Kemarin malam aku merasa bahagia. Sederhana saja sebenarnya.
Kemarin Kai pergi karya wisata bersama teman-teman satu angkatan. Memang setiap tahun sekolahnya (negeri) mempunyai program dengan mengajak satu angkatan pergi ke luar sekolah. Kelas satu dan dua pergi ke tempat yang dekat saja, dan tahun lalu (kelas 2) Kai demam sehingga tidak bisa ikut. Tahun ini mereka pergi ke daerah Saitama yang terkenal dengan higanbana, bunga berwarna merah. Sudah sejak seminggu sebelumnya Kai mempersiapkan sendiri apa saja yang mesti dibawa. Sehingga benar-benar meringankan tugasku. Tugasku hanya menyiapkan bekal di pagi harinya.
Karena sangat capek mendaki bukit, Kai tidur lebih cepat. Tapi sebelumnya, dia minta untuk tidur bersama aku, di sebelahku sebab malam sebelumnya dia mimpi buruk. Karena akupun capek, aku juga leyeh-leyeh di tempat tidur, dan tak lama Gen juga masuk kamar. Daaaan…. aku mulai ngedumel soal perkuliahan. Karena tahu kami masih bangun, Riku masuk kamar kami dan bertiga leyeh-leyeh di tempat tidur. Tentu sambil mendengarkan aku yang sedang ngedumel hehehe.
Apa sih kekesalan aku sebenarnya?
Ini merupakan kekesalan seorang dosen terhadap sikap mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan. Waktu aku datang 24 tahun lalu, aku cukup kaget melihat sikap mahasiswa Jepang dalam perkuliahan, terutama jika kuliah itu diikuti oleh 50 orang lebih. Ya, mereka sering tidur!
Waktu aku masuk UI dulu, aku juga sering heran melihat sikap mahasiswa yang amat sangat berlainan dengan sikap murid di SMA asalku. Doooh waktu SMA kami benar-benar disiplin dan harus menghormati guru deh. Di UI pun aku mengikuti beberapa kuliah di ruangan besar, tapi tidak ada yang tidur deh sepertinya. (Atau aku saja yang tidak lihat?)
Anyway, jadi aku sudah tahu bahwa mahasiswa Jepang suka tidur di kelas. Alasannya macam-macam, ada yang capek karena mesti bekerja sampai malam. Atau memang tidak berminat mengambil mata kuliah itu tapi merupakan kuliah wajib ambil.
Aku mempunyai satu kelas yang pesertanya sampai 70 orang. Berat sekali mengendalikan kelas ini, yang sudah tiga tahun aku jalani. Pengaruh smartphone terhadap perkuliahan itu amat besar, seperti yang sudah kutulis di sini. Tapi akhir-akhir ini aku merasa kondisi menjadi lebih parah. Biasanya jika aku menyuruh mahasiswa membaca dan ketahuan dia tidur, tapi kalau dipanggil namanya, pasti bangun dan berusaha mencari bagian mana yang dia mesti baca. Mahasiswa itu akan merasa “malu” ketahuan tidur. Tapi sekarang, rasa malu itu sudah tidak ada 🙁 Bahkan waktu aku menyuruh menjawab soal, yang jawabannya pun ada di halaman yang sama, tidak bisa! Tidak usaha sama sekali! Duh!
Yang paling menyebalkan, kejadian waktu pokemon go dirilis di Jepang. Pas hari itu aku mengadakan ujian akhir. Open book, satu jam saja. Tapi kalau sudah selesai, boleh kumpulkan dan keluar. Daaaan ada satu mahasiswa yang mengumpulkan di menit ke 30. Kupikir dia pasti pintar, tapi waktu kulihat lembar jawabannya, hanya setengah yang diisi. Ternyata waktu pulang, aku melihat dia dan teman-temannya sedang main pokemon go! So, dia sama sekali tidak berusaha mengisi semua ujiannya, dan yakin dia pasti akan dapat sksnya meskipun dengan nilai pas-pasan!
Suamiku juga bekerja di bidang yang sama, pendidikan. Dan menurutnya, mahasiswa jaman sekarang tidak mempunyai lagi “keinginan untuk maju”. Yang aku namakan dengan tidak mempunyai “alert” terhadap bahaya. Bahaya bahwa kamu tidak bisa dapat pekerjaan! Kelihatannya mahasiswa Jepang bersekolah di universitas hanya untuk memenuhi keinginan orang tua. Toh orang tua yang bayar! Tidak perlu lah dapat nilai bagus, nanti juga dapat pekerjaan. Bahkan, ada kecenderungan beberapa orang mahasiswa laki-laki yang merasa cukup, jika dia bisa bekerja menjadi “tukang bangunan”, seperti tukang cat, tukang semen dll. Bukan, bukannya aku merendahkan pekerjaan itu, tapi kok tidak punya keinginan untuk “lebih” dari yang lain ya? Jepang sudah terlalu lama berada dalam “kedamaian” mungkin ya?
Kesimpulannya, aku akan lebih “galak” lagi, dengan memberikan ancaman-ancaman jika tidak memenuhi syarat akan kuminta tidak usah datang saja ke kuliahku, karena aku tidak akan “memberikan” sks.
Nah, yang membuatku bahagia malam kemarin itu, Riku ikut mendengarkan dan berdiskusi dengan kami soal “mahasiswa yang tidak belajar” itu. Baru kali ini kami terlibat pembicaraan serius yang cukup lama. Sampai aku baru sadar setelahnya, bahwa dia BARU kelas 2 SMP, karena gaya bicaranya yang cool 😀
Katanya, “Memang aku juga banyak mendengar dari guru-guru di bimbel bahwa murid SMA dan mahasiswa sekarang ini kurang belajar. Tapi murid SMP nya lain loh. Murid SMP yang aku lihat itu mereka belajar loh. Mereka berusaha menjadi yang terbaik. Memang dibilang bahwa murid SMA dan mahasiswa sekarang menjadi bodoh karena pakai smartphone. Tapi jangan samakan mereka dengan murid SMP ya, karena kami TIDAK punya smartphone yang bisa dibawa ke sekolah (memang tidak diperbolehkan, sedangkan SMA dan univ tidak ada larangan). Kami pakai smartphone pun di luar jam sekolah. Menyebalkan sekali jika kami disamakan dengan mereka!”
Ya, ya…. memang tidak boleh menyamakan semuanya. Karena sebetulnya kemarinnya lagi, aku baru saja memulai satu kelas baru di universitas yang lain. Muridnya 35 orang. Memang aku lihat ada 2-3 orang yang ngantuk-ngantukan, tapi secara keseluruhan mereka bisa menunjukkan kecerdasan mereka. Apalagi ternyata hampir setengahnya sangat fasih berbahasa Inggris. Kepalaku sampai pening memakai tiga bahasa, Jepang, Inggris dan Indonesia dalam tiga jam hahaha.
Yang penting, semoga anakku tidak seperti mahasiswa yang malas-malasan itu deh 😀 dan semoga dia bisa menemukan bidang yang disenangi untuk diselami lebih dalam di universitas.
*dongeng perkuliahan*