok Juri juga menjadi penulis kaligrafi ya? Aneh.

 

minta dituliskan nama dalam huruf Kanji Sumo di uchiwa (kipas bulat)

Akhirnya sekitar jam 3 kurang 15 menit kami berkumpul untuk mengikuti tour backyardnya. Kami diantar melewati tangga dalam menuju ke tempat latihan para sumo. Seperti tatanan hidup masyarakat Jepang, di Sumo juga ada rankingnya. Yang paling top adalah Yokozuna, dan dia bisa berlatih di tempat paling ujung dan paling luas dibanding yang lainnya.

Di kamar latihan itu kami juga bisa melihat para Gyouji menulis daftar pertandingan sembari tidur. Rupanya memang begitu caranya supaya besar huruf bisa sama dan seimbang, seperti dicetak. Wah bisa jereng juga ya. Masih di ruang yang sama ada tiang kayu yang tinggi untuk latihan mendorong, serta di ujung ruangan ada WC dan kamar mandinya. Ukuran wc dan kamar mandinya sedikit lebih besar daripada milik orang biasa. Maklum badannya besar kan?

ruang latihan dan ruang gyoji

Setelah dari ruangan latihan, kami menuju ruangan Gyouji. Di sini dipamerkan baju/kimono yang dipakai para gyoji yang berbeda menurut rankingnya. Dalam sumo juga dibedakan grupnya dengan nama berakhiran ….beya (heya = kamar).

Dari situ kami menuju kamar wawancara, serta kamar penjurian yang cukup besar. Di situ terlihat daftar pertandingan dari tahun 1985. Dalam kamar ini konon setelah pertandingan selesai, mereka langsung menentukan daftar pertandingan berikutnya, siapa melawan siapa.

Ternyata setelah kami melihat kamar penjurian, kami diantar masuk ke dalam arenanya. Horreeeee… Kami pikir karena namanya tour backyard, jadi cuma bagian luar saja. Ternyata masuk sampai arenanya juga. wahhh 200 yen menurutku murah sekali kalau begitu 😀 Untung saja kami bisa mengikuti kesempatan langka ini.

Sambil mendengarkan penjelasan mengenai tempat pertandingan, aku memotret segala sudut Sumo Arena. Kapan lagi, karena belum tentu kami bisa masuk ke sini lagi. Tempat bertandingnya sendiri terbuat dari pasir yang berasal dari Kawagoe, dan dipadatkan dengan air, tanpa campuran bahan lain, kemudian digerus hingga rata. Undakan itu berbentuk kubus dan didalamnya dipasang tali sebagai batas aduan. Kalau kaki keluar dari tempat ini tentu saja kalah.

sumo arena dari dekat

Di bagian atas arena pertandingan itu ada atap tanpa tiang yang melambangkan dewa-dewa Shinto Jepang. Semua ada artinya, karena Sumo sebetulnya bukanlah olahraga pertandingan tapi merupakan festival laki-laki untuk menyembah dewa. Jadi semua gerak dan tempat ada arti-artinya. Yang pasti perempuan tidak boleh menginjak bulatan tempat sumo bertanding. Alasannya bukan karena anti feminisme atau tidak menghargai perempuan tapi lebih ke tempat sakral yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu. Dan tentu saja karena sumo merupakan festival laki-laki, perempuan tidak boleh masuk. Masuk akal kan alasannya?

Setelah mendengarkan penjelasan, tour backyard pun selesai sekitar pukul 4:30. Cukup lama ya, satu setengah jam dan biayanya hanya 200 yen/perorang. Kami sempat berfoto dengan guidenya dan kemudian keluar arena. Di luar yang tadinya penuh dengan orang yang datang untuk makan, sudah sepi dan meja kursi sudah dibereskan. Mereka memang tutup pukul 5 sore.

Persis di seberang Sumo Arena ada terminal untuk naik water bus (ternyata bukan sea bus, karena kami menyusuri sungai bukan laut :D) . Kami berniat untuk naik boat ini dulu sebelum makan, dan untung saja rupanya dalam 2 menit lagi ada boat yang akan berangkat. Kami cepat-cepat membeli karcis seharga 600 yen/dewasa dan 300yen/anak. Kami menyusuri sungai Sumida sampai ke terminal Asakusa dan kembali lagi. Karena kami datang terakhir kami tidak mendapat tempat yang strategis untuk berfoto dalam boatnya. Tapi pas kembali tentu saja kami bisa memilih mau duduk di mana. Dan waktu berhenti di terminal Asakusa itu, kami bisa melihat Sky Tree persis di depan kami. Disanding dengan langit yang biru, pemandangan saat itu benar-benar indah. Aku tadinya cukup takut naik boat, tapi kelihatannya sekarang sudah makin berani deh. Bisa pindah-pindah dalam boat hanya untuk mendapat posisi bagus untuk memotret 😀

sky tree dari sungai sumida

Setelah kami kembali ke terminal Ryogoku, kami mencari restoran untuk makan malam. Chanko nabe yang kami makan sudah tidak tersisa, dan membuat perut kami keroncongan. Tapi Riku ingin sekali makan es serut kakigori di stasiun kereta, jadi kami berdiri lama di depan toko dalam gedung stasiun yang menjual macam-macam. Yang mengherankan pelayan toko membagikan kue sakura mochi untuk semua orang yang lewat di depan tokonya, gratis! Suatu cara untuk mengundang tamu. Belum lagi aku membeli draught beer di situ, yang mustinya harga 500 yen ehhhh dikasih dua gelas, jadi cuma 250 yen/gelas. Memang jam 5lewat di daerah itu sudah mulai sepi pengunjung.

Sebetulnya Riku ingin makan di toko itu, tapi aku dan Gen pikir kalau masuk ke toko itu bisa-bisa habis 10.000 yen untuk makan dan minum. Jadi kami bermaksud mengelilingi stasiun mencari tempat makan yang murah saja. Nah, di situ Gen melihat ada tempat cukur rambut seharga 1000 yen (cukup 10 menit) jadi aku dan anak-anak makan dulu, sementara Gen cukur dan baru setelah itu bergabung.

Pepper Lunch. Lihat sumpit yang dipegang Kai, mengandung magnet, sehingga tidak jatuh

Toko murah yang kami masuki adalah Pepper Lunch, (sepertinya di Jakarta sudah ada), sebuah toko steak dan hamburger murah dengan sistem membeli karcis makan dulu. Aku pesan steak dan ayam panggang berdua dengan Kai, sedangkan Riku pesan hamburger. Lumayan juga makan di sini, tapi masih lebih murah makan di Yoshinoya gyudon sih hehehe.

Demikianlah kami menghabiskan GW part 1 dengan melihat salah satu kebudayaan Jepang yang sudah ada sejak zaman kuno.