From Russia With Love

10 Nov

Ini judul-judulan yang aku pakai untuk fotoku yang ini:

Pertama kali ke negeri salju sampai harus pakai topi (masih usia 20-an). Mustinya pakai topi rusia yang berbulu-bulu gitu, tapi sedang dipakai papa.

Tapi sebetulnya aku mau bercerita pengalaman kami hari Selasa kemarin. Ceritanya 4 ibu Indonesia di Tokyo yang tergabung dalam grup “Pemerhati Kuliner” (baru saja sih dibuat namanya heheheh), ingin berkumpul kembali dan wisata kuliner dari negara lain. Kami sudah pernah mencoba makanan Perancis dan Sweden bersama, dan kali ini ingin mencoba masakan Rusia.

Hari itu hujan seharian. Waktu berangkat hujannya cukup deras sehingga aku menjadi khawatir pada Nesta, karena dia membawa bayinya. Tapi hebat ah dia kemana-mana gendong bayinya dan tetap mau “bermain” di luar rumah. Aku dulu kalau tidak terpaksa sekali, malas keluar rumah bawa bayi. Karena aku juga sama seperti Nesta, selalu gendong bayi dan tidak pakai baby car. Baby car itu amat sangat mengganggu dan menambah beban jika kita naik bus dan kereta.

Me and baby Hiro… di restoran Chaika

Jadi deh kami berempat tambah baby Hiro makan di restoran Rusia di Takadanobaba yang bernama Chaika. Aku tidak menyangka restorannya tidak begitu besar tapi penuh orang! Bahkan waktu kami keluar dari situ pukul 1 siang, masih ada orang yang antri tunggu kursi kosong. Untung kami masuk sebelum pukul 12 siang, jadi bisa langsung duduk. Waktu aku telepon pihak resto untuk pesan tempat, dia bilang tidak perlu reserve asal datang jam 11:30 tepat waktu restoran buka. Karena jika reserve, kami harus memesan course menu minimum 2000 yen, padahal aku tidak tahu apakah teman-teman yang lain suka atau tidak pilihan menunya.

Masakan Russia yang kucoba ki-ka: Sup dengan tutup (Zuppa Sup), Borscht sup daging, dan bawah adalah Pirozhki

Aku memang sedang tidak bisa makan banyak jadi aku memesan menu yang berisi : sup yang bernama Borscht, sup berwarna merah ini biasanya terbuat dari bit merah, tapi rasanya yang kemarin ini dari tomat. Ada irisan dagingnya dicampur juga sourcream. Kupikir asam, tapi rasanya enak juga kok, seperti sup minestrone biasa. Roti basonya Russia namanya PIROZHKI, isinya daging giling dengan soun. Cuma menurutku rasanya kurang nendang (terlalu mengharapkan bumbu Indonesia sih). Lalu ada sup cream jamur yang ditutup lapisan roti. Memang biasanya ditutup pie, tapi resto ini pakai roti, kurang terasa pienya. Kurasa sup jenis ini sudah banyak di Indonesia dengan nama Zuppa sup. Tapi isi supnya sendiri enak, kental. Sudah itu saja menunya yang kami pesan. Kalau untuk laki-laki pasti kurang karena tidak ada nasi dan rotinya sedikit. Tapi buatku waktu itu cukup (mumpung lambungnya sudah terbiasa sedikit nih hehehe).

Kalau Whita dan Lisa memesan menu lain, yang diberikan juga salada dan daging bakar seperti kebab. Sebagai penutup memang tidak ada dessertnya, tapi kami semua mendapat chai, yaitu teh Russia. Apa bedanya teh Russia dengan teh lain? Sama saja sih cuma teh panas yang diberi selai strawberry. Kami berempat sepakat bahwa kami bisa saja setiap hari minum teh Russia yaitu dengan memasukkan selai macam-macam ke dalam teh kami, sebagai pengganti gula.

Dan sebetulnya aku juga sering merasa aneh. Aku pernah membeli Teh Yuzu (semacam lemon). Kupikir ada kandungan tehnya, ternyata tidak. Hanya selai yuzu dilarutkan air panas saja. Rupanya di Jepang segala selai buah yang dilarutkan air panas diberi nama Cha (Teh) meskipun sama sekali tidak mengandung daun teh yang kita kenal.

Secara keseluruhan masakan Russia ini lumayan, dalam arti cocok untuk lidah orang Indonesia. Selain itu karena siang hari, harganya terjangkau. Dengan membayar 2000 yen sudah bisa makan lengkap (menu yang kupilih seharga 1150 yen. Harga yang reasonable untuk mencoba jenis masakan baru. Cuma memang kami kurang bisa santai di sini, karena waktu makan siang ternyata restoran ini terkenal, sehingga jam 1 lewat kamu sudah beranjak meninggalkan restoran, Tentu saja karena Hiro, anaknya Nesta juga mulai rewel karena kepanasan.

Tapiiii, kami belum puas ngobrol dan berfoto. Kami sengaja menentukan dress code berbaju hitam dengan scarf batik. Dan di resto Chaika itu ruangannya kurang terang, selain juga tidka bisa santai mengambil foto karena sudah ada yang antri. Juga sulit mengambil foto berempat. Selain itu baru pukul 1 lewat, masih pagi 😀 Jadi kami sepakat untuk mencari karaoke di sekitar stasiun Takadanobaba. Dan kami pergi ke karaoke Big-Echo, chainstore karaoke box yang terkenal di Jepang. Kebetulan aku punya kartu anggotanya, sehingga kami bisa mendapat harga khusus anggota.

hebat di karaoke aja ada kids roomnya

Karena kami membawa bayi, oleh petugasnya kami diberikan ruang nomor 19. Loh ternyata itu adalah Kids Room. Maksudnya di dalam ruangan ada pojok khusus yang terbuat dari busa sebagai tempat bermain anak-anak. Perfect! Aku baru tahu bahwa Big Echo mempunyai ruang seperti ini. Ada ruang yang bisa untuk recording, ada juga ruang yang bisa untuk makan yang diberi nama Restaurant Room. Maklum aku juga sudah lama tidak keluyuran berkaraoke dengan teman-teman. Terakhir ke Big Echo itu waktu pergi dengan mertua sambil menunggu restoran Zauo (pemancingan) Shinjuku dibuka. Waktu itulah aku membuat kartu anggota 😀

Setelah menidurkan Hiro di pojok khusus anak-anak, kami memesan satu minum dan sambil mencari lagu yang hendak dinyanyikan. Dan karena interior Kids Room ini dominan warna kuning kontras sekali dengan baju kami yang berwarna hitam. Jadi deh kami memuaskan kenarsisan kami di sini, tentu saja dengan mengandalkan timer kameraku. Meskipun hanya dua jam, juga aku menyanyikan lagunya itu-itu saja, tapi terasa bahwa memang aku butuh waktu-waktu seperti begini. Me Time. Bermain dengan teman-teman.

Sekitar jam 3:30 kami keluar tempat karaoke itu dan kembali ke rumah masing-masing. Untung saja hujan sudah berhenti waktu itu. Dan aku masih punya banyak waktu untuk menjemput Kai di TK jam 5, sehingga masih sempat juga untuk berbelanja.

So, next mau mencoba masakan apa lagi ya? Aku sedang mencari informasi lagi nih restoran negara asing yang buka siang hari,  yang tidak jauh dan tidak mahal 😀 Pernah diberitahu murid ada masakan Persia yang enak, tapi ternyata setelah aku cari informasinya resto itu tidak buka pada siang hari. Ada usul? hehehehe (Aku tetap masih ingin coba masakan daging buaya loh, konon ada di daerah lingkaran Yamanote line Tokyo hehehe)

Kamu suka wiskul juga?

Ternyata kami berempat memakai sepatu boots hari itu. Sehingga dengan payung masing-masing, 4 ibu siap berperang melawan hujan 😀

 

Restoran Chaika (Russian Dishes)
1-26-5 Takadanobaba  Shinjuku, Tokyo 169-0075, Japan
tel: 03-3208-9551

NHK Studio Park

7 Nov

Tanggal 3 November Hari Kebudayaan. Seperti yang pernah kutulis di “Hari Libur“, persentasi kecerahan hari ini setiap tahunnya konon mencapai 80% cerah. Nah karena itu tepat sekali jika hari Kebudayaan ini dijadikan waktu untuk mengadakan festival universitas. Dua universitas S dan W tempatku bekerja juga mengadakan festival, sehingga libur. Dan sudah sejak seminggu lalu, Riku membawa sebuah pamflet mengenai festival yang akan diadakan di NHK. Teman sekelasnya memang ada yang menjadi personil karakter di TK NHK, yang tampil setiap hari dalam acara “Shakkin”. Jadi temannya mengajak Riku datang, tentu untuk bertemu dia. Sayangnya dia tidak memberitahukan kapan tepatnya dia muncul 🙁

Karena papa Gen bekerja hari Sabtu itu (di universitas tempat kerjanya juga ada acara festival), aku berjanji untuk mengantar Riku ke studio NHK, tentu bersama Kai. Hitung-hitung sekaligus nostalgia untukku, mengunjungi tempat part time jobku 18 th yang lalu. Dan aku sudah wanti-wanti bahwa harus siap jalan jauh. Aku tahu studio ini agak jauh dari stasiun Shibuya, meskipun aku juga tahu ada bus ke sana.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 10, padahal rencananya pukul 9. Dan aku membuat satu kesalahan besar yang nantinya aku sesali, yaitu membawa ransel berisi 2 kamera. Awalnya sih memang tidak berat, tapi lama kelamaan menjadi berat, sampai suatu ketika aku merasa sakit di bagian diafragma perutku. Pelajaran lagi untukku supaya tidak memakai ransel, dan tidak perlu membawa kamera DSLR nya kalau bepergian tanpa mobil.

Sampai di Shibuya pukul 11…dan lapar. Hmmm aku tahu dari pamflet itu bahwa di sana dijual makanan ala festival juga sih, tapi daripada makan kecil-kecil yang tidak kenyang dan akhirnya jatuh mahal, kami bertiga “isi bensin” dulu di restoran Tsubame Grill (maaf papa, papa kerja, kami makan enak :D). Resto ini terkenal dengan daging hamburger yang disiram kuah beefstew lalu dibungkus allumunium foil dulu sebelum dipanggang. Resto ini merupakan karem (karena doyan) tempat aku dan Gen berkencan dulu waktu masih pacaran di Yokohama.

Setelah selesai makan siang yang mampu membuat kami bertahan terus sampai malam, kami langsung menuju pemberhentian bus khusus ke NHK Studio Park. Tujuan bus itu memang cuma satu, sayang biayanya cukup mahal, 210 yen untuk dewasa (harga biasa setiap naik bus di Tokyo) dan 50 yen untuk murid SD (harga khusus liburan, kalau hari biasa 110 yen). Semestinya bus itu memberlakukan satu orang 100 saja, pukul rata hehehe. (Ada bus community yang bisa dinaiki dengan membayar 100 yen saja). Tapi untuk masuk ke Festival itu khusus hari itu gratis (biasanya bayar 200 yen untuk dewasa, anak-anak sampai SMA Gratis)

Bus kami berhenti tepat di depan Studio Park yang di pintu depannya dipasang tempat loncat-loncat untuk anak-anak yang berbentuk karakter NHK pendidikan. Kai tentu saja ingin langsung pergi ke situ, tapi aduh deh, baru datang masak udah main ginian. Aku janji bahwa pulangnya akan mampir, tapi kita masuk dulu ke dalam. Kami masuk mengikuti panduan rute yang tertulis, dan melihat pameran kecanggihan NHK, serta studio-studionya. Di antara tempat-tempat itu yang menarik adalah ruangan pembuatan siaran berita. Di situ kami bisa mengetahui bahwa pembaca berita membaca dari TV yang tersedia di hadapannya, serta di samping studio itu ada operation room untuk mengatur penyinaran dan suara. Di sini aku dan Riku duduk sebagai pembaca berita dan difoto oleh Kai. Staff yang melihat bahwa Kai yang mengambil foto sempat ragu, seperti mau menawarkan untuk memotret, tapi dia sempat melihat hasil bidikan Kai yang bagus sehingga tidak jadi. Kai memang sedang sering malas difoto, dan lebih memilih untuk memotret. Aku senang juga bisa memperlihatkan Riku bagaimana berita itu dibuat, meskipun waktu aku berada dalam studio TV kebanyakan untuk diwawancara, bukan membaca berita.

Selain studio siaran berita, ada booth tempat untuk membuat dubbing animation, yang disebut dengan afureko (アフレコ) yang merupakan singkatan dari after recording. Istilah orang film adalah Isi Suara. Nah biasanya yang kutahu (pengalaman) kami tidak perlu berbicara pas persis dengan gerak mulut dari anime yang mau kita isi suaranya, karena itu tugas operator untuk menyesuaikannya. Asalkan masuk bicara sesuai dengan cue (tanda) yang diberikan. Nah di booth itu kami bisa mencoba untuk mengisi suara anime yang ada. Sayangnya Kai belum bisa membaca naskahnya, sehingga aku dan Riku yang mencoba. Tentu Riku belum pernah mengisi suara sehingga tidak tahu harus bagaimana, jadi mendapat kategori “lumayan” (Kalau aku tentu saja kampeki “sempurna”). Ternyata memang beda ya, yang sudah pernah masuk studio dan yang belum pernah.

Kami juga melewati lorong yang memamerkan sejarah NHK sendiir, termasuk barang-barang yang pernah dipakai dalam pembuatan film. Ada maket tentang pembuatan drama sejarah yang menunjukkan detil jumlah staff dan kamera yang dipakai.  Kecuali baju kimono yang tergantung, bagian ini dilewati Riku dan Kai tanpa antusias. Dan mereka gmbira waktu melihat karakter acara semacam chanel “discovery” yang bernama Darwin ga kita (Darwin datang!). Di sini diperkenalkan camera tanker yang bergerak leluasa mengambil setiap sudut dinosaurus, atau camera robot yang dipakai untuk memantau kehidupan di hutan. Jika ada manusianya, pasti binatang-binatang itu tidak mau mendekat, tapi dengan menggunakan robot, binatang akan tetap beraktifitas seperti biasa.

Setelah menyelesaikan rute kunjungan, kami keluar dan sesuai janjiku, aku membiarkan anak-anak bermain loncata-loncatan dalam balon berbentuk maskot NHK yang bernama Domo. Puas bermain, (tentu saja puas mengantri juga hehehe), kami berjalan menuju main stage, dan baru tahu bahwa jadwal kemunculan temannya Riku itu di awal acara, pukul 10 pagi. Ya legowo tidak bisa bertemu dia. Tapi sepanjang jalan anak-anak senang bisa bertemu dengan karakter-karakter dari daerah-daerah. Memang JA (Japan Ageiculture) berpartisipasi dalam acara ini, sehingga kami juga bisa membeli hasil kebun dari daerah-daerah di Jepang. Tapi aku tidak belanja sama sekali, karena berat euy bawanya 😀

Lalu kami melihat ada staff yang membagikan kertas berpita. Loh itu Stamp Rally! Ternyata ada rute khusus juga untuk stamp rally. Kalau kami bisa mengumpulkan cap 4 kata yang tercantum itu, kami bisa mendapatkan hadiah. Stamp rally ini sering dipakai di Jepang untuk “memaksa” orang mengunjungi semua sudut. Juga sering dipakai oleh JR (Japan Railway) dan perusahaan kereta api pada musim panas untuk “memaksa” anak-anak mengenal stasiun-stasiun pada jalur tertentu. Dan ini juga merupakan pemasukan tambahan bagi perusahaan. Karena untuk itu mereka harus membeli buku stamp dan membeli karcis di setiap stasiun. Cara ini kurasa bisa dipakai di Indonesia untuk promosi, daripada membagikan barang begitu saja dan tidak merata. Belajar sambil bermain intinya.

Karena sudah capek dan tidak ada lagi yang bisa dilihat, kami berjalan pulang  ke arah stasiun. Sebetulnya sambil mencari es krim, atau cafe yang bisa dipakai untuk duduk santai. Senang juga menyusuri jalan di Shibuya sambil cuci mata. Sampai kami menemukan Tobacco and Salt Museum yang hari itu gratis masuknya. Tapi kupikir ah buat apa memperlihatkan pada anak-anak, karena pasti lebih mempertunjukkan sejarahnya. Kami akhirnya berhenti duduk di samping toko GAP yang menyediakan tempat duduk dari lego. Kami duduk dan tidak lupa memotret lego yang dipamerkan di situ. Sebetulnya aku ingin belanja baju dalam thermal anak-anak di toko Uniqlo yang berada dekat situ, tapi ternyata di toko itu tidak ada bagian untuk anak-anak.

Akhirnya kami meninggalkan Shibuya dan langsung naik kereta ke Meguro. Aku minta anak-anak menemaniku ke gereja mengikuti misa bahasa Indonesia jam 5, padahal kami sampai di Meguro pukul 4 sore. Kami beristirahat di Baskin 31 sambil makan es krim deh. Ternyata gerai Baskin 31 di Meguro mempunyai areal tempat duduk yang cukup besar (dan sepi) sehingga kami bisa bersantai di situ.

Misa 1 jam terasa lama untuk anak-anak 😀 Karena sudah keluar rumah dari pagi, mereka tertidur dalam misa. Maaf ya Romo 😀 Yang pasti satu hari Sabtu itu melelahkan tapi… Riku mengatakan “Terima kasih ya mama. Hari ini menyenangkan sekali. Bisa jalan sama-sama!”. Hari Minggunya kami di rumah saja sementara papa Gen masih harus ke kantor. Kadang aku kasihan suamiku yang sampai tgl 13 nanti tidak ada liburnya sama sekali (Sabtu Minggu juga masuk). Jangan sakit ya pa.

 

 

Eco Life Check

2 Nov

Judulnya keren ya! Ini adalah suatu usaha dari kelurahanku tempat kutinggal, untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pencegahan pemanasan global. Tahun ini mereka memakai cara yang sama dengan dua tahun yang lalu, yaitu meminta 40.000 warga kelurahan kami untuk menjawab angket. Dengan bekerjasama dengan sekolah, setiap murid membawa “Eco Life Check” untuk didiskusikan bersama keluarga dan menjawabnya bersama. Dan Riku membawa lembaran itu sebagai PRnya. Tadi pagi aku tanya apa PRnya, ternyata angket itu. Huh, mestinya jawab sama-sama tuh! Tapi aku cek saja jawabannya dia dan menemukan satu kesalahan, yaitu bahwa mamanya selalu membawa tas belanja sendiri. Ya tentu saja Riku tidak tahu, karena aku selalu pergi belanja sendiri, tidak pernah bersama anak-anak. Tentu saja aku bawa, karena dengan membawa My Bag, kami mendapat potongan 2 yen setiap belanja. Emak-emak gitu loh, kudu dijabanin dong 😀

Dulu waktu aku masih single, aku tidak merasa perlu berhemat. Tidak pernah merasa menyesal jika melewatkan kesempatan-kesempatan diskon, atau dengan sengaja mencari toko-toko yang lebih murah untuk membeli bahan yang sama. Well, sebagai emak-emak aku juga semakin pelit lah. Masakan sisa aku olah lagi supaya menjadi masakan baru dong. Misalnya kemarin dulu ada roti kering yang tidak termakan, aku rendam dengan susu lalu campur daging giling, jadilah perkedel panggang. Tapi sisa, jadi sisa perkedel aku potong-potong sebesar dadu, lalu masukkan makaroni, susu, telor, keju lalu jadi makaroni panggang. Ini pasti habis! hehehe. 

Apa saja yang ditanyakan pada lembar “Eco Life Check” itu?:    O = ya           X =tidak      ( bisa mengurangi….. gram CO2/hari)

1. Sudah mengurangi melihat TV atau bermain game? (17 gram )
2.  Mematikan lampu kamar yang tidak ada orangnya? (19gram)
3. Mencabut steker listrik alat-alat yang lama tidak dipakai? ( 62 gram)
4. Mandi dan berendam berurutan sehingga air panas bisa langsung dipakai  tanpa harus memanaskan lagi? (231gram)
5.  Tidak lupa mematikan keran shower? (82gram)
6. Memilah sampah, dan menggunakan barang yang masih bisa dipakai (recycle)?(47 gram)
7. Tidak menyisakan makanan? (90gram)
8. Tidka membiarkan keran menyala terus waktu menyikat gigi? (26 gram)
9. Waktu berbelanja memakai MyBag, daa tidak memakai plastik kresek? (37 gram)
10. Membawa MyBottle kemana-mana? (56 gram)
11. Waktu pergi ke tempat yang dekat, tidak memakai mobil, tapi berjalan kaki atau bersepeda? (350 gram)
12. Mempunyai waktu untuk  bersama keluarga? (73 gram)

pertanyaan Eco Life Check dari kelurahan kami

PR ini lalu dikumpulkan kepada gurunya, untuk diteruskan ke kelurahan. Menurut selebaran yang kami terima, hasilnya akan dihitung dan dianalisa, kemudian akan dilaporkan sekitar bulan Februari, dan juga dimuat di website kelurahan. Well, memang kalau kita melihat setiap satu usaha yang kita lakukan itu memang kecil gram nya. Tapi kalau ada 40.000 orang mengurangi 10 gram saja, berapa jumlahnya? Besar kan?

Sttt semoga saja kami bisa melaksanakan check list ini setiap hari. Karena hari-hari semakin dingin, maka listrik dan gas yang kami pakai untuk pemanas tentu semakin bertambah. Dan aku senang karena tadi sebelum makan malam, Riku mengecek pemakaian listrik kami, dengan mematikan lampu kamar, lalu kami bertiga berkumpul di meja makan untuk makan malam, dan mengerjakan pekerjaan masing-masing (Kai menggambar dan Riku bermain DS) , dan…. mematikan TV. Ah aku suka sekali suasana seperti ini, yang ntah sampai kapan bisa kami pertahankan.