Tadi malam waktu mau tidur, seperti biasa Riku dan Kai memilih buku yang mau didongengkan. Riku memilih sebuah buku berjudul “Keropeng” Kasabuta, karena memang dia punya keropeng di lututnya. Timely. Cocok. Kai memilih buku “Si Kera George”, yang ceritanya cukup panjang. Lalu Riku berkata, “Mama sensei, tolong bacain dong!”
“Bukan Mama Sensei…. mama aja!” Kata Kai
“Kan mama memang sensei, ngajar juga, jadi Mama Sensei!” Riku memberi alasan.
“Iya Kai, mama besok jadi Mama Sensei, jadi besok bangun pagi yah” kataku.
“Ayooooo Mama Sensei cepet bacain!”
“BUKaaaaaaan mama sensei!”
“OK…OK .. Mama Kai dan Mama Riku deh. Mama mulai baca yah. Ayo kamu masuk selimut”
Padahal Kai sebetulnya yang menyebutkan istilah Mama Sensei pertama kali, waktu aku bilang “Mama kerja di universitas”, sambil dia berkata heran “Heeeee?????”.
Kali ini aku mau menoleh kembali sejak kapan aku mengajar bahasa Indonesia, awal aku menjadi sensei atau guru. Tempatnya di rumahku di Jakarta. Waktu itu aku tingkat 3 Sastra Jepang FSUI. Muridku yang pertama ini seorang karyawan yang ditugaskan ke Indonesia, kalau tidak salah namanya Yoshida? Yoshino? Lupa. Lupa juga nama kantornya, tapi dia berasal dari Nagoya, karena logat bicaranya juga agak aneh, alias tidak buka mulut. Seperti ngedumel deh. Dia datang ke rumah seminggu 2 kali 2 jam, karena dia perlu cepat bisa bahasa Indonesia. Buku yang aku pakai waktu itu buku berbahasa Inggris, How to Master Indonesian Language yang dikarang Almatsier. Buku itu memang sudah lama sekali ada. Dari penerbit Djambatan. Menjelaskannya campur-campur bahasa Jepang dan bahasa Inggris (dia maunya begitu, katanya sekaligus belajar bahasa Inggris).
Setelah Mr Nagoya ini, aku mulai banyak mengajar. Biasa, kala itu berlaku kuchikomi, promosi yang berlangsung dari mulut-ke-mulut. Dan semua maunya diajarkan bahasa Indonesia di kantor atau di rumah. Jadilah aku resmi guru privat bahasa Jepang. Hampir setiap hari datang mobil keren-keren ke rumahku untuk menjemputku pergi ke kantor atau rumah si murid (Asal jangan disangka wanita panggilan aja yah hihihi). Biasanya satu kali pelajaran 2 jam. Enak sekali tinggal duduk di mobil lalu diantar sampai tujuan. Waktu itu aku sering sekali ke perumahan orang Jepang yang berada di belakang Setiabudi Building.
Hanya satu kali aku menerima pekerjaan mengajar, harus ke kantor si murid sendiri yang terletak di Hayam Wuruk. Katanya dia tidak punya supir tetap karena selalu berbagi supir dengan temannya. Aduuuh aku harus menyetir ke daerah yang selalu membuat spanning supir-supir. Terus terang waktu itu aku takut sekali, karena belum pernah menyetir sampai daerah sana. Karena itu sebelumnya aku coba menyetir sendiri diawasi oleh mantan sahabat yang naik motor (dia takut juga kalau aku ada apa-apa). Untung mobil Peugeot 504 kesayanganku itu tidak pernah gentar menghadapi siapapun dan apapun. Bus? Jangan coba-coba serempet loh! Klaksonnya saja keras begitu hehehhe. Ah aku kangen pada mobil itu. Mobil yang gagah (mobil papa sih, bukan mobilku hehehe).
Pengalaman menjadi supir eh guru bahasa privat itu akhirnya menjadi aset yang berharga. Karena begitu aku sampai di Tokyo, langsung ada tawaran untuk mengajar privat. Muridku yang pertama adalah sekelompok pecinta Indonesia, dengan salah satu membernya yang bekerja di Pusat Penelitian Ekonomi Asia IDE (sekarang menjadi friendku di FB malahan). Jadi kami selalu berkumpul di kantornya setelah jam kerja, dan belajar di sana. Aku selalu menolak waktu mereka mau memanggilku dengan “Imelda Sensei”. Aduh risih sekali dipanggil begitu…. Jadi aku dipanggil “Imelda san” saja oleh mereka. Aku merasa tidak pantas karena sebetulnya mereka sudah pandai berbahasa Indonesia. Aku hanya mendampingi mereka memahami kalimat atau nuansa yang tidak bisa tertangkap karena bahasa Indonesia memang banyak yang ambigu. Bayangkan bahan pelajarannya saja buku “Sepanjang Jalan Kenangan” (Muharyo Djojodigdo) dan buku biografi dari Prof. Slamet Imam Santoso, “Warna-warni kehidupan”. Kadang bercampur bahasa Belanda, Inggris, Jawa, dan betawi . (Waktu pas mudik dan melihat buku itu di gramed aku langsung beli. Waktu itu kami belajar memakai fotokopi saja. Semua hasil terjemahannya masih aku simpan. Suatu waktu ingin kubaca kembali).
Kenapa aku enggan dipanggil sensei? Sensei jika ditulis dengan kanji 先生、 kanji sen 先 berarti duluan dan sei 生 berarti hidup. Jadi harafiahnya hidup duluan (dari kita). Memang biasanya orang yang hidup duluan dari kita kan berpengalaman ya. Nah, waktu itu aku masih berusia 24-25 tahun, dipanggil sensei oleh murid-murid yang jauh lebih tua dari aku…. risih sekali rasanya. Tapi setelah aku lulus program Master tahun 1996, mau tidak mau aku menerima dipanggil sensei. Apalagi umur sudah semakin tua :D. Meskipun aku masih terus risih dipanggil sensei oleh Watanabe san (yang pernah kutulis di “Belajar terus sampai mati” atau alm. Fukuoka Sensei (ini beneran sensei karena beliau dokter)
Aku tidak pernah bercita-cita menjadi sensei, dan pasti akan menolak menjadi sensei untuk anak-anak. Hanya karena aku bisa bahasa Jepang dan suka mengajar macam-macam maka aku betah dengan profesi guru/dosen bahasa Indonesia. Tapi jika aku harus mengajar anak SD misalnya… duh angkat tangan deh. Satu kali saja aku mengajar bahasa Inggris pada anak SD, itupun kebanyakan bermain hahaha. Ngga bakat deh.
Tapi aku bisa menjadi sensei di sini juga berkat pendidikan yang aku terima, mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan Universitas di Indonesia, serta program Master di Yokohama National University. Semua guru dan dosen telah mengajarkan aku pendidikan dasar, menengah dan lanjutan sehingga bisa menjadi Mama Sensei seperti sekarang ini. Rasa terima kasihku mungkin belum tersampaikan pada semua guru-guruku, tapi masing-masing guru ada dalam hati dan pikiranku…paling sedikit ajarannya. Di hari guru Nasional ini, aku mau mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada guru-guruku dimanapun mereka berada (Ya… cukup banyak yang sudah berada di surga. May they rest in peace)
NB: Dalam bahasa Jepang murid selalu memanggil Imelda Sensei, dan dari kamus mereka tahu bahwa sensei = guru. Jadi mereka sering memanggil aku Guru Imelda…. hehehe. Dan aku jelaskan bahwa di Indonesia “guru” adalah profesi, sehingga tidak memanggil Guru Imelda tapi Ibu Imelda. Tetap untuk memanggil wanita memakai Ibu, dan jika gurunya pria memanggil Bapak saja.