Akhirnya aku bisa mewujudkan cita-citaku memperlihatkan Taman Nasional Bantimurung kepada Riku, anak sulungku. Meskipun sebetulnya dia sudah pernah ke sini waktu usia 6 bulan :D. Bagaimana mau ingat ya?
Sejak aku tahu bahwa Riku juga menyukai hobi barunya, dan menikmati kupu-kupu di Cihanjuang Bandung, aku ingin sekali membawa Riku ke Bantimurung, yang dikenal di Jepang sebagai “Lembah Kupu-kupu”. Tapi untuk ke sana tentu biayanya tidak sedikit. Karena aku harus menyediakan tiket p.p. Jakarta – Makassar yang harganya sama saja dengan naik shinkansen p.p. dari Tokyo ke Osaka 😀 dan bukan hanya untuk aku sendiri tapi untuk 3-4 orang . Belum lagi hotelnya karena meskipun ada rumah saudara, pasti anak-anakku ingin berenang, sehingga lebih baik menginap di hotelnya. Nah, waktu aku kemukakan keinginan mengajak papaku ke kampung halamanku pada Gen, dia amat menyetujui dan satu-satunya tempat yang diwanti-wanti HARUS pergi adalah Bantimurung. Jadilah Bantimurung menjadi tujuan kami pertama kali, bahkan langsung sesudah mendarat.
Setelah minum teh tarik di salah satu restoran di bandara, kami langsung naik pajero milik om Benny menuju ke Bantimurung. Tidak jauh sebenarnya, tapi mendekati areal Taman Nasional itu ada satu mobil PU yang badannya segede Gaban dan menutupi jalan masuk. Setelah berputar dulu mencari jalur lain, kami bisa turun di gerbang masuknya. Ya, aku ingat di gerbang masuknya ada patung gorilla tapi aku baru tahu sadar bahwa ada patung kupu-kupu besar.
Sesudah kami memarkirkan mobil, kami langsung masuk… dan terus terang kami tidak tahu berapa harga tiket masuknya. Rupanya om Ari sudah menyelesaikan pembayaran di luar sepengatahuan kami. Dan kami pelan-pelan berjalan masuk ke dalam. Terus terang aku lupa, apakah 9 tahun yang lalu seperti ini juga. Tapi sepertinya jauuuh lebih bagus sekarang. Ada sebuah kolam semacam kolam renang (yang butek airnya) di sebelah kiri dan di sebelah kanannya lebih merupakan sebuah kolam. Di sini warnanya bagus jika difoto dengan Canon (Hasilnya lain dengan Nikon)
Dan selama kami berjalan masuk ke dalam, waktu itu matahari sudah tinggi sekitar pukul 11:30 an dan lembab! Panasnya…. Tapi untung sih tidak hujan, karena kalau hujan sudah jelas kami tidak bisa melihat kupu-kupu. Terus terang dibandingkan 9 tahun yang lalu, kali ini aku banyak melihat kupu-kupu! Senang sekali, dan ciri khas kupu-kupu Indonesia terbangnya cepat dan aktif sekali. Susah untuk memotret mereka. Tapi karena banyak kupu-kupu yang terbang, aku bisa mencari obyek potret dengan mudah. Aku baru ingat dulu waktu 9 tahun lalu ke sini, kami datang sudah siang, dan memang kalau mau melihat banyak kupu-kupu semakin pagi semakin bagus.
Akhirnya kami sampai di bawah air terjun. Rupanya yang membedakan dengan 9 tahun yang lalu, adalah adanya pagar keramik sepanjang pinggir air, sehingga kita bisa duduk-duduk di situ. Dan jika mau turun ke bawah air terjun, bisa masuk lewat pintu yang tersedia. Di bantaran juga tersedia tempat untuk duduk bertikar yang disewakan, juga loker penyimpanan baju bagi yang mau mandi di air terjun.
Nah mulai deh ke dua anakku memandangi air terjun dan melihat orang-orang yang dengan riangnya bermain air. Dan keduanya mau turun ke air. Kupikir tidak apa karena koper kami masih di dalam mobil, jadi bisa buka kalau perlu baju ganti. Jadi kuijinkan asal jangan jatuh karena licin. Yang lucu, Opanya melihat cucu-cucu bermain air begitu, juga ingin turun main air. Justru aku lebih khawatir kondisi opa daripada cucu-cucu. Orang tua/lansia TIDAK BOLEH jatuh! Jadi aku langsung wanti-wanti Riku untuk memperhatikan opa, dan terus terang aku juga tidak bisa konsen memotret (dengan 3 kamera karena aku akhirnya harus pegang kameranya opa juga!) , dan tentu saja bersiap-siap kalau perlu aku pun turun ke air. Masa bodo deh hehehe.
Tapi senang melihat Opa senang! “Wah aku pertama kali turun ke air terjun Bantimurung sejak bertahun-tahun pulang kampung!” Dengan senangnya dia menceritakan pengalaman “main air” dengan cucu-cucu kepada teman-teman dan saudara-saudara setelah pulang. Dia tidak tahu aku deg-degan terus karena teringat kata-kata Novi, adikku, di BB….” Mel you have THREE dependant!” hihihi.
Setelah puas bermain air, kami duduk di bantaran, sambil aku memotret kupu-kupu kuning-coklat yang terbang mendekat, sambil Opa melihat-lihat kupu-kupu yang dijual anak-anak setempat. Aku biarkan saja, karena Opa berbicara dengan bahasa ibunya, bahasa Makassar dengan mereka, dan mau membelikan kupu-kupu itu untuk cucunya. Padahal kalau mau jadi environmentalist sejati, seharusnya aku tidak membeli kan? Ohh… idealisme kadang membuat ribet memang ya. Tidak lama 4 kotak set kupu-kupu berpindah tangan. Dan empat kotak ini kemudian aku foto satu per satu dan minta Gen check apakah masuk Konvensi Washington atau tidak. Dan ternyata dari sekian banyak kupu-kupu ada 4 ekor yang tidak bisa kami bawa, dan kutinggal di rumah Jakarta (lagi).
Kemudian aku tanya pada Riku apakah dia mau pergi ke sumber mata air yang ada di atas? Kalau Riku tidak mau, aku yang akan pergi, karena sebetulnya aku ingin membandingkan kondisi mata air itu dnegan kondisi waktu 9 tahun yang lalu. Padahal 9 tahun yang lalu aku tidak naik ke atas, karena menjaga Riku yang masih bayi. Tapi paling tidak bisa memotretnya dan membandingkan dengan foto-foto yang diambil Gen dulu. Ternyata Riku mau, dan aku pesan untuk memotret kondisi di atas. Sayangnya aku tidak menjelaskan dengan detil apa saja yang perlu difoto 😀 Jadi…. dia hanya ambil SATU foto hahaha.
Setelah Riku kembali, kamipun beranjak dari lokasi air terjun untuk pulang. Ya, kami sudah lapar! Mau mencari makanan tapi tentu tidak di daerah situ. Padahal sebetulnya Taman Nasional Bantimurung itu bukan hanya air terjun saja, masih ada museum dan tempat penangkaran kupu-kupu. Kami berniat untuk skip museumnya, dan menuju ke penangkarannya, tapi ternyata tidak dibuka. Rupanya penjaganya sedang pergi sholat Jumat dan belum kembali. Nah, di sekitar itu memang masih merupakan semacam hutan liar. Jauh deh dengan Taman Kupu-kupu Cihanjuang di Bandung yang memang ditata rapi. Wild deh! Tapi di situlah aku melihat untuk pertama kalinya seekor BUNGLON yang besarnya hampir sebesar BIAWAK! Tadinya aku tidak melihat, dan oleh si abang yang memandu kami ditunjukkan dan kupikir aku mau mendekat saja. Ternyata langkah kakiku membuatnya takut dan lari! TAPI dengan larinya aku jadi bisa tahu dia ada di mana! Jelas tidak ketemu karena aku pikir bunglon itu pasti di atas dahan pohon, ternyata ini di tanah! Si abang itu bilang, “Wah itu sih masih kecil, biasanya lebih besar….” Tentu dalam bahasa Makassar yang diterjemahkan papa 😀
Keringat dan panas serta lapar mulai menyerang sehingga kami akhirnya cepat-cepat meninggalkan areal taman dan naik ke mobil. Aku sudah siapkan tip untuk pemuda yang mengantar-antar kami, tapi oleh papa dilarang karena rupanya om Ari sudah menyelesaikannya semua. Duh, aku tidak tahu bagaimana balas budi kepada Om Ari dan Om Benny!
So, setelah itu kami bergegas ke darah pantai Losari dan mencari makan. Bukan Mie Titi, atau Nyuknyang, atau coto Makassar tapi ikan bakar :D. Dan lucuuuu rasanya melihat Kai makan ikan bakar dengan tangan 😀 (Kalau Riku sih sudah sering, kalau Kai biasanya aku suapi kalau ikan)… Aduuuh jadi ingin makan Pallumara deh 😀
Ntah kapan aku bisa ke sini lagi…. mungkin kalau ada rencana ke Toraja bisa mampir ya? 😀 Semoga!
Postingan yang cukup lama ditulis karena gangguan kesehatan dan… malasnya memilih foto-foto 😀