Hari ke 6 – Pusat Orang Pintar

22 Feb

Tibalah hari ke dua di Bandung. Jam 7:40 saya dapat berita via sms, “Imelda san, Ohayo. Ini nomor HP saya, Barangkali diperlukan. Arigato. Nanang”, Nah, akhirnya saya bisa menghubungi beliau deh. Maklum pak Nanang ini orang penting, sayanya juga takut mengganggu. Jadi saya cuma mengirim via email, kalau bisa hari Jumat mau bertemu, dan tak lupa menyertakan no HP saya.

Ongkos menginap di hotel The Valley ini termasuk dengan Breakfast, yang tersedia di Restorannya dari pukul 7 sampai 10 pagi. Nah, saya menuju Restoran pukul 9:45. Saya pikir biarlah kalau tidak bisa sarapan lagi, saya akan “turun gunung” dan sarapan di dalam kota saja. Sambil membawa laptop untuk buka internet, ternyata saya masih bisa sarapan di situ. Menempati tempat duduk di tengah-tengah restoran, saya ambil bubur ayam dan kopi. Wah memang banyak juga variasi makanan untuk buffet breakfastnya. Soalnya saya terbiasa dengan menu Jepang yang disediakan hotel-hotel di Jepang, hanya ada roti dengan segala selai, dan sosis/daging-dagingan, yoghurt dan teman-teman, serta Japanese Breakfast, yaitu nasi/bubur, ikan bakar dan natto. Tapi di hotel ini, masak ada sate ayam, opor, gule, nasi uduk, soto mie juga. Aneh aja rasanya kalau makan pagi nasi opor hehhehe.

Sambil menikmati bubur ayam (sambil teringat bu Enny yang suka bubur ayam…. wah bu Enny terus-terusan masuk dalam pikiran saya jeh), saya buka laptop dan menyambung internet. Kalau di restoran ini ada wifinya. Saya masih bisa membuka TE (Twilight Express) tetapi malas membuat tulisan baru. Setelah membaca email yang masuk, akhirnya saya matikan laptop, dan kembali ke kamar. Sebabnya…. karena kenyang jadi ngantuk. Dan saya toh masih punya waktu banyak sebelum cek out hotel yang jam 12 itu. Sempat tidur sebentar, dan menanyakan pada Pak Nanang, apakah bisa bertemu waktu sholat jumat (Kami sama-sama beragama katolik). Dan dikatakan beliau masih di luar kantor, dan baru kembali pukul 1 siang.

Jam 11:45, saya menelepon front desk dan konfirmasi cek out dan meminta dicarikan taxi. Maklum Bell boynya yang kemarin bilang, bu… kalau mau panggil taksi kasih tahu 30 menit sebelumnya, karena mungkin agak sulit taksi untuk naik ke atas bukit. Conciergenya tanya apa saya perlu bantuan untuk mengangkat barang? Then saya bilang, PERLU. Masalahnya saya juga sulit mengangkat barang sambil naik tangga yang tak terhitung itu. Bisa menggeh-menggeh deh saya sampai di atas, hehehhe. Mana di atas bukitpun jika sudah tengah hari begini puanasnya minta ampun rek. Terus saya ngebayangin Tokyo yang dingin, hmmm jadi kangen Tokyo.

So, tujuan saya berikutnya kemana? Masih banyak waktu sebelum jam 1, jadi saya pergi ke hotel ke dua yang telah saya pesan untuk cek in. Yaitu Aston Tropicana. Tadinya bingung antara Aston Braga atau Aston Tropicana. Saya senang berada di daerah Braga, karena saya selalu pergi ke Braga Permai untuk membeli coklat, setiap saya ke Bandung bersama keluarga. Tapi katanya Aston Topicana ini masih baru, dan terletak di jalan Cihampelas. Jadi kepada supir Taksi saya minta dia mengantarkan saya ke Aston Tropicana. (Saya pikir waktu cek in nya pukul 12:00, setelah saya masuk kamar baru lihat di buku panduannya, bahwa waktu cek in pukul 2 siang, cek out pukul 12 siang. Nah ini persis hotel-hotel di Jepang)

Di Lobby saya disambut cewek-cewek cantik. Rasanya memang lain ya, jika disambut dengan senyuman dari perempuan-perempuan manis. Meskipun saya sendiri wanita. Soalnya di The Valley, semua petugas hotelnya laki-laki (dan tidak bisa dibilang jelek atau tidak ramah juga… tapi Valley memang kesannya kok “gelap”, sedangkan Aston ini “terang”). Jadi deh yang bawakan tas seret saya si mojang priangan yang senyumnya cukup bisa membuat tersepona. Sambil mengantar saya ke kamar dia bertanya,

“Ibu pertama kali ke Bandung?”
“Tidak, sudah beberapa kali, besok saya ke Jakarta”
“Ibu biasanya menginap dimana di Bandung?”
“Ohhh di Panghegar….” (Entah kenapa saya tidak bisa bilang, eh kemarin tuh saya nginap di the Valley hehehe)
“Ini kamarnya bu, selamat beristirahat” Dan Pintu tertutup… (tentu saja setelah “salam tempel”)

Oioi,,, dia tidak menyalakan AC, atau menjelaskan pemakaian remote control… heheheh meskipun sudah tahu sih, tapi sepertinya itu prosedur yang biasa dijalankan oleh petugas hotel. But, thats OK. Kamar standar di Aston memang terlihat lebih terang dengan nuansa warna krem. Hmmm benar-benar hotel standar, alias…biasa saja (atau standar saya terlalu tinggi ya?).

Nah, karena sudah 12:40, saya menelepon front desk dan minta dicarikan taxi. Karena si mojang priangan ini menyarankan telepon saja, daripada ibu cari sendiri di jalanan depan. Eeeee ternyata sodara-sodara, Taxi yang saya pesan tidak ada kabarnya sampai jam 1 lewat 20 menit. Tidak sabar saya menelpon ke front desk dan bilang, kalau saya sudah terlambat dan tolong carikan taxi apa saja deh. Aneh memang sistem pertaksian di Bandung ini. Sepertinya petugas hotel bergantung pada Taxi Bluebird saja. Tau gitu kan lebih cepat saya “turun ke jalan” dan mencegat taksi yang lewat di jalan cihampelas itu. Banyak gitu kok yang berseliweran. Dasar maunya manja! kena batunya deh.

Tidak lewat dari 5 menit, telepon berdering, “Ibu Imelda, taksinya sudah ada, tapi Gemah Ripah  bu”… yey masa bodo namanya apa… yang penting saya butuh kendaraan ke Pusatnya Orang Pintar dan Penting ini. Ya, tujuan saya berikutnya adalah berkunjung ke ITB. Tapi bukan ITB yang ini:(Institute Tambal Ban)

Melainkan ITB (Institute Teknologi Bandung) yang almamaternya Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno. Dan ternyata letaknya tidak begitu jauh dari Cihampelas, karena saya cuma membayar 10.000 rupiah saja untuk taxinya. Argo awal taxi Rp6.000 (hmmm dibanding deh dengan Jepang yang 710 yen. nyengir aja dulu deh…. Yang pasti di Jepang ngga bisa seenaknya naik taxi) .

Akhirnya saya bisa bertemu dengan dua tokoh dari ITB ini. Yang satunya tentu sudah tidak asing lagi di blogsphere dengan julukan Oemar Bakri dan yang seorang lagi adalah Dr Nanang T Puspito yang merupakan teman seperjuangan di Tokyo, awal-awal kedatangan saya di Tokyo, tahun 1992-1993. Pak Nanang ini amat pintar bernyanyi di Karaoke, dengan lagu “Yukiguni” atau “Osake yo”, lagu-lagu enka jaman baheula deh. Karena Pak Nanang masuk program doktor, jadi kurang fasih membaca kanji, dan selalu dibacakan oleh kami-kami yang masuk dari program S1-S2. Tapi semangat menyanyinya boljug deh. Biasanya anak-anak muda katolik yang berkumpul di gereja Meguro setiap sabtu, akan pergi makan bersama dan karaoke setelah misa pukul 5 sore. Kebiasaan ke karaoke ini hampir setiap minggu dilakukan, dan ini amat sangat membantu saya untuk bisa membaca kanji dengan cepat. Sayangnya saya baru bergabung dengan Mudika (Muda-mudi Katolik) di meguro, Pak Nanang sudah menyelesaikan program doktornya. Jadi waktu pak Nanang pulang ke tanah air, kami mengadakan pesta perpisahan dan mengantar ke Narita. Dengan demikian  saya sudah 15 tahun tidak bertemu pak Nanang ini (untung beliau masih ingat saya…yang dulu kurus itu loh hihih).

Saya juga senang karena akhirnya bisa bertemu dengan dosen ITB yang terkenal itu, Pak Grandis, yang meluangkan waktu untuk “Kopdar” di ruangnya pak Nanang.  Padahal Pak Grandis lagi sibuk-sibuknya mengurusi programnya. Saya baru tahu Pak Grandis ternyata Ketua Program tuh, pantas sibuk.(Nama lengkap programnya saya tidak tahu pak, dan saya pikir bukan wewenang saya menulis di sini, tanpa persetujuan bapak. Maklum kebiasaan di Jepang ternyata “Lupa” saya lakukan saat itu, yaitu tukar menukar Kartu Nama.) Pak Grandis juga sebetulnya yang menghubungkan saya dengan Pak Nanang, waktu membaca postingan saya yang mengenai gempa.

Karena ke dua bapak ini sibuk, saya juga tidak mau berlama-lama berada di kantor ITB ini, dan cepat-cepat pamit. Saya juga tidak sempat berjalan-jalan mengambil foto-foto kampusnya orang-orang terkenal ini. Soalnya dulu waktu saya daftar masuk Universitas, ngga berani daftar ke sini… mentok-mentoknya ke Parahyangan… dan itupun ngga keterima hihihi. Sayang juga teman sekelas saya di SMA, Keke Wirahadikusuma sedang berada di Perancis (kayaknya sih soalnya sulit untuk mengontak beliau).

Kembali ke Aston, saya mampir dulu ke giant supermarket di sebelahnya hotel untuk beli camilan. Sekembalinya ke kamar, nyalakan komputer dan konek internet. Dan dengan sedihnya saya mendapatkan bahwa saya tidak bisa membuka blog TE, blog saya sendiri. Bisa buka yang lain, tapi khusus untuk blog saya, dan blog pak Amin yang pakai hosting sama, tidak bisa dibuka sama sekali. mungkin masalah proxy atau apa. Sebeeeel banget deh. Jadi tidak bisa posting lagi, dan juga jadi malas untuk blogwalking. Jadi deh saya siesta, tidur siang. Tutup tirai (gordijn tuh kan bahasa Belanda… jadi saya hindari pemakaian kata ini), matikan semua lampu, dan ZZZzzZzZzzZZ…. uh Nikmat banget deh tidur siangku saat itu. Terbangun pukul 4, aku dengar suara hujan, buka tirai dan mendapatkan Bandung diguyur hujan deras sekali. Wow. saya buka semua tirai dan sambil tiduran, dan memandangi hujan. tranquilizer.

Tapi lama-lama kok saya jadi takut. Soalnya kadang-kadang terdengar suara ketawa-ketawa orang, dan suara bersin laki-laki di kejauhan yang periode bersinnya seperti teratur. Lalu saya pikir, masak saya mau menyiksa diri dengan  makan sendiri lagi malam ini. Tiba waktunya menghubungi DM , si Penganyam Kata,  Daniel Mahendra hihihi. Biarlah saya ganggu dia sekalian dari kesibukannya. Waktu saya telepon dia, ternyata beliau kaget dan berkata, “loh adikmu itu kan juga sedang menuju ke Bandung”. Hahahaha, ternyata Lala, akan mendarat tiba di Bandung dengan Kereta dari Surabaya jam 8 malam. Toh dia akan nginap di rumah saya besok, jadi kita bisa pergi bersama ke Jakarta besok pagi. Jadilah saya dan DM jemput sang Putri di Stasiun Bandung jam delapan, tapi keretanya di delayed (gaya amat deh bahasanya delayed, TERLAMBAT langsir aja susah-susah pakai bahasa linggish). Tentu saja surprise!!!

Dalam hujan akhirnya kami bertiga mencari makan soalnya sudah jam 9 tuh, dan cacing-cacing di perut sudah megap-megap minta makan (iya loh terakhir makan itu kan breakfast jam 10 pagi itu, yang membuat perut hampir meletus hihii). HANAMASA aja deh, kayaknya aku pernah denger bahwa Danny Boy ini suka hanamasa hihihi. (bener ngga sih Danny?)

Ngamuk deh makan di hanamasa, dan ternyata kita merupakan tamu terakhir di situ karena rupanya resto ini tutup jam 10 malam. Cepet banget ya tutupnya? Terima kasih Danny dianterin makan, dan saya malam ini juga ditemanin Lala tidur di hotel. Hari ini penuh acara kopdar deh bagi saya.

Hari ke 5- Healing getaway

22 Feb

Ya, hari ke 5 saya kasih judul healing getaway, karena saya memang getaway, melarikan diri ke Bandung. Selain tujuan untuk “memanjakan diri sendiri”, saya sebenarnya ingin bertemu seseorang, yang ternyata mendadak tidak bisa ditemui. Beliau adalah Romo Pujasumarta, uskup Bandung, yang saya kenal lewat internet. Tapi saya terus saja menjalankan rencana saja meskipun rencana tidak terlaksana.

Saya tahu dari penguasanya Bandung si DM, lalu Ibu Enny, bahwa untuk ke Bandung bisa naik travel. Dulu, kalau ke Bandung saya selalu naik kereta Parahyangan. Tapi karena kelihatannya travel ini mempunyai pamor yang cukup cemerlang di kalangan Blogger, saya pikir saya mau coba naik travel saja. Apa sih travel itu?

Saya ingat dulu ada transportasi darat menuju Bandung ada mobil 4848. Nah, gantinya si 4848 inilah yang disebut dengan travel. Memang ada banyak nama travel itu seperti Xtrans, Cipaganti travel dll. Sejauh saya mencari di Internet, Cipaganti Travel ini yang rutenya paling dekat rumah saya yaitu Pondok Indah -HangLekir – Senayan City -BTC Bandung. Biasanya travel ini berangkat sejam sekali (tergantung dari trayeknya).

Kamis, 19 Februari. Saya pesan travel untuk jam 11:30. Tapi karena Kai tidak tidur-tidur, saya terpaksa merubah jam keberangkatan menjadi 12:30. Saya naik dari Pondok Indah Arteri, persis jam 12:30. Karena saya penumpang yang pertama mendaftar saya mendapat kursi persis di belakang supir. Enaknya jarak kaki menjadi lebih luas dibanding posisi kursi lain. Dan waktu menaruh tas di bagian bagasi, saya bilang “Hati-hati pak ada komputernya”. Si Supir jadi keder, jadi menyaran saya untuk menaruhnya di tempat di bawah kaki saja.

Hmm saya kurang yakin apa jenis mobil yang saya tumpangi itu. Mungkin sejenis L300. Tapi yang pasti memang lebih jelek dari mobil yang saya lihat juga menyusuri jalan tol dari travel yang sama. Wah sial deh saya. Dan, saya suka mabok darat jika mobilnya bergoncang keras, atau bau solar/minyak tanah, dan jika terlalu mendadak berubah jalur alias ngebut ugal-ugalan. Lengkap deh penderitaan saya, karena ternyata mobil yang saya tumpangi begitu. Ada 4 orang lain yang menggunakan travel ini, dan salah satu ibu sering berteriak, “Astagfirullah…. pak hati-hati…”. Saya yakin sih di Pak supir tidak dengar, tapi secara psikologis saya pikir lebih baik saya tidak ikut memperingatkan. Karena saya pikir pak supir itu akan lebih marah dan lebih ugal-ugalan jika diperingati. Itu sifat manusia…. offence. Jadi sepanjang perjalanan saya usahakan tidur atau memejamkan mata, sambil pegangan terus. Hmmm tidak ada sabuk pengaman sih di bagian penumpang. Kalau di Jepang, ini sudah melanggar aturan lalu lintas. Karena sekarang semua penumpang, bahkan penumpang taxi sekalipun harus mengenakan sabuk pengaman. Sambil meram begitu, saya teringat Bu Enny, dan ingin tahu juga bagaimana ibu apakah tidak pernah mengalami seperti saya ini…. mabok darat.

Mobil berhenti di tengah perjalanan, di semacam parking area untuk mengisi solar, dan istirahat serta memberikan kesempatan untuk yang mau ke WC. Saya tidak tahu apa namanya, karena tidak tercantum di mana-mana. Saya pikir perjalanan sudah dekat, ternyata masih jauh. Akhirnya jam 3 lebih saya sampai di BTC (Bandung Trade Center). Lebih dari perkiraan waktu perjalanan yang 2 -2,5 jam. Tapi untunglah, saya masih utuh, belum pecah terburai hihihi.

Tidak ada orang yang tahu detil rencana saya ke Bandung hari ini. Hanya orang yang membaca tulisan saya di dinding FB Pak Oemar Bakri saja, yang mengetahui bahwa saya memang pernah menanyakan pada beliau apa bisa bertemu sekitar tanggal 19/20. Pak Oemar bahkan sempat menanyakan detil rencana saya apa saja, karena beliau sibuk harus menemani professor. Jam 11 pagi, dapat sms,”Imelda posisi di mana?”. “hehehe, masih di Jakarta pak, mungkin paling cepat baru jam 3 siang sampai”. Saya memang tidak mempunyai rencana yang tersusun rapih untuk perjalanan ini, karena memang saya mau “tanpa rencana”… unplanned. Saya capek dengan membuat rencana seperti orang Jepang. Toh hari ini saya mau “memanjakan diri saya sendiri”.

Mungkin orang Indonesia berpikiran aneh untuk seorang wanita bepergian sendiri, menginap sendiri tanpa tujuan, dan rencananya tidak diketahui siapapun. Memang saya tahu itu berbahaya, tapi khusus satu hari itu saja, saya ingin tidak ada seorang pun yang mengatur hidup saya, tidak juga saya. Nah loh!(Saya yakin sih Tuhan akan melindungi saya selama perjalanan)

Jadi begitu saya tiba di BTC, saya ngiderin dalamnya BTC. Pikir saya kalau ada Starbuck, saya mau ngopi dulu. Ya ilah, BTC itu seperti ITC Permata Hijau aja kecilnya, dan yang pasti tempat nyaman yang ada hanyalah Kentucky Fried Chicken dan “JK apa sih tuh lupa”, gerai toko kue dengan lambang berwarna pink. Jadi sesudah saya ke WC, saya masuk Kentucky meskipun tidak lapar. Saya pernah dengar mas trainer bilang, Colonel Yakiniku enak. Jadi saya coba pesan itu, dan membeli ayam goreng+kentang untuk persiapan makan malam atau nyemil jika lapar di hotel (saya tidak yakin berani ke restoran hotel sendirian, paling-paling room service). So, bagaimana saranya si Colonel Yakiniku itu? Ngga dua kali deh…aneh rasanya! (sorry ya mas trainer)

Lima menit selesai (suatu kebiasaan yang tidak pantas ditiru! tapi saya –sebagai orang Jepang– memang biasa makannya cepat apalagi kalau sendiri). Saya ngederin lagi tuh toko-toko, dan sama sekali tidak tertarik untuk membeli apa-apa. Tapi teringat, kalau bisa beli minuman karena pasti di mini bar hotel lebih mahal. Sesudah membeli minuman, saya tanya pada seorang “entah-polisi-entah-tentara” yang menjaga di daerah situ, “Pak, tempat nyari taxi di mana?”

Dia langsung mengatakan arahnya tapi dia bilang, taxi yang ada itu tidak ber-argo. Jadi kalau mau pake argo, harus telepon. Karena Bandung sudah dikotak-kotakkan daerah penguasaan taxinya. Dan di BTC itu dikuasai taxi yang dari AU. Nah loh, bagaimana saya bisa menawar ongkos taxi, kalau saya tidak tahu “harga pasar” nya. Tadinya sempat mau saya tanyakan ke DM, tapi berarti dia akan tahu saya datang ke Bandung dan menginap di hotel itu kan?. Waktu saya tanyakan pada si tentara itu dari situ ke hotel yang saya tuju berapa, dia juga tidak tahu. “Palei? wah ngga tahu bu!”.

Ya sudah terpaksa saya harus menawar sendiri. Saya pergi ke tempat antrian taxi, dan langsung tanya,

“Ke Valley berapa?”
“Oh …palei…palei… bisa bu.”
“Iya berapa?”
“60 ribu aja”
“Mahal banget?”
“Kan di atas bu… naik”
“Iya di Dago atas, tapi kan ngga jauh-jauh banget” lalu temennya bilang, eh si ibu ini tahu loh
” ya sudah 30 ribu ya? (saya ikutin taktiknya mama, menawar setengah harga…keder juga sih tadinya hihihi)
“Ngga bisa bu…” (Ahh kasian bapak-bapak ini, sudahlah yang pas saja supaya tidak ada kembalian juga)
“Ya sudah 50”

So, meluncurlah taxi yang bentuknya sudah tidak jelas lagi ke arah hotel yang saya tuju. Dalam hati pikir, yaah ke hotel bagus naik taxi bobrok hihihi. Tapiiiiiiii , ternyata hotel itu memang jauh naik berkelok-kelok ke atas bukit. JAUH deh pokoknya. Saya sampai pikir 50 ribu tuh memadai ngga ya? Jadi kasian saya.

Ya, saya menginap di “The Valley”. Sebuah hotel di atas bukit, yang menawarkan panorama indah kota Bandung terutama di malam hari. Dan yang mengetahui saya menginap di Bandung dan di hotel ini, dan Aston keesokan harinya hanyalah dik WITA. Dia bekerja di travel biro indo.com, bagian copywriter. Temannya Alma, yang mau mendengarkan “cerewet”nya saya memilih-milih hotel. Awalnya saya memilih hotel lain, sudah konfirm, baru saya tahu dari pembicaraan dengan teman SMP, Shinta Ambarsari, bahwa ada restoran enak dan bagus namanya the Valley. Dan waktu saya cari di internet, loh kok, ada hotelnya juga. Hmmm kalau tidak mahal-mahal banget ingin juga menginap di sana. Jadi deh, saya ubah ke The Valley ini.


Taxi memasuki sebuah bangunan apik yang merupakan lobby dan Cafe. Saya langsung dipersilakan duduk untuk mengurus check in. Karena pakai voucher hotel, jadi gampang saja prosesnya (untung aku tidak lupa membawa KTP indonesia). Dibantu oleh bell boynya, melewati beragam tangga, akhirnya saya sampai di kamar 301, yang terletak beberepa level di bawah lobbynya. Ternyata kama-kamar memang dibangun berdasarkan kontur lereng, sehingga menyebabkan lobby letaknya di atas kamar-kamar. Begitu kamar dibuka, saya mendapati interior yang manis dari kayu hitam. Hmmm lumayan. Dan begitu bell boynya pergi, saya langsung mengambil foto. Kebiasaan saya, segala macam memang difoto. Kalau bisa setiap sudut, dari WC nya sampai pernik-pernik kecil yang unik.. Sayangnya di hotel itu, tidak banyak pernak-perniknya, sehingga saya tidak begitu banyak memotret.

Memang begitu saya membuka pintu ke arah balkon, menjumpai pemandangan seluruh kota Bandung. Sayangnya, saya juga hars melihat pembangunan sebuah apartement mewah di sisi kiri, dikejauhan yang sedang di kerjakan. Hmmm, katanya daerah ini adalah resapan air untuk Bandung. Kok dibangun hotel, villas, dan apartemen menjulang seperti itu. Ah, aku tidak mengerti lah, yang aku tahu, aku mau enjoy stay saya di the Valley.


So, saya melewatkan satu malam di the Valley sendirian, hanya ditemani TV, yang sengaja saya nyalakan supaya tidak “lonely”, sambil leyeh-leyeh dan membaca buku. Oh ya, satu yang saya kecewa dengan hotel The Valley ini, yaitu … tidak adanya WiFi/sambungan internet dalam kamar. Jadi kalau saya mau memakai internet, saya harus “mendaki” tebing lagi, ke Lobby atau Cafe sebelah lobby. Duh, malas juga kan…. Jadi malamnya sekitar jam 7 malam saya pergi ke Cafe yang sepi pengunjung, dan melihat emails, dan blog saya selama kurang lebih 1 jam saja. Malas juga berada sendirian di Cafe, meskipun saya memang bisa menikmati pemandangan malam hari. Dan di luar banyak mobil dan orang-orang berdatangan untuk makan di Bistro Valley, yang terletak di sebelah Cafe ini. Nah, di Bistro dengan dek teras inilah yang memang menjadi “primadona” hotel ini. Sayangnya, saya tidak mempunyai keberanian (no nyali deh) untuk makan sendirian di Bistro, dengan kemungkinan “digoda” orang (huh merasa kecakepan aja sih kamu mel…hihihi).

Jadi saya kembali ke kamar, dan menghabiskan malam “panjang” di sana, sambil mengunyah ayam kentucky. Aku menikmati sekali my healing-getaway, tanpa tangisan Kai, meskipun merasa kangen dikeloni (eh salah…. mengeloni) Riku dan Kai. Oh ya dua lagi yang merupakan kekurangan hotel ini, yaitu…percakapan dan suara TV dari kamar sebelah terdengar jelas! (untung tidak terdengar ah-uh-ah-uh yang menggoda iman hihihi), serta, setiap saya mengganti posisi tidur, tempat tidur mengeluarkan suara yang lumayan keras. Awalnya saya sempat kaget sendiri sih… masak saya sedemikian berat sehingga setiap bergoyang dikit, tempat tidurnya bunyi? ternyata emang salah si tempat tidur deh yang suka bunyi-bunyi hahaha.

Hari ke 3 di jakarta

18 Feb

wah kok jadinya aku bikin serial seperti Lala ya, the Jakarta Stories hehehe. Gpp deh sekedar untuk mencatat juga aku ngapain aja selama di liburan (Buat laporan ke Tokyo juga gitchu hihihi). Atau kali-kali ada yang mau ngundang saya gitu.

Tgl 17 Feb, aku tidak kemana-mana. Berkutat depan komputer terus, cari info, nulis posting dsb dsb, sampai matanya pedes deh. But jam 6 lewat Wita janji akan datang ke rumah untuk antar tiket so aku siap-siap mandi jam 5. Jadi kopdar dengan Wita deh….

Aku seharian juga chat dan sms pentolan teman-teman di SMP untuk membicarakan reunian SMP yang mau diadakan tanggal 27 nanti. Selalu kalau aku pulang, baru tergerak untuk ngumpul. Pikir-pikir iya juga sih kalau ngga ada event khusus, ngapain juga ngumpul ya? (so aku ini event khususnya??? ngga juga deh, cuman emang aku aja yang ngga ada kerjaan hihihi).

Pak RT nya Wawam dan Bu Monika, trus yang pusat informasi clubbing Intan. Yang selalu membingungkan emang mencari tempat yang enak, ambiencenya, makanannya, dan tidak berada di daerah macet, karena hari jumat malam. Pak Wawam usul Barcode Kemang, Monika sih apa  aja katanya  (Monika juga masih ada bayi sih jadi jarang jjl), nah giliran aku tanyain Intan, ternyata Intan yang tukang jalan aja belum pernah ke Barcode. Dia usul Cafe Amor di Dharmawangsa Square atau Juststeak di Barito, atau FX. Masalahnya aku belum pernah ke FX jadi buta bener-bener. Dan kalau mau mikir macet, parkir dsb emang enakkan Juststeak atau Cafe Amor ini. Hmm Kalau juststeak bisa kira-kira deh tempatnya , tapi si Amor ini gimana. So, aku pikir mumpung Wita datang, aku seret aja dia untuk temenin aku (maksa judulnya).

So begitu Wita datang, tanpa ba bi bu, takut ketahuan Kai dan dia nangis, jadi langsung keluar rumah deh.. Berhubung wita naik motor dan saya tidak bisa mbonceng (karena takut) jadi kita naik taxi ke Dharmawangsa Square. Biasanya sih kalau ke sini, aku pasti ke Gelato, tapi karena hari ini membawa misi untuk ke Amor ya langsung deh ke lantai 4.

Tempatnya sih bagus, dan waktu kita masuk ke situ sepi…. Yang ada dua cewek sedang belajar dansa tango. Wah bisa dansa juga di sini? Anyway, aku tanya sama pelayannya bagaimana kalau mau bikin kumpul-kumpul untuk 20 orang. Ada beberapa tempat duduk sofa yang comfortable dan diberitahu juga ada terrace seat di lantai atasnya. Dan untuk ke lantai atas ini kita harus naik tangga di luar. Ternyata lantai atas juga luas, tapiiiiiiii tidak ber- AC. hmmm sebetulnya enak sih, tapi Jakarta tanpa AC keknya males deh. Ya akhirnya aku putuskan pake tempat di bawah aja, di tempat sofa yang agak luas, sehingga nanti bisa di setting untuk 20-an orang. (Eh ada wine cellarnya juga loh….)

Tapi aku sih bilang, karena belum tahu berapa orang yang datang, nanti aku telpon utk reserve. Nah, sekarang giliran survey makannya. Hmmm pilihan makanannya sih banyak, then aku tanya specialtynya di situ apa. Jawabnya, Sup Buntut Goreng. Yaaah jauh-jauh ke Cafe, masak sup buntut goreng sih. Tapi daripada yang masakan erop nanggung, jadi aku pesan itu aja. Wita pesan spaghetti. Begitu dihidangkan, hmmm aku kok kurang sreg ya? Apa standarnya aku ketinggian? Masak buntut gorengnya dibumbui dengan bawang bombay dan paprika dan pake semacam demi glace sauce? Ini mah judulnya mustinya nasi buntut goreng + sup hahaha…. Aku ngelirik spaghettinya juga kayaknya ngga lezat-lezat banget (Wita kamu makannya lambat sih hahaha…terpaksa ditelen ya?)

Cerita punya cerita, begitu makanan abis, kita langsung cabut deh. Sebelum pulang, mampir WC dulu dong. Nah, di sini ada masalah lagi. Masak keran wastafelnya ngga ada! Gimana mau cuci tangan dong? Wahhhh sudah deh, terpaksa musti dicoret dari list. Begitu keluar aku tanya sama pelayannya, “WC nya mana sih pak?”. Diantar memang di tempat yang kita masuki tadi. Trus saya bilang, “Kok wastafelnya ngga ada airnya?”…. Eeeh ternyata sodara-sodara, pemutar keran memang tidak ada, tapi kalau mau mengeluarkan air dari selang yang ada itu musti injak semacam bola di lantai. Halah! Saya bilang sama si bapak, “Ya tulis dong pak, kalau ngga tau bahwa ada bola di lantaii gini, kan ngga bisa cuci tangan?” Maunya nyentrik kali ya? Tapi sama sekali inconvinience.

Kami pulang ke rumah dan mendapatkan Kai nangis teriak-teriak. Kasian dia ngga bisa tidur tanpa mamanya… Terpaksa deh Wita pulang cepet-cepet dan aku masuk ke kamar liat Kai. Dan Kai begitu liat mamanya langsung DIAM. Huh manja ! Tapi sebetulnya dia memang belum ngantuk rupanya dan masih mau main, sehingga minta diajak keluar. huhuhuhu…..

Jadi apakah aku akan reserve Cafe Amor? menurut Monika kalau makanannya ngga enak ngapain mel…. iya juga sih. Terpaksa deh hari ini survey tempat lagi. Barcode deh! Semoga hari ini ada orang yang bisa aku culik untuk nemenin ke Barcode hihihi.

Ngumpul yuuuk!!!

17 Feb

Kopdar di Jakarta, bersama JeungLala dan EM

Hari Senin tanggal 23 Februari 2009

Pukul    : 11:00- 15:00 (code: Pagi)

Tempat :  OMAH SENDOK

Taman Empu Sendok No. 45
Jakarta Selatan
DKI Jakarta – Indonesia
PH 1: (021) 521-4531
pencapaian :

Dari arah SCBD keluar Senopati, masuk ke jalur kiri, ada jalan taman Empu Sendok, masuk kekiri

Buat yang ngga bisa gabung untuk makan siang, silakan gabung ke KARAOKE bersama.

Pukul :15:00 – 17:00 (code : Sore)

Tempat Inul Vizta Melawai

Tapi untuk yang baru bisa datang setelah jam Kantor, silakan hubungi saya, dan saya akan beritahu tempat ngumpul setelah karaoke. Kemungkinan besar Pisa Cafe, jalan Mahakam. (Code : Malam)

Pendaftaran di : emi_myst@yahoo.com ditunggu ya (sampai sabtu 21 February)

Peserta yang sudah mendaftar:

  1. Jeunglala (pagi-sore-malam)
  2. Imelda (pagi-sore-malam)
  3. Yessy (pagi-sore)
  4. Rhainy (pagi-sore)
  5. Puak (pagi-sore)
  6. Ria (Pagi-Sore)
  7. Indahjuli (pagi -Sore)
  8. Indie (Pagi -Sore)
  9. Bu Enny (Pagi-sore)
  10. poppy (Pagi- Sore)
  1. julehajones +teman (sore-malam)
  2. mangkumlod (malam)
  3. Yoga (sore – malam)
  4. Mas Nug (malam)
  5. Japs (Malam)
  1. DV + Melati (rohnya aja katanya –sepanjang hari)

Kemajuan teknologi

11 Feb

Saya tertawa getir waktu menerima sebuah email dari milis, yang berjudul “Too much depending on technologies”. Saya pikir akan menemukan foto tentang orang yang tidur di depan atau di atas komputer, well, semacam itu lah. Tapi tersentak juga dengan kenyataan ini.

Tentu saja tidak bisa kita berikan sedekah kepada pengemis dengan memakai kartu kredit. Tapi kita masih bisa memberikan tip atas suatu service dengan memakai credit card. Agak kaget juga waktu tahun 2002 saya ke Jerman, dan waktu membayar mobil sewaan berikut supir waktu pulang, tertera di kertas gesekan itu Jumlah harga yang harus saya bayar dan di bagian bawahnya ada tulisan  TIP + ………… (isi sendiri mau kasih berapa) lalu tinggal menambahkan jumlahnya. Wah bagus juga cara ini jadi tidak perlu cari uang kecil lagi untuk memberikan tip. Saya tidak tahu apa di negara lain ada cara seperti ini.

Dua hari yang lalu dalam berita di TV, saya menonton tentang sebuah pabrik kertas asli Jepang yang hampir bangkrut. Kertas jepang ini biasanya dipakai untuk pembuatan kertas saham. Omzetnya besar sekali… dulu. Tapi semenjak saham tidak memakai kertas lagi, tapi dengan saham elektroniksaja, maka pabrik pembuatan kertas itu terhenti. Dan mengancam PHK bagi karyawan-karyawannya. Pfffff … dengan alasan environment juga bisa (tentunya) menimbulkan masalah kehilangan pekerjaan. Meskipun akhirnya pabrik itu bisa pulih sedikit dengan menawarkan pemerintah daerah dalam pembuatan “gift card” bantuan pemda kepada warganya dalam usaha pemulihan ekonomi.

Masalah-masalah yang timbul akibat e-commerce ini pasti masih akan bertambah. Seperti yang saya tulis di posting yang mengundang komentar “Pak Pos itu bagaimana kerjanya ya menghadapi jaman IT begini”. e-mails, e-banks, e-goverment, e-learning, e-books…. semua e-e-e-… perubahan ini pasti mengundang permasalahan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Dan menjadi PR bagi para innovator.

weks sudah jam segini, saya harus mencetak e-ticket saya, dan mengirim e-mails kepada bapak saya untuk memberitahukan itienary pesawat saya. Kemudian membeli SD card melalui e-shopping, dan mencetak foto-foto dari digital camera saya tanpa harus ke DPE. Dan menyetel alarm untuk online check in….*************

Sabtu yang ajaib

10 Feb

Kalau mau dibilang kebetulan, ya memang kebetulan. Tapi oleh beberapa teman blogger selalu dikatakan bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini. Ya terpaksa saya mengakuinya. Tapi kalau saya bilang ajaib boleh dong ya?

Pernah tidak di antara teman-teman yang bertemu seseorang di suatu tempat lalu orang itu berkata: Ohh Mbak/Mas  XxXx yang punya blog YyYy ya? Saya selalu baca blog kamu loh. Dan waktu dia mengatakan namanya, memang kamu ingat dia pernah menuliskan komentar di blog kamu.

Well, saya pernah dan sudah 3 kali. Dua kali terjadi pada kesempatan yang sama, yaitu dalam acara kebaktian KMKI di Tachikawa. Ada dua gadis dalam kesempatan berbeda (dan tidak saling mengenal) mendatangi saya, dan mengatakan “Saya pernah baca blog Ibu!”. Nah loh.

Dan hari Sabtu kemarin, waktu saya menunggu waktu untuk makan malam bersama mahasiswa Univ Senshu dan Ibu Sasaki di lobby Sekolah RI Tokyo, tiba-tiba masuk serombongan mahasiswa. Lalu seorang mahasiswi, melihat saya dan mengatakan, “Ibu Imelda? Saya selalu membaca blog Ibu”. Wahhhh. Dan waktu saya menanyakan namanya, dia menyebut Wheni. Saya ingat memang Wheni pernah satu kali menulis tentang Jogja (di posting Aku ingin pergi jauuuhhh), begini:

“salam kenal..saya suka baca blognya ibu heheh…kebetulan saya dr jogja jdi mo ngucapin selamat nikmatin jogja..jangan lupa gudegnya dicoba ya bu..”

Kok bisa ketemu di Sekolah Indonesia di Meguro? Saya yang tidak setiap bulan ke sana, dan Wheni juga waktu itu datang pertama kali untuk latihan angklung ke situ. Kok bisa waktunya pas ya? Wheni mengenali saya terutama karena melihat KAI. Dia tanya itu Kai atau Riku? (jadi yang celeb itu Kai dan Riku bukan Mamanya hihihi… yah kecipratan dikiiiit deh). Memang seperti ada yang mengatur…. dan ini kejadian yang ke tiga kalinya saya bertemu pembaca blog saya di Tokyo.

Dan ajaibnya hari Sabtu itu bertambah karena saya juga bertemu dengan seorang Jepang yang sudah 5 tahun tidak bertemu, dan berada dalam rombongan Wheni itu. Dia adalah aranger musik bernama Yoichi, yang membantu Katon dalam pembuatan CD Loveholic. Terakhir kami bertemu di Jakarta, di rumah makan Penang Bistro.

Saya harus melewatkan waktu 2,5 jam sebelum acara berikutnya di Restoran cabe setelah meeting KMKI. Pertamanya saya pikir pasti bete menghabiskan waktu selama itu. Eeee tahu-tahunya bertemu dua orang yang tidak disangka, sehingga kami bisa bercakap-cakap, dan waktu 2,5 jam berlalu begitu saja.

Pukul 5 saya berjalan ke arah restoran bersama Kai untuk memenuhi janji makan malam pukul 5:30. Acara kali ini adalah untuk selamatan kelulusan mahasiswa yang pernah mengambil mata kuliah bahasa Indonesia 3-4 tahun yang lalu. Bulan Maret ini mereka lulus dan wisuda. Ada yang melanjutkan belajar, ada yang bekerja, seperti Ayu-san yang diterima bekerja di ANA (Baca Perbedaan Usia). Dan Tozu Arisa san, mahasiswa penyandang cacat tubuh yang giat mengumpulkan kursi roda bekas untuk dikirim ke Jogjakarta, seperti sudah pernah saya posting di “Kursi Roda dari Jepang“.

http://i15.photobucket.com/albums/a371/emi_myst/blog4/IMG_6197.jpg

(kiri : Ayu san- Kai-Saya-Takeda san – Sasaki Sensei) (kanan: Tozu san -Sasaki sensei-Kai-saya)

Kelompok ini boleh dibilang aneh, karena terdiri dari bermacam jurusan yang berbeda, dan hanya bertemu 2 kali seminggu dalam pelajaran bahasa Indonesia (waktu itu dipegang Ibu Sasaki berdua dengan saya). Dan kelompok ini juga pernah mengadakan gashuku (seminar di luar kota), kami bersama-sama pergi ke hot spring di Hakone. Di situ Riku pertama kali  masuk hot spring (usia 2 tahun)

(kiri : Arbi sensei (kebetulan juga bertemu di restoran ini)-Saya dan Kai- Sasaki sensei)

Tidak tahu kapan lagi bisa bertemu bersama-sama, karena pasti mereka sibuk sebagai pegawai baru. Tapi saya yakin mereka suatu waktu akan mengadakan reuni kembali. Semoga saja.

Sabtu ini memang ajaib…..

Salah Kaprah yang FATAL

7 Feb

Saya mau share sebuah postingan dari Multiply, yang saya rasa PENTING SEKALI untuk diketahui….

******************************************

Seorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal.

Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya menggunakan satuan pound dan ounce. Kesalahan fatal muncul karena yang bersangkutan mengartikan 1 pound = 0,5 kg. dan 1 ounce (ons) = 100 gram, sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah. Sebelum PHK dijatuhkan, teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dgn. cara menunjukkan acuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce(ons) = 100 gram.

Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia
yang mengartikan ons (bukan ditulis ounce) adalah satuan berat senilai 1/10 kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang berlaku sah atau dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan.

SALAH KAPRAH YANG TURUN-TEMURUN.

Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal ini kepada lembaga yang paling berwenang atas sistem takar-timbang dan ukur di Indonesia, yaitu Direktorat Metrologi . Ternyata, pihak Direktorat Metrologi-pun telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen 100 gram.

Mereka justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia. Untuk ukuran berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan Ons bukanlah bagian dari sistem metrik ini dan untuk menghilangkan kebiasaan memakai satuan ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan semua anak timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan “ons” dan “pound”.

Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, ternyata tidak pernah ada acuan sistem takar-timbang legal atau pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya setara dengan 100 gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia internasional, tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus Indonesia.Jadi, hal ini adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun.
Sampai kapan mau dipertahankan ?

BAGAIMANA KESALAHAN DIAJARKAN SECARA RESMI ?

Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di bangku sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata, kebiasaan salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh karena akan menyesatkan.

Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah dikemas dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid (anak-anak kita) menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh memprihatinkan. Semua sekolah mengajarkan bahwa 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, dan anak-anak kita pun menggunakannya dalam kegiatan
sehari-hari. “Racun” ini sudah tertanam didalam otak anak kita sejak usia dini.

Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan yang diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia mengajarkan seperti itu. Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru untuk melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau memberikan petunjuk resmi.

TANGGUNG JAWAB SIAPA ?

Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan Nasional kita jangan lepas tangan. Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama kepada para guru yang mengajarkan kesalahan ini, salah satu alasannya agar tidak menjadi beban psikologis bagi mereka ;

“Acuan sistem timbang legal yang mana yang pernah diakui / diberlakukan
secara internasional , yang menyatakan bahwa : 1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram.”?

Kalau Dep. Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang ?

Pernahkan Dep. Pendidikan menelusuri, dinegara mana saja selain Indonesia berlaku konversi 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram ?

Patut dipertanyakan pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku pegangan sekolah yang melestarikan kesalahan ini ?

Kalau Departemen  Pendidikan Nasional mau mempertahankan satuan ons yang keliru ini, sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang pemakaian satuan “ons” dalam transaksi legal, maka konsekwensinya ialah harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas).. Sistem baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum diajarkan kepada anak-anak. Perlukah adanya sistem timbangan Indonesia yang konversinya adalah 1 ons (Depdiknas) = 100 gram dan 1 pound (Depdiknas) = 500 gram. ? Bagaimana “Ons dan Pound (Depdiknas)” ini dimasukkan dalam sistem metrik yang sudah baku diseluruh dunia ? Siapa yang mau pakai ?.

HENTIKAN SEGERA KESALAHAN INI.

Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih banyak kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar. Salah satu contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan resep kue dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana kesalahannya.

Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya merupakan masalah nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus segera dihentikan.

Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi diplomatis mengenai hal ini. Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan anak-anak Indonesia. Berikan teladan kepada bangsa ini untuk tidak malu memperbaiki kesalahan.

Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal Takar-Timbang- Ukur, Dep. Pendidikan tidak memiliki supremasi sedikitpun terhadap Direktorat Metrologi sebagai lembaga yang paling berwenang di Indonesia. Mari kita ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat Meteorologi.dan Geofisika.

Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu anak-anak kita harus dipersiapkan dengan benar. Benar dalam arti landasannya, prosesnya, materinya maupun arah pendidikannya. Mengejar ketertinggalan dalam hal kualitas SDM negara tetangga saja sudah merupakan upaya yang sangat berat.

Janganlah malah diperberat dengan pelajaran sampah yang justru bakal menyesatkan. Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti aturan dan standar yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional, bukan hanya yang rekayasa lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat pendidikan yang salah. Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar negeri yang berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.

Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan penuh dengan tantangan berat.

ACUAN MANA YANG BENAR ?

Banyak sekali literatur, khususnya yang dipakai dalam dunia tehnik, dan juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford, dll. (maaf, ini bukan promosi) menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak perlu diragukan lagi.

Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi semacam itu dapat dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian / diary/agenda yang biasanya diberikan oleh toko atau produsen suatu produk sebagai sarana promosi.

Salah satu konversi untuk satuan berat yang umum dipakai SAH secara
internasional adalah sistem avoirdupois / avdp. (baca : averdupoiz).

1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)

1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)

1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)

Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker meracik resep obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram. Apakah kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai malapraktek ? Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum !!!
Jadi, kalau malapraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang mengajarkan.
(ini hanya gambaran / ilustrasi salah satu akibat yang bisa ditimbulkan,
bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali terjadi)

KALAU BUKAN KITA YANG MENYELAMATKAN – LALU SIAPA ?.

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua kalangan, baik kalangan pemerintah, akademis, profesi, bisnis / pedagang, sekolah dan orang tua dan juga yang lainnya untuk ikut serta mendukung penghapusan satuan “ons” dan pound yang keliru” dari kegiatan kita sehari-hari. Pengajaran sistem timbang dgn. satuan Ounce dan Pound seharusnya diberikan sebagai pengetahuan disertai kejelasan asal-usul serta rumus konversi yang
benar. Hal ini untuk membuang kebiasaan salah yang telah melekat dalam kebiasaan kita, yang bisa mencelakakan / menyesatkan anak-anak kita, generasi penerus bangsa ini.

# # # # #

Tulisan ini akan dikirimkan kepada media masa, baik cetak maupun elektronik yang mau menyiarkannya demi kepentingan bangsa. Dipersilahkan mengubah formatnya sesuai dengan ketentuan penyiaran masing-masing.

Juga kepada sekolah-sekolah, pabrik-pabrik serta LSM dan masyarakat
umum, untuk diketahui secara luas.

Bila anda merasa sependapat dengan saya, setuju untuk menghentikan kesalahan ini demi masa depan anak bangsa Indonesia, silahkan diperbanyak/ difoto copy dan disebar-luaskan sendiri.

Bila anda ragu-ragu terhadap kebenaran tulisan ini, silahkan menanyakannya langsung kepada Direktorat Metrologi atau Balai Metrologi setempat dikota anda berada.

Terima kasih saya ucapkan kepada anda yang peduli dan mau berpar-tisipasi menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia. Semoga Tuhan memberkati upaya ini, yang kita lakukan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih sedikitpun.

Yoppy Martha Aditya

PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk


ounce tidak sama dengan ons

Harap diketahui,
Ounce itu TIDAK SAMA DENGAN Ons.

Satuan Ons yang selama ini kita ketahui dipakai di Indonesia memang betul sama dengan 100 Gram. Ons ini diambil dari Belanda.

Selengkapnya baca di
http://en.wikipedia .org/wiki/ Ounce
“The Dutch have redefined their ounce (in Dutch, ons) as 100 grams[3] [4]. The Dutch’s metric values, such as 1 ons = 100 grams, is inherited, adopted and taught in Indonesia
since elementary school. It is also formally written in Indonesian National Dictionary (Kamus Besar Bahasa Indonesia) and elementary school’s formal manual book.

Jadi memang beda sekali antara Ounce dengan Ons. Ounce itu singkatannya Oz. Kalau Ons, ya Ons. Tapi memang kesalahan pemerintah Indonesia (Depdiknas) membiarkan kesalahkaprahan ini, sekaligus kewajiban untuk membetulkannya. Karena saya sendiripun baru tahu belum lama.

-tina-

Dalam Kelembutan Pagi

1 Feb

Dalam kelembutan pagi
Buana berseri
Dibuai bayu dini hari
sejuk dihati

Kusambut pagi sendiri
Tanpa kau melati
Namun tak kulupakan dikau
satu denganku

Padamu angin kubertanya
Mungkinkah abadi
Bahagiaku kini
Kupasrah Illahi

(lirik oleh Baskoro – sebuah nama jawa yang saya suka tapi ada yang bilang Jockie Suprayogi… tidak tahu mana yang benar)

Pagi ini memang tidak bisa dibilang lembut. Karena sebetulnya amat sangat berangin…. dan dingin. Jam 6:30 aku keluar rumah dan berjalan dengan tergesa-gesa. Dan waktu aku lewat toko kelontong “Murata” tetangga rumahku, kulihat jam sudah menunjukkan 6:35. Tapi untung ketika tiba di halte bus, tertunjuk display digital bahwa bus akan sampai dalam 4 menit. Syukurlah aku tidak harus menunggu lama dalam dingin. Bahkan masih sempat memotret langit pakai kamera ponsel.

Sampai di Stasiun Kichijoji jam 6:59 … wah pasti terlambat untuk misa jam 7 pagi. Tapi biarlah, yang penting niat kan?  Aku berjalan ke arah gereja. Masih pagi, belum ada toko yang buka. Tapi di beberapa toko yang akan buka jam 9 pagi, sudah terlihat pegawainya membersihkan dan menyiapkan etalase tokonya. Saya belum pernah bekerja di toko, tapi saya tahu kerja seperti itu juga berat. Pernah coba membawa nampan penuh berisi piring-piring? Itu memang membutuhkan ketrampilan sendiri. Yang saya pernah hanya mencuci piring untuk 400 orang…. dan itu memang menyakitkan tangan dan punggung (saya memang selalu bermasalah dengan punggung). Tapi kalau membayangkan arbaito mencuci piring, seperti yang saya dengar dari mahasiswa di Amerika? Uhhh betapa menyiksanya pekerjaan itu. Apalagi di musim dingin begini, tangan kering dan jika mencuci dengan air hangat, bisa menjadi luka-luka. Perih setiap terkena sabun. Saya selalu ngeri dan kasihan setiap melihat ibu temannya Riku. Seorang ibu rumah tangga yang anaknya 3 atau 4 deh. Tangannya hancur! Entah mungkin dia juga atopi, penyakit baru di Jepang semacam alergi kulit. Saya jadi teringat dulu waktu mahasiswa dan tinggal di keluarga orang Jepang, Nenek yang tinggal bersama selalu mengelus tangan saya dan berkata,”Tangan seorang putri… halus dan lihat kuku kamu masih bulat. Kalau bekerja keras, tangan tidak sehalus ini dan kuku pasti menjadi pipih.” Padahal tangan teman saya Ratih yang mungil itu masih jauuuh lebih bagus dan halus dari saya (Tangan gue gede bo!). Setelah menikah memang terjadi apa kata Nenek itu. Tangan menjadi kasar dan kuku tidak bulat lagi. Resiko menjadi seorang istri, ibu dan pembantu mungkin yah hehhehe. So teman-teman para suami, coba nanti dirasakan dan diperhatikan tangan istri-istrinya ya hehehe (tapi di Indonesia ada pembantu asisten sih yang kerja kan pembantu asisten… DAN JANGAN MEMBELAI TANGAN PEMBANTU ASISTEN UNTUK MENGETAHUI ITU YA… PLEASE hihihi)

Ternyata misa tidak diadakan di gereja, tapi di kapel kecil di sebelah altar. Agak ragu saya masuk, karena terlambat 8 menit. Tapi biarlah, toh belum sampai bacaan pertama. Jadi saya masuk dan duduk di sudut kapel. Umat semua setengah baya dan tidak sampai 20 orang. Pastor John, yang orang Indonesia berkotbah dengan bahasa Jepang yang fasih. Hebat! Saya sengaja tidak mau memperlihatkan muka saya sebelum kotbah, takut pastor grogi (Pastor grogi ngga ya? hehehe). Sayang saya lupa menanyakan pada pastor tentang hal ini. Padahal sesudah misa, kami sempat bercakap-cakap ngalor-ngidul mengenai politik segala. Saya diberitahu bahwa kemarin gereja komunitas Indonesia di Meguro kaya pastor, karena pastor yang datang sampai 3 orang hahahaha. Rupanya terjadi miskomunikasi. Tapi sedih juga mengetahui bahwa Pastor John akan dipindahkan ke Nagasaki akhir bulan Maret nanti.

Karena hari masih pagi, toko-toko belum buka, jadi saya langsung pulang ke rumah naik bus. Sampai di rumah teng jam 8:59. Membuka pintu dan melihat my three boys sudah bangun. The Big One lagi jemur pakaian… Wow thank you! Dan Riku tidak mau ketinggalan membuatkan toast untuk kita sarapan pagi. Well, hari cerah meskipun berangin, dan membuat orang ingin pergi ke luar, meskipun tidak cocok untuk berpiknik. Waktu saya selesai menuliskan posting ini, Riku, Kai dan papanya sedang pergi jalan-jalan. Riku naik sepeda, dan kai naik baby car. Itu anak juga senang sekali kalau tahu mau pergi keluar. Dia persiapkan sendiri sepatu dan tasnya!

Well, Have a nice SUN-DAY !!


Beautiful Sunday by Daniel Boone

Kurang apa lagi?

31 Jan

Tadi malam tidak seperti biasanya, Kai tidur duluan. Dan tidak biasanya juga, saya tidak ikut tertidur. Waktu keluar dari kamar, saya lihat  Riku sedang belajar menulis dengan papanya. Berkali-kali dia disuruh latihan tulis hiragana A. Memang hiragana A あdan O お hampir mirip (menurut orang Jepang sih ngga, menurut saya iya hehehe) . Rupanya dia disuruh gurunya untuk menuliskan kesan-kesan bersekolah di TK. Dan sebisa mungkin ditulis sendiri. Jadi papanya kasih latihan khusus. Saya juga sempat kena tegur karena salah urutan menulis hiragana. Karena setiap urutan ada maknanya yang membuat bentuk huruf itu balance. Ada 1-2 kata yang memang saya tahu salah karena urutannya salah. Pikir saya dulu, toh yang penting hasilnya sama! (tapi di Jepang ngga bisa loh punya pandangan seperti ini…. susah ya jadi orang Jepang — makanya gue ngga mau  jadi orang jepang hihihi)

Setelah selesai menulis kesannya, Riku mau menggambar tapi sekali lagi dimarahi papanya. Buang kertas! Memang Riku boros kertas, karena hanya pakai satu sisi saja, dan tidak penuh. Dia tahu di mana saya simpan kertas untuk printer, sehingga dia suka ambil sendiri. Dan biasanya pas saya mau pake nge-print kertasnya sudah habis…. huh memang anak-anak! hehehe.Tapi saya tidak pernah marah soal kertas, kecuali kalau dia serakkan kertas di mana-mana. Saya tidak mau mematikan kreativitas dia menulis/menggambar. Tapi papanya tidak berpikiran seperti saya. Jadi saya beri Riku bekas kertas yang sisi satunya ada hasil cetakan print, supaya dia bisa pakai sisi yang masih kosong.

Tiba-tiba Gen panggil saya, dan bilang…. “LIhat Riku menggambar free-hand… hebat… aku dulu ngga bisa loh.” “Pasti anakku ini nanti masuk teknik” Anakmu? Anakku lah hehhehe. (iya…iya… anak berdua). Tapi Riku memang masih menggambar orang berupa kerangka, belum berbadan, padahal banyak temannya sudah bagus gambarnya. Well aku tidak mau membanding-bandingkan dengan anak lain, biar saja. Saat itu Riku menggambar sebuah bangunan dengan banyak kamar. Ada lift, ada tangga, lalu di setiap kamarnya ada kegiatan. Masing-masing kamar berbeda. Ada yang membeli jus di vending machine. Ada yang sedang melihat pameran lukisan, Ada yang duduk di meja dll. Dia jelaskan semua pada kami berdua.

Atau dia menggambar sebuah rumah sakit berbaling-baling. Katanya supaya jika ada orang yang tidak bisa pergi ke RS, RS nya yang terbang ke orang itu. Gen selalu kagum dengan kemampuan Riku mengingat sesuatu, baik itu film, tempat, perkataan atau peristiwa (Anakku hehhehe). Karena pagi harinya Gen menjelaskan mengenai Flying Doctor, Dokter helicopter yang menjadi topik dalam berita di TV. Jadi Dokter-dokter itu naik helicopter menuju tempat korban/pasien kemudian membawa pasien yang tinggal di tempat terpencil itu dengan helicopter. Penjelasan itu sekarang dia pakai untuk menjelaskan Rumah Sakit Terbang nya  itu.

Kami bertiga mengelilingi meja makan. Melihat Riku yang enjoy menggambar,  lalu sambil bercakap-cakap, sambil menghirup teh panas kemi melewatkan waktu bersama. Sambil menonton TV yang beritanya tentang PHK pabrik NEC yang sekian banyak itu. Lalu mengenai pesumo yang ditangkap karena membawa ganja. Dan dalam kehidupan nyata, saya juga tahu beberapa teman yang sedang berjuang melawan penyakit yang mengancam jiwanya. Atau teman yang kehilangan pekerjaannya…… Sedangkan kami di sini masih bisa mempunyai waktu nyaman ini bersama. Masih bisa makan makanan yang hangat tadi. Masih ada pemanas di dalam rumah yang menghangatkan musim dingin. Masih ada listrik yang menerangi sehingga Riku bisa menggambar, Gen bisa baca buku, dan aku bisa blogging. Kami mempunyai dua anak yang “manis” (kecuali kalau berkelahi dan berantakin rumah hehehe). Dan coba lihat anakku ini:

(Kiri Kai kemarin — Kanan Riku seumuran Kai di jkarta)

Kurang apa lagi coba?

Tuhan kusyukuri nikmat yang Engkau berikan pada keluarga kami.

Praise the Lord.