PULANG

29 Feb

(lanjutan cerita kepulangan mendadakku untuk menghadiri upacara pemakaman mama)

Aku bangun pukul 3:30 dini hari. Supaya tidak ketiduran aku sengaja memasang alarm pada pukul 3:30, 4:00, 4:30 dan 5:00. Kami merencanakan berangkat pukul 5:30 ke Narita, meskipun pesawat Garuda yang kami tumpangi berangkat pukul 12:00 siang. Hari kerja biasa (Jumat) sehingga jalan sulit diprediksi. Apalagi ada sebagian jalan menuju Narita yang sedang ditutup, sehingga mau tidak mau kami harus mengambil jalur lain, yang kemungkinan padatnya sangat besar.

Setelah membuang isi lemari es yang berpotensi busuk, membersihkan dapur dan membuang sampah, aku menutup koper yang telah kupersiapkan semalam. Tentu saja isinya hanya baju hitam semua 🙁 Karena di Jepang sedang musim dingin, semua baju musim panas yang tipis sudah kusimpan dalam kardus-kardus di lemari. Jadi waktu packing aku harus membongkar kardus-kardus itu untuk mencari baju-baju yang cocok dipakai di Jakarta. Paling sulit travelling ke negara musim panas di bulan-bulan November – Maret karena perbedaan cuaca yang begitu besar. Tapi sempat terpikir olehku, “Ah aku kan sama besarnya dengan mama, aku bisa pinjam baju mama”.

Anak-anak bangun pukul 5 pagi dan tanpa banyak rewel langsung bersiap, ganti baju. Tepat pukul 5:30 kami turun dari apartemen menuju mobil di parkiran. Rekor terbaru karena biasanya kami molor 15-20 menit dari rencana awal (dan tentu sudah aku perhitungkan waktu menentukan jam berangkat, maklum aku sadar orang (setengah) Indonesia sering juga jam karet :D). Cuaca saat itu: berangin! tapi hangat, tampaknya musim semi sudah mulai mengetuk pintu.

Perjalanan ke Narita cukup lancar. Kemacetan hanya terjadi di titik-titik tertentu, sehingga pukul 8:30 kami sudah sampai di Narita. Setelah mencari parkir di terminal 2 yang akan kami pakai untuk 4 hari sampai Gen kembali dari Jakarta, kami pergi ke check in counter. Memang parkir dalam gedung keberangkatan ini mahal, karena untuk 4 hari kami harus membayar 8000 yen. Tapi kami sudah malas mencari tempat parkir di luar bandara yang lebih murah. Jadi untuk kepraktisan kami putuskan untuk parkir di terminal keberangkatan Narita.

Garuda berada di Counter D. Sudah lama aku tidak pakai maskapai kebanggan negeriku ini. Ada mungkin 15 tahun. Tapi kali ini aku memang harus mengalah dan membeli tiket Garuda, karena satu-satunya Garuda merupakan satu-satunya maskapai yang menyediakan tiket murah Tokyo – Jakarta meskipun untuk keberangkatan hari berikutnya. Memang aku diberitahu bahwa jika mau aku bisa langsung pergi ke Narita dan membeli tiket khusus untuk wni dengan special rate, tapi masalahnya yang pergi bukan hanya aku saja.  Dua krucil dan suamiku kan warga negara Jepang. Dan rasanya lebih aman jika tiket sudah di tangan sebelum berangkat ke Narita.

Karena selalu dimanjakan oleh maskapai penerbangan Jepang yang memungkinkan kita memilih tempat duduk waktu membeli tiket, sedangkan Garuda mengharuskan pemilihan tempat duduk pada waktu cek in, membuat kami juga ingin cepat datang di counter tersebut. Dan karena masih pagi, kami mendapat tempat duduk di bagian depan, meskipun sempat Tina bertanya apakah aku tidak apa-apa duduk di nomor 13. Ah aku tidak pernah percaya superstitious seperti itu.  Kami boarding sesuai waktu, meskipun aku sendiri tidak melihat jam. Payahnya sekarang aku terlalu mengandalkan jam di HP, sehingga jika HP dimatikan, aku tak tahu waktu.

Perjalanan selama 8 jam cukup lama, tapi karena kami berangkat berenam, deMiyashita + adikku Tina dan temannya Kiyoko a.k.a Koko  (disebut papa sebagai anak ke 3,5 – sebagai anak angkatnya di Jepang) perjalanan yang lama itu tidak terasa. Aku lebih banyak tidur daripada menonton film atau bermain game seperti Riku. Aku duduk berdua dengan Kai, sedangkan Gen dengan Riku. Kai memang masih belum bisa berpisah dariku. Oh ya di dalam pesawat aku juga sempat menulis kejadian hari kamis yang aku posting kemarin.

Kami mendarat pukul 6  sore di Cengkareng. Karena semua keluarga sibuk mempersiapkan misa yang akan diadakan pukul 19:30, kami dipesankan taxi besar Tiara Express, jadi tinggal naik mobil alphard yang cukup untuk 6 orang + 3 koper. Amat nyaman, dengan supir yang ramah apalagi aku bisa minta charge BBku dalam mobil itu. Tahu ada taxi begini, mending aku naik taxi setiap kali datang ke Jakarta, karena berarti tidak merepotkan penjemput. Apalagi taxi ini mencari jalan yang tidak macet, sehingga yang biasanya lewat Slipi, kami lewat Kebun Jeruk. Kami sampai di rumah pukul 19:40. Langsung masuk karena kami sudah ditunggu misa.

Dan…. aku pertama kali melihat jenazah mama….dengan muka mama yang tertidur di depanku persis selama misa.

Meskipun mukanya agak biru karena serangan jantung, mama terlihat seperti tidur saja. Tidak ada tanda kesakitan atau perubahan pada mama. Menurut papa, hari Rabu Abu tgl 22 Februari itu, merupakan hari besar bagi agama Katolik. Pada hari Abu kita diingatkan bahwa manusia berasal dari abu, dan akan kembali menjadi abu. Dan pada hari Rabu Abu, umat katolik melakukan pantang dan puasa (puasa katolik berarti satu kali makan kenyang). Jadi mama dan papa pergi misa pukul 5:30 pagi, menerima abu, menerima komuni. Sesuai kebiasaannya juga setiap jam 12 dan jam 3 berdoa rosario. Mama pun puasa pada hari itu. Sekitar pukul 19:30 malam mama minta pada mbak Win untuk dibantu waktu mandi. Memang sejak mama stroke tahun 2008, mama perlu dibantu kalau mandi. Katanya mama minta mandi yang bersih, cuci badan dan cuci rambut. Rupanya waktu itu Mama  sudah mulai merasa sakit tetapi ditahan, dan “mengancam” mbak Win untuk tidak memberitahukan pada papa. Pukul 10 malam Andy adikku yang bungsu masih mendapat ciuman sebelum dia pamit pergi. Setelah itu tidak ada yang tahu.

Menurut papa, akhir-akhirnya ini setiap papa terbangun tengah malam, pasti menemukan mama sedang berdoa. Tapi tengah malam itu, papa tidak melihat mama di tempat tidurnya. Maka papa yang memang mau ke kamar kecil, menuju kamar mandi. Dan disitulah mama ditemukan, sudah tidak bernadi. Saat itu pukul 00:45. Langsung dilarikan ke UGD RSPP, tapi dokter mengatakan bahwa sudah tidak bisa, karena sudah lewat 30 menit. Serangan jantung, dengan kemungkinan meninggal sebelum tanggal berganti, yaitu Hari Rabu Abu. Seandainya benar hari Rabu Abu, alangkah sempurnanya mama, mempersembahkan tubuhnya sendiri pada hari di saat manusia memperingati awal Pra Paskah dan mengingat bahwa manusia berasal dari abu dan akan kembali menjadi abu. Semoga Tuhan menerima persembahannya …. dan persembahan kami, keluarga yang ditinggalkannya. Tidak ada lagi hari yang lebih indah untuk menghadap Bapa di surga. 

 

Begitu banyak penghiburan yang diberikan kepada kami. Konon misa pada hari kamis malam (malam pertama) dihadiri oleh ratusan orang, sehingga ada beberapa teman yang pulang karena tidak bisa masuk.  Tapi tentu saja selama misa kami masih tidak bisa menahan isakan tangis kehilangan seorang ibu, seberapapun dia sudah panjang umurnya, atau seberapapun dia sakit karena bagaimana pun juga dia adalah orang tua kami, kekasih kami. Kehilangan itu perih, tapi aku ikhlas dan sebagai anak yang tertua aku harus tegar.

Malam itu aku menemani adik-adikku menjaga mama sepanjang malam, sambil berdiskusi mengenai pemakaman mama yang mengikuti kemauan mama sendiri yaitu dikremasi. Suatu cara pemakaman yang tidak biasa di antara keluarga kami, apalagi bagi masyarakat  selain masyarakat chinese yang memang mempunyai kebudayaan kremasi. Malam itu kami kakak beradik mengadakan “rapat keluarga” di depan jenazah mama. Malam itu aku pulang dalam arti sesungguhnya, pulang ke rumahku, pulang ke keluargaku, pulang ke  ideologi keluarga kami yang berlandaskan agama kami : katolik.

“Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepadaKu. Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempatKu, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada.” (Yohanes 14 : 1-3)