Mereka Melihat dan Mendengar

7 Mar

Pernah ada seorang temanku menulis begini, “Hai orang tua, bagaimana kalian bisa mengharapkan anak-anakmu patuh pada peraturan, jika kalian sendiri membonceng mereka naik motor tanpa helm dan surat-surat lengkap?”. Langsung aku klik tombol LIKE.Memang benar begitu kok.

Ya memang, aku pun sering menuliskan bahwa anak-anak itu melihat tindakan kita para orang tua. Mereka akan melihat tindakan kita dan menirunya. Bagaimana kita bisa mengharapkan anak-anak tidak akan menerobos lampu merah jika kita sendiri masih menerobos lampu merah?

Di dekat rumahku ada jalan kecil dengan lampu lalin. Jarang sekali mobil lewat jalan itu sehingga banyak orang hanya melihat apakah mobil datang atau tidak, lalu kalau tidak melihat ada mobil datang, langsung menyeberang. Memang jalan itu satu arah! Tapi aku selalu berhenti di situ, dan meskipun lampu merah dan tidak ada mobil yang lewat pun aku tetap berhenti. Untuk itu aku tegas. Pernah aku pulang dari sekolah bersama Riku melewati jalan itu.  Waktu Riku TK dan aku sedang hamil. Riku “nyelonong” begitu saja di jalan itu. Aku langsung memarahi dia, karena benar-benar bahaya. Ada mobil lewat persis dia nyebrang. Duh…. Sudah diajarkan yang benar saja, Riku masih mau “melanggar” peraturan. Bagaimana kalau aku slengekan dan melanggar lampu merah karena berpikir toh tidak ada mobil lewat? Sampai sekarang pun meskipun aku tidak bersama anak-anak aku tetap berhenti di jalan itu waktu lampu merah dan tidak ada mobil. Karena semua itu adalah kebiasaan.

Sampai pada suatu saat aku dan Kai pergi ke Kichijoji (daerah pertokoan) dan sedang menunggu lampu merah. Banyak orang, dan tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang mungkin terburu-buru, menyeberang begitu saja. Memang tidak ada mobil lewat, tapi semua orang yang ada di situ melihat ke arah ibu itu. Aku pun melihat beberapa tatap mata ke arah Kai. Aku bersyukur Kai tidak berkata keras-keras, “Mama, ibu itu kan salah ya…kan lampu merah!”. Tapi begitu kami bisa menyeberang waktu lampu berganti hijau, aku langsung berbicara pada Kai, “Kai, tadi ada ibu yang menyeberang waktu lampu merah kan? Itu tidak bagus, jadi Kai jangan begitu ya”. Sebanyak-banyaknya aku berusaha memberikan input pada anak-anakku.

Ada peristiwa yang lucu juga terjadi. Aku sering menegur Kai kalau dia makan dengan tangan, bukan pakai sumpit atau sendok. Di penitipannya pun mereka mengajarkan anak-anak balita ini untuk berusaha memakai sendok dan sumpit. Nah, suatu kali aku makan nasi dan ikan ala Indonesia. Tentu saja pakai tanganl dong. Dan saat itu Kai berkata, “Mama kok makan pakai tangan? Kan ngga boleh makan pakai tangan!” Aku tertegun, dan berkata, “Iya Kai… mama makan pakai tangan karena ini masakan Indonesia. Ikan ini banyak tulangnya, jadi kalau pakai sendok atau sumpit, susah ketahuannya. ”

Mereka melihat….. dan mendengar. Tadi aku benar-benar kaget pada jawaban Kai, karena dia bisa mengulang sebuah perkataan yang aku tahu tidak sering aku ucapkan.

Jadi ceritanya kemarin malam, Riku bertanya pada kami arti dari Ran ran ru. Karena temannya berkata begitu padanya, dan dia tidak tahu artinya. Dia hanya tahu kata itu sepertinya mempunyai arti negatif. Kami sendiri tidak tahu, dan aku mencari di internet artinya apa. Dan terkejut mendapatkan kenyataan, bahwa kata Ran ran ru itu merupakan kata baru yang populer di kalangan anak SD sekarang, dan berarti “Shine shine (bukan bahasa Inggris loh), kiero” (Mati lu, mati lu, enyahlah)….

Wah benar-benar kata yang provokatif dan jelek sekali. Jadi Riku pun bertambah sedih dikatakan begitu. Tapi aku katakan, “Biarkan saja teman-teman kamu bicara seperti itu, yang penting Riku jangan. Dan Riku tak perlu kecil hati. Jangan berteman saja dengan dia. Dia sendiri mungkin tidak tahu arti sebenarnya dari Ran ran ru itu, atau meskipun tahu hanya mau bercanda saja.” Yang parahnya suamiku malah bilang pada Riku, “Kalau kamu dikata-katai Ran ran ru, kamu bilang saja “Mampus lu” (bahasa Indonesia). Nanti kan dia bingung kamu bicara apa. Lalu senyum-senyum aja, jangan kasih tahu. Dia tambah sebel deh”… haiyah…

Nah, tadi di dalam mobil, tiba-tiba Riku bertanya pada Kai, “Kai kamu tahu Ran ran ru itu apa?”
“Tahu dong”
Aku yang sedang menyetir saja masih mencoba mengingat-ingat apa ya artinya, waktu Kai dengan tegasnya berkata,
“Shine shine kiero!” ………duaaaarrrr.………..
“Kai! Kamu tahu dari mana?”
“Tahu dari sekolahnya Riku”
“Bohong! ” (Wong dia seharian ada di rumah denganku)
Lalu Riku berkata, “Pasti Kai dengar waktu mama bicara kemarin”

………. Padahal aku bicara pada papanya. Dan arti itu pun aku cuma katakan paling dua kali. Tapi aku tidak sadar bahwa ada telinga kecil yang mendengarkan, dan mengetahui bahwa kata itu buruk…dan mengingatnya. Bahaya!

Susah ya jadi orang tua…. sama saja dengan komentar dari Nique di postingan saya yang Aduh Mama Bodoh, yang menulis:

saya jadi sedih klo mbaca ini?
soalnya di warnet hampir setiap jam mendengar umpatan ‘bego’ ‘tolol’ ‘bodoh’ ‘idiot’ yang keluar dari mulut anak2 yang bermain game. Sudah saya coba agar mereka tidak mengucapkan itu dengan memberi reward, ga mempan, pake marah2 lebih ga mempan lagi.

Dan aku jawab dengan,” Memang jangan membolehkan anak-anak mengumpat dengan kata kasar begitu. Tapi jika ortunya sendirinya mengumpat dengan kata-kata begitu? Anak kan meniru…..”

Ya, mereka (anak-anak) adalah manusia yang punya otak dan hati, dan dalam proses belajar apa saja dalam kehidupan ini. Mereka bisa melihat dan mendengar. Kita sebagai orang tua harus hati-hati, karena tindakan mereka adalah cermin tindakan orang tua juga. Menjadi orang tua itu memang berat ….

Maaf, postingan kali ini curhatan ibu-ibu.

 

20 Replies to “Mereka Melihat dan Mendengar

  1. Betul sekali Mbak …
    Orangtua sering marah kalau anaknya bohong, padahal tanpa sadar mereka sering memberi contoh kebohongan. Misalnya ada tamu datang, tapi pesan pada anak (atau asisten) untuk mengatakan mereka sedang pergi. Atau kebohongan-kebohongan ‘kecil’ lainnya, yang tetap saja merupakan kebohongan.

  2. Like this one so much, Kak… Jadi inget kata2 ini, “anak2 sebelum 5 tahun, apapun diserap. Dan, apapun yang kita katakan pada mereka, itu bisa jadi dasar dari pemikiran mereka seumur hidupnya”. Gak inget dapet dari mana, tapi aku selalu inget sama kata2 itu. Dan karena itu juga, di Sekolah Minggu, guru2nya selalu diajarin untuk gak bilang klo anak itu “bandel” atau “nakal” atau “bodoh”, dll. Selalu dibilang “pinter”, “aktif”, “baik”… (walaupun sering kali pake tanda kutip sih ngomongnya :p).

    Biarpun belum punya anak, tapi ini aku alamin Kak 🙂

  3. (Maaf) izin mengamankan KELIMAX dulu. Boleh, kan?!
    Merreka memang sedang giat-giatnya menyerap informasi dari sekitar. Makanya kita-kita yang dewasa musti lebih arif. Meskipun sulit tapi musti dibiasakan.

  4. setuju 100% mbak.
    anak2 itu mendengar banget dan meniru banget apa yang dikatakan/dilakukan ortunya. jadi emang kita harus ati2 banget. yah kita juga gak sempurna ya, kadang kita juga masih melakukan/ngomong yang gak sepatutnya, tapi ya harus berusaha lah supaya jangan sampe nanti ditiru/disalahartikan ama anak2 kita…

  5. kemarin mendengar anak kecil umur 4 tahunan udah ngomong gini ke adiknya yang masih bawah dua tahun (baduta0 : jangan masuk situ, oon

    sepertinya kata sandang negatif seperti itu dan aneka nama satwa sudah biasa keluar dari mulut anak2, mudah2 an ini hanya seperti bahasa gaul yang cepat hilang….

  6. Seorang anak yang biasanya ke sekolah diantar ayahnya, pagi itu diantar oleh ibunya.
    Si anak berkata : ” Kalau mama yang mengantar kok orang di jalan baik-baik semua ya “.
    Mamanya heran : ” Lho memangnya kenapa sayang ?”
    Anak : ” Kalau papa yang mengantar, dijalan raya orangnya banyak yang jelek ma ”
    ” Kok bisa begitu ?”, tanya mamanya.
    Anak : ” iya, kan papa suka berteriak ” bego, nyebrang seenaknya, tukang bakso edan.., he setan..jangan melamun di jalan …mau modar kamu….gitu ma ”

    Si mama ngelus dada. Rupanya suaminya emosional jika ada penyeberang jalan yang seenaknya sehingga mengagetkannya yang sedang mengemudi.Dan kata makian sering meluncurnya darinya.

    Kata-kata suaminya yang syuuur itu selalu didengar dan diingat-ingat oleh anaknya yang masih kecil.

    Mari kita bicara yang baik2, walau sedang emosi ( sulit ya jeng ??)

    Salam hangat dari Surabaya

  7. iya ya mbak…hiks jadi sedih nih, masih sering ngasih contoh yg ga bener ke anak2…

    bagaimanapun ‘teladan’ lebih manjur hasilnya…

  8. Benar mbak, susah jadi orang tua. Tapi menjadi orangtua adalah karunia yang sangat besar. Menjadi orangtua berarti menjadi orang yang harus senantiasa mau belajar memperbaiki diri demi memberikan teladan yang baik untuk anak-anak.

    Saya yang harus bekerja untuk menghidupi keluarga juga mesti sering-sering belajar mendengar kata-kata dari anak-anak saya. Akibat berteman (masa iya harus dikurung di rumah?) kadang mereka menjadi memiliki koleksi kata ajaib. Tugas saya yang mengoreksi dan memberikan contoh supaya kata-kata ajaib itu sirna dari hidup mereka Tak jarang saya memberikan hukuman kecil.

  9. Saya juga empet setengah mati Mba, kalo denger anak Metropolitan ngomong gaul, semua kosa kata jelek mungkin bisa keluar dari mulutnya.. euuhhhh.. kesel jadinya.. apa ga bisa ngomong yang positif aja?

    Temen saya pernah cerita, dulu dia pertukaran pelajar, dan tinggal di rumah induk semang (kos di rumah orang), dan dia mengajari induk semangnya kata “Bangsat!” kalo induk semangnya ingin sekali memaki orang tapi tidak ingin orang yang dimaki tahu atau tersinggung, xixixi.. lucu juga saya pikir, tapi ya kalo memaki, mau pake bahasa apa pun juga ya tetep aja memaki, dan itu tidak baek 😛

  10. Sebagaimana video pada sebuah posting yang pernah saya posting dalam judul Make Your Influence Positive. 😀

    Masalah perilaku anak, memang dimulai dari lingkungan keluarga (rumahnya). Kemudian sekolah. Kemudian tempat bermain. Kemudian tempat-tempat lain dimana seorang anak banyak menghabiskan waktunya.

    Meskipun di lingkungan keluarga semua sudah baik, bisa jadi seorang anak terpengaruh menjadi buruk di lingkungan-lingkungannya yang lain. Menurut saya, yang dapat dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya adalah sebisa mungkin menanamkan sifat-sifat dasar kebaikan kepadanya, memberinya teladan yang baik, serta mengawasi mereka berinteraksi di lingkungan-lingkungannya yang lain tersebut.

    Begitu susahnya menjadi orang tua. Namun itulah amanah besar dari Tuhan kepada sekalian orang tua. 😀

  11. Jadi ingat kejadian minggu pagi kemaren.

    Aku mau ke gereja, dan berangkat pake sepeda motor jam 7.30.
    Pas aku sampe traffic light di perempatan dekat rumah, lampu merah menyala.
    Berhentilah aku. Walaupun dari jalur yang lampu hijaunya menyala, kendaraannya sepi.
    Dibelakangku ada mobil yang membunyikan klakson berkali2 dengan harapan aku nerobos
    lampu merah, supaya dia juga bisa menerobos. Awalnya sih aku cuek aja.
    Tapi karena sebel dengar klaksonnya, aku menoleh disertai tatapan tajam dan tangan yang
    menunjuk ke lampu merah yang masih menyala.

    Emangnya dia mau tanggung jawab kalo terjadi apa2.
    *pagi2 sudah emosi dan mau ke gereja pula hehehe..*

  12. apapun isinya pasti gw selalu tertarik ngebaca postingan mba melda :))

    iya ya mba, ntar kalo aq udah punya anak bakal hati2 deh ngejaga dari istilah2 yg gak pas buat anak2…heheheee…

  13. Almarhumah Mama saya dulu…(karena orang Sunda) suka mengatakan yang baik-baik dalam bahasa Sunda meskipun sedang marah-marah. Dia mendoakan semoga anaknya menjadi anak yang baik, ganteng, pokoknya semua yang positif. Dulu saya menganggap lucu aja, tapi setelah menjadi orang tua, baru paham. Setiap ucapan itu adalah sebuah doa…apabila kita (sebagai orang tua) mengucapkan hal yang negatif…itu sama saja mendoakan yang jelek bagi anaknya. Apalagi seorang ibu, karena ada pepatah mengatakan surga ada di telapak kaki ibu, ucapannya itu sangat manjur….

  14. waaah. taat sekaleee. (ganas euy). apakah di Jkt juga taat banget gitu yaaach. pingin ngeliat

    wkkkkk. om Gen keren banget… dia blg “mampus lu” gitu?! waaa. pantes ditiru dech kalo gitu

    tapi kalo bilang, “weekend drivers BEGO” ga pa pa ya tante?! hahaha
    (kan ga kedengeran anak2)
    tante gaul 😀

    hahaha. aku juga ada kebiasaan dari ngliat ortu. sering ga pake pakaian lengkap kalo di rumah. lah, aku malah tambah parah. yaitu… (wah, rahasia dech. ngomongnya private aja) hhhhh

    ~LiOnA~

  15. Betul mbak, orang tua adalah contoh nyata bagi anak2nya, bagaimana tindakan dan tutur katanya sedikit banyak pasti ada yang ditiru, karena anak menganggap itu benar.. 🙂

    *ah, jadi makin hati2 nih, udah mau jadi orang tua.. hehhee*

    salam sayang mbak…

    hehehe yang mau jadi orang tua, perlu lihat-lihat tetangga sebelah untuk referensi ya 😀
    EM

  16. Betul sekali,,, bahwa apa yang kita lakukan itu yang sering dilakukan juga anak-anak… makanya kadang saya heran,,, Banyak orang tua yang menginginkan anaknya seperti ini, seperti itu,,,, namun ternyata mereka orang tua tidak mampu untuk menjadi seperti ini dan seperti itu…. Aihhh orang tua berharap anak-anak mereka adalah anak yang baik-baik sementra mereka tidak mencontohkan yang baik-baik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *