Mungkin cuma di Jepang nih, kita bisa berdoa sambil berekreasi di tempat suci. Memang bukan di dalam tempat sucinya tapi masih di dalam kompleksnya. Mungkin semacam bazaar yang diadakan di halaman gereja atau mesjid ya?
Hari Minggu lalu (3 Oktober 2010), kami merasa bosan di rumah. Tadinya menurut prakiraan cuaca, akan turun hujan keras setelah tengah hari. Jadi kami tidak mau pergi jauh-jauh atau di udara terbuka. Pikir punya pikir, kebanyakan mikir sehingga akhirnya sampai tengah haripun kita tidak beranjak dari rumah. Sesudah makan siang, kok cuaca yang katanya akan turun hujan, sama sekali tidak menampakkan gejala apa-apa ya? Untung kemudian Gen teringat bahwa ada matsuri (festival) di Kuil Kitano, yang berada di dekat stasiun Ooizumi Gakuen, stasiun kami. Karena kami menemukan titik-titik tempat istirahat mikoshi (altar usung) yang diarak dari kuil mengelilingi daerah kami.
Jadilah kami berempat naik sepeda (tentu saja Kai aku bonceng) menuju arah stasiun dan langsung ke pelataran parkir Kuil Kitano. Kami diarahkan untuk memarkirkan sepeda kami di lapangan SD yang berada tepat di sebelah kuil, sehingga kami bisa masuk dari belakang. Waktu itu sekitar pukul 3 siang, dan sudah banyak orang di sana.
Kuil ini termasuk kecil. Kuil Kitano ini merupakan “cabang” Kuil Kitano di Kyoto, sebuah kuil untuk menghormati tokoh pendidikan Sugawara Michizane (845-903). Aku baru sadar bahwa ternyata kuil ini berarti sekali bagi masyarakat sekitar daerah kami. Daerah kami ini memang daerah yang “padat” dengan sekolah. Gakuen artinya “perguruan” , jadi lengkap sekali sekolah di daerah ini, mulai dari TK sampai SMP. Ada SD yang attach dengan Universitas Gakugei. Dan di sekeliling kami ada pula SMP-SMA terkenal yang attach dengan Universitas Waseda, universitas swasta terkenal di Tokyo yang masuk dalam 5 besar di Jepang.
Jadi banyak sekali murid-murid yang datang ke tempat ini untuk berdoa. Kami masuk dari jalan samping sehingga langsung menemukan tempat mencuci tangan dengan air yang keluar dari patung naga. Yah bisa dianggap sebagai air wudhu nya deh. Memang unsur bumi yang bisa membersihkan kotoran hanya air ya, sehingga air pasti dipakai oleh semua agama untuk membersihkan diri sekaligus membersihkan hati sebelum berdoa dan memohon sesuatu.
Seperti layaknya Jinja (Kuil Shinto) lainnya, kami membunyikan lonceng yang terpasang pada tali tambang, di depan altar. Ceritanya untuk memanggil “Tuhan” (saya pakai kata Tuhan untuk merefer kamisama yang sebetulnya bisa diterjemahkan sebagai dewa juga. Namun untuk agama Buddha dan Shinto rasanya kata dewa kurang tepat. Dewa lebih cocok untuk agama Hindu. Sekali lagi ini pengertian saya saja. ). Setelah bertepuk tangan dan menundukkan kepala, kami pergi dari depan altar tersebut. Tentu saja murid-murid yang datang ke sini berdoa dan berharap bantuan dalam belajar.
Begitu keluar dari pelataran kuil, di sepanjang jalan masuk yang dirimbuni pohon keyaki, di kiri kanannya penuh dengan kios/tenda yang menjual makanan khas matsuri (festival). Suasana seperti ini memang khas Jepang. Tapi memang makanan atau permainan yang khas ini cukup mahal menurut kami. Tapi tentu saja kami juga harus “membayar” suasana festival yang khas.
Apa saja makanan dan permainan di Matsuri semacam ini? Yang pasti ada gulali, gula pasir yang melalui putaran cepat dari alat khusus bisa menjadi seperti kapas. Untuk satu batang gulali itu sebetulnya hanya perlu satu-dua sendok gula loh…. tapi dijual seharga 500 yen. Tahu apa yang membuat gulali itu mahal? Kantongnya!!! Karena kantong plastik yang membungkus gulali itu bergambarkan karakter terkenal yang disukai anak-anak. Dan tentu saja target dari penjual adalah anak-anak…. Siapa orang tua yang tega mengabaikan rengekan anak tercinta? (Well kami tega hahahaha)
Choco Banana. Bentuknya manis sekali. Bentuk pisang yang dicelup dalam coklat cair dan diberi hiasan. Harganya 200 yen.. Hmmm tidak begitu mahal, tapi aku tidak begitu suka. selain tentu saja bisa buat sendiri, aku tidak suka karena pisang yang biasa dipakai di matsuri begini masih mentah/mengkal sehingga sepet alias kecut. Rasa pisang dikelabui dengan coklat yang manis (tapi sayang kalian penjual tak akan bisa mengelabui lidah Imelda hahaha)
Yakisoba atau mie goreng yang dimasak dengan saus kecap manisnya Jepang. Pokoknya lain deh rasanya dengan mie gorengnya Indonesia. Agak manis, warnanya kecoklatan dan biasanya diberi acar dari potongan jahe berwarna merah dan serbuk nori (ganggang laut). Kalau makan yakisoba begini aku selalu kangen dengan mie goreng Indonesia…hiks. Satu porsi yakisoba harganya 400 yen.. (mahalllll! aku bisa bikin sendiri dengan harga 100 yen pakai daging lagih, di sini ngga ada daging sama sekali hihihi). But, sekali lagi ini kan harga Matsuri 😀
Kemudian ada okonomiyaki (semacam martabak), apel yang dicelup gula, ada kebab dari turki (yang ini agak aneh, biasanya tidak ada), ada baby castela (mengingatkan pada kue cubit), dan mizuame. Mizuame ini sebetulnya sederhana sekali. Gula yang dicairkan kemudian dicampur dengan buah-buahan dan ditaruh dalam wafer. Kalau makan plikat-pliket deh (dan manis). Tidak disarankan untuk yang bermasalah dengan gigi atau memakai gigi palsu (melirik sapa dulu deh hehehe). Tapi bagi anak-anak matsuri = mitsuame. Dan baru kali ini Riku makan mizuame itu.
Karena sudah bukan musim panas, tidak ada yang menjual es serut, tapi sebagai gantinya ada Kachiwari, sebuah minuman khas pertandingan baseball. Sebetulnya sih menurutku itu sama saja dengan sirup yang diberi es batu dan dimasukkan ke dalam plastik dan diberi sedotan. Wah mister jepun, kalau ginian banyak di pinggir jalan di negaraku. Teh botol aja bisa masuk plastik begini dan dijual di jalanan. Jadi buatku kachiwari tidaklah istimewa. Tapi untuk Riku (dan anak-anak lain) warna-warni kachiwari ini memang menggoda!
Selain makanan dan minuman, ada stand permainan untuk anak-anak. Ada menembak hadiah, ada memancing hadiah (boneka karet yang dialirkan dalam air), ada pula memancing ikan mas kecil-kecil dengan saringan yang amat halus dan mudah robek. Kebanyakan permainan-permainan ini seharga 300 yen, kecuali jika mau membawa pulang si ikan tangkapan, maka harus membayar 500 yen. Sebetulnya kasihan juga pada ikan-ikan kecil itu, mereka dipermainkan anak-anak yang sadis dan begitu ditangkap, dikembalikan lagi untuk menghadapi pemerkosaan dari anak lain… malang benar nasibmu ikan…. TAPI matsuri tanpa memancing ikam mas kecil ini memang belum afdhol 😀
Selain tenda jualan makanan, minuman dan permainan, ada sebuah panggung tempat pada seniman berkumpul. Mereka membunyikan lagu dengan serulingnya, dan memainkan topeng barong (singa) . Orang Jepang mempunyai kepercayaan, jika topeng shishi (barong) ini “memakan” kepala anak-anak, maka anak-anak itu akan menjadi pintar. Cuma menurutku, selain mungkin kelak menjadi pintar, topeng ini berhasil membuat anak-anak takut dan menangis…. hahaha. Mana ada sih anak-anak tidak takut pada topeng mengerikan seperti itu? Ada beberapa anak yang sampai menangis berteriak-teriak ketakutan. Riku sih sudah besar sehingga dia biasa saja, tapi Kai… mana mau dia (untung dia tidak teriak-teriak hihihi)
Well, aku tidak menyangka bisa melewatkan waktu sore di hari minggu dengan kesenangan seperti ini (meskipun dompet mama tidak senang), tapi matsuri memang membuat hati senang. Aku suka pergi ke matsuri, suka suasananya. Tapi hari itu yang paling puas dan paling mahal belanjanya adalah Kai. Ya, dia dibelikan mamanya sebuah topeng mask Ultraman Taro seharga 800 yen. Muka gen lumayan cemberut tuh waktu tahu harganya 800 yen hihihi. Dan aku sendiri juga tahu harga aslinya topeng itu sebetulnya hanya 500 yen, karena aku pernah lihat di sebuah toko di Ikebukuro. Tapi yah itung-itung 300 yennya untuk transportasi sampai Ikebukuro aja deh. (Memang ongkos kereta dari stasiun kami sampai Ikebukuro harganya 230 yen hihihi).
Hanya 2 jam, termasuk naik sepeda p.p. tapi kami berempat bisa rileks sejenak hari Minggu itu. Dan hujan yang tadinya diperkirakan turun siang harinya baru turun tengah malam…..