Pernah ada seorang temanku menulis begini, “Hai orang tua, bagaimana kalian bisa mengharapkan anak-anakmu patuh pada peraturan, jika kalian sendiri membonceng mereka naik motor tanpa helm dan surat-surat lengkap?”. Langsung aku klik tombol LIKE.Memang benar begitu kok.
Ya memang, aku pun sering menuliskan bahwa anak-anak itu melihat tindakan kita para orang tua. Mereka akan melihat tindakan kita dan menirunya. Bagaimana kita bisa mengharapkan anak-anak tidak akan menerobos lampu merah jika kita sendiri masih menerobos lampu merah?
Di dekat rumahku ada jalan kecil dengan lampu lalin. Jarang sekali mobil lewat jalan itu sehingga banyak orang hanya melihat apakah mobil datang atau tidak, lalu kalau tidak melihat ada mobil datang, langsung menyeberang. Memang jalan itu satu arah! Tapi aku selalu berhenti di situ, dan meskipun lampu merah dan tidak ada mobil yang lewat pun aku tetap berhenti. Untuk itu aku tegas. Pernah aku pulang dari sekolah bersama Riku melewati jalan itu. Waktu Riku TK dan aku sedang hamil. Riku “nyelonong” begitu saja di jalan itu. Aku langsung memarahi dia, karena benar-benar bahaya. Ada mobil lewat persis dia nyebrang. Duh…. Sudah diajarkan yang benar saja, Riku masih mau “melanggar” peraturan. Bagaimana kalau aku slengekan dan melanggar lampu merah karena berpikir toh tidak ada mobil lewat? Sampai sekarang pun meskipun aku tidak bersama anak-anak aku tetap berhenti di jalan itu waktu lampu merah dan tidak ada mobil. Karena semua itu adalah kebiasaan.
Sampai pada suatu saat aku dan Kai pergi ke Kichijoji (daerah pertokoan) dan sedang menunggu lampu merah. Banyak orang, dan tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang mungkin terburu-buru, menyeberang begitu saja. Memang tidak ada mobil lewat, tapi semua orang yang ada di situ melihat ke arah ibu itu. Aku pun melihat beberapa tatap mata ke arah Kai. Aku bersyukur Kai tidak berkata keras-keras, “Mama, ibu itu kan salah ya…kan lampu merah!”. Tapi begitu kami bisa menyeberang waktu lampu berganti hijau, aku langsung berbicara pada Kai, “Kai, tadi ada ibu yang menyeberang waktu lampu merah kan? Itu tidak bagus, jadi Kai jangan begitu ya”. Sebanyak-banyaknya aku berusaha memberikan input pada anak-anakku.
Ada peristiwa yang lucu juga terjadi. Aku sering menegur Kai kalau dia makan dengan tangan, bukan pakai sumpit atau sendok. Di penitipannya pun mereka mengajarkan anak-anak balita ini untuk berusaha memakai sendok dan sumpit. Nah, suatu kali aku makan nasi dan ikan ala Indonesia. Tentu saja pakai tanganl dong. Dan saat itu Kai berkata, “Mama kok makan pakai tangan? Kan ngga boleh makan pakai tangan!” Aku tertegun, dan berkata, “Iya Kai… mama makan pakai tangan karena ini masakan Indonesia. Ikan ini banyak tulangnya, jadi kalau pakai sendok atau sumpit, susah ketahuannya. ”
Mereka melihat….. dan mendengar. Tadi aku benar-benar kaget pada jawaban Kai, karena dia bisa mengulang sebuah perkataan yang aku tahu tidak sering aku ucapkan.
Jadi ceritanya kemarin malam, Riku bertanya pada kami arti dari Ran ran ru. Karena temannya berkata begitu padanya, dan dia tidak tahu artinya. Dia hanya tahu kata itu sepertinya mempunyai arti negatif. Kami sendiri tidak tahu, dan aku mencari di internet artinya apa. Dan terkejut mendapatkan kenyataan, bahwa kata Ran ran ru itu merupakan kata baru yang populer di kalangan anak SD sekarang, dan berarti “Shine shine (bukan bahasa Inggris loh), kiero” (Mati lu, mati lu, enyahlah)….
Wah benar-benar kata yang provokatif dan jelek sekali. Jadi Riku pun bertambah sedih dikatakan begitu. Tapi aku katakan, “Biarkan saja teman-teman kamu bicara seperti itu, yang penting Riku jangan. Dan Riku tak perlu kecil hati. Jangan berteman saja dengan dia. Dia sendiri mungkin tidak tahu arti sebenarnya dari Ran ran ru itu, atau meskipun tahu hanya mau bercanda saja.” Yang parahnya suamiku malah bilang pada Riku, “Kalau kamu dikata-katai Ran ran ru, kamu bilang saja “Mampus lu” (bahasa Indonesia). Nanti kan dia bingung kamu bicara apa. Lalu senyum-senyum aja, jangan kasih tahu. Dia tambah sebel deh”… haiyah…
Nah, tadi di dalam mobil, tiba-tiba Riku bertanya pada Kai, “Kai kamu tahu Ran ran ru itu apa?”
“Tahu dong”
Aku yang sedang menyetir saja masih mencoba mengingat-ingat apa ya artinya, waktu Kai dengan tegasnya berkata,
“Shine shine kiero!” ………duaaaarrrr.………..
“Kai! Kamu tahu dari mana?”
“Tahu dari sekolahnya Riku”
“Bohong! ” (Wong dia seharian ada di rumah denganku)
Lalu Riku berkata, “Pasti Kai dengar waktu mama bicara kemarin”
………. Padahal aku bicara pada papanya. Dan arti itu pun aku cuma katakan paling dua kali. Tapi aku tidak sadar bahwa ada telinga kecil yang mendengarkan, dan mengetahui bahwa kata itu buruk…dan mengingatnya. Bahaya!
Susah ya jadi orang tua…. sama saja dengan komentar dari Nique di postingan saya yang Aduh Mama Bodoh, yang menulis:
saya jadi sedih klo mbaca ini?
soalnya di warnet hampir setiap jam mendengar umpatan ‘bego’ ‘tolol’ ‘bodoh’ ‘idiot’ yang keluar dari mulut anak2 yang bermain game. Sudah saya coba agar mereka tidak mengucapkan itu dengan memberi reward, ga mempan, pake marah2 lebih ga mempan lagi.
Dan aku jawab dengan,” Memang jangan membolehkan anak-anak mengumpat dengan kata kasar begitu. Tapi jika ortunya sendirinya mengumpat dengan kata-kata begitu? Anak kan meniru…..”
Ya, mereka (anak-anak) adalah manusia yang punya otak dan hati, dan dalam proses belajar apa saja dalam kehidupan ini. Mereka bisa melihat dan mendengar. Kita sebagai orang tua harus hati-hati, karena tindakan mereka adalah cermin tindakan orang tua juga. Menjadi orang tua itu memang berat ….
Maaf, postingan kali ini curhatan ibu-ibu.