Eco-kitchen

9 Jan

Sekarang jamannya Eco, bukan Ekonya mas Eko yang wong jawa, tapi eco yang merupakan singkatan ecology. Seperti yang sudah kutulis di postingan yang ini, kami mendapat potongan pajak yang cukup besar 75% karena membeli eco-mobil, mobil (baru) yang dianggap tidak atau kurang mengotori lingkungan. Sebetulnya agak rugi juga waktu itu, coba seandainya mobil lama sudah dipakai lebih dari 12tahun, maka kami malah akan mendapat “bonus” tambahan potongan yang banyak, karena berarti mengurangi jumlah mobil lama berseliweran di jalan-jalan yang sudah jelas akan mengotori lingkungan.

Di Jepang sekarang juga sedang giat-giatnya mengumpulkan eco-point dari perumahan. Jika membangun rumah dengan memakai solar panel (berarti mempunyai pembangkit listrik sendiri) atau jendela rangkap dua (mengurangi pemakaian heater dan AC), maka akan mendapat eco-point yang bisa dipakai sebagai potongan harga.

Lalu kenapa aku menulis judul Eco Kitchen? Sebetulnya masih rancu pengertian eco kicthen itu sendiri, apakah merefer pada dapur yang “ramah lingkungan” seperti pemakaian gas bukan minyak tanah, atau bahkan pemakaian listrik bukan gas, yang katanya lebih irit energi. Dengan alat pencuci piring, yang katanya juga lebih irit air, dengan alat pembuat kompos sendiri dll. Yang pasti aku belum tahu seberapa iritnya barang-barang ini, mungkin lebih irit dapur alam di desa-desa terpencil sana, daripada dapur di kota-kota besar. Tapi yang lebih mau aku tonjolkan dengan pemakaian eco-kitchen ini adalah HEMAT MAKANAN/Bahan Makanan.

Bapakku, P.L. Coutrier, boleh dikatakan seorang pemerhati lingkungan, meskipun dia lebih berkutat di masalah pertambangan dan minyak. Sering dia memberikan seminar-seminar baik di tingkat nasional maupun tingkat yang lebih kecil, kumpulan-kumpulan kekerabatan. Pada suatu kesempatan, setelah memberikan seminar, tibalah acara makan siang (atau malam…saya lupa). Dan sambil mengambil makanan, bapakku berkata, “Dengan kita mengambil makanan secukupnya saja, kita sudah ikut andil dalam menjaga lingkungan a.k.a environment.”

“Loh, kok bisa begitu pak?”
“Ya, dengan tidak menyisakan makanan, Anda mengurangi sampah. Dan dengan makan yang cukup dan tidak berlebihan memasak, Anda menjaga kebutuhan makan sekian banyak orang.  Jika petani tidak berlebihan memproduksi beras, maka kesuburan tanah bisa dipertahankan dst, dst. Selain hemat tentunya, banyak aspek yang sebetulnya jika dikaitkan bermuara ke perlindungan lingkungan. ”

Kemudian ibu-ibu yang hadir di situ berkata, “Aduh bapak Coutrier sih bicara begitu, lihat semua jadi mengurangi nasi dan makanan yang diambil….”
dan bapakku berkata, “Saya tidak mengatakan tidak boleh makan banyak. Ambil secukupnya. Kalau kurang, boleh tambah, tapi juga jangan sampai menimbulkan sampah dengan membuang makanan.”

Sampah makanan…. Aku tidak tahu bagaimana pendidikan di keluarga masing-masing, tapi dulu oleh mama, kami tidak boleh meninggalkan nasi sebutirpun di piring. Itu kupegang sampai datang ke Jepang, sampai menikah… tapi begitu punya anak, sulit rasanya untuk tidak membuang makanan sisa anak-anak (makanya badan melar gini kan… hihihi alasan). Tapi seberapapun sedikitnya aku sudah mengambil makanan untuk anak-anak, pasti ada sisanya. Dan aku biasanya makan sisa-sisa mereka….. Tapi ada batasnya, karena aku juga harus menjaga jarum timbangan badan supaya tidak naik terus kan….

Sulit sekali untuk tidak buang makanan di Jepang. Menurut data yang ada, setiap tahunnya Jepang membuang 22.000.ooo ton, wuih 22 juta ton itu setengahnya berasal dari dapur rumah tangga biasa. Padahal jumlah 22 juta ton itu sama dengan jumlah program bantuan pangan dunia selama 2 tahun! Jadi makanan yang dibuang orang Jepang satu tahun bisa dimakan selama 2 tahun  melalui program bantuan pangan sedunia! Dan sesungguh sepertiga dari bahan makanan di Jepang berasal dari impor…. bayangkan betapa mubazirnya… SEKEH-SEKEH kata mas trainer di blognya.

Memang di Jepang, kadaluwarsa atau batas konsumsi lewat satu detik saja, langsung masuk tempat sampah. (Mungkin Anda bingung soal kok batas konsumsi bisa per detik. Di konbini di Jepang jika menjual sandwich, onigiri atau bento, pasti tercantum kadaluwarsa sampai tanggal berapa, jam berapa lengkap dengan menitnya. Jadi kalau lewat, tidak boleh dijual lagi. Karenanya satu atau dua jam sebelum jam habis terkadang di beri tanda potongan harga, supaya terbeli… daripada dibuang kan?) .

OK kalau masalah kadaluwarsa begitu, masing-masing punya pandangannya sendiri, padahal sebetulnya kita musti jeli membaca kadaluwarsa di Jepang itu biasanya best before, lebih enak jika dimakan sebelum tanggal itu, bukan berarti makanan itu sesudah tanggal tercantum akan rusak. Aku sendiri tidak terlalu peduli soal kadaluwarsa, karena bisa ketahuan kok sebetulnya makanan itu masih baik atau tidak. Tentu saja faktor suhu, cara penyimpanan, musim juga sangat berpengaruh.

Nah yang paling tidak “etis” rasanya, makanan yang dibuang itu akibat kesalahan pencantuman. Misalnya onigiri berisi ikan tuna dari suatu negara, tapi ditulis kokusan (produk Jepang). Nah berarti terjadi kesalahan pencantuman atau labeling kan? Itu semua masuk tempat sampah! Pabrik tidak mau susah-susah ganti label, atau suruh pegawai membenarkan dengan spidol kek apa kek. Semua masuk tong sampah! Duuuh… Aku pernah baca di suatu display dalam kereta, bahwa setiap detik ada sekian ratus onigiri terbuang di tempat sampah, padahal di seluruh dunia masih banyak orang yang kelaparan. Menurut data, 1 menit di seluruh dunia 17 orang meninggal karena kelaparan, dan 12 di antaranya adalah anak-anak.

Aku tahu, aku juga akhirnya di sini sering buang makanan, karena berbagai alasan. Setiap kali aku membuang nasi sisa makanan anak-anak dalam plastik, aku berucap, “Maafkan saya…”. Dan kalian tahu kenapa aku menulis tentang ini…. karena kemarin aku terpaksa harus membuang nasi sekitar 1 piring karena telah kering, dan tidak bisa dimakan lagi. Tapi kemudian aku terpikir, aku kumpulkan saja deh, cuci dan jemur supaya benar-benar kering, lalu digoreng jadi rengginang. Sambil berkata dalam hati, “Makanya masak yang pas-pasan aja, atau kalau sisa langsung masuk cling warp ditaruh freezer!”. Akhir-akhir ini sering lupa sih masukin freezer, ngga sadar bahwa musim dingin cepat sekali membuat nasi menjadi kering. Sekarang aku sedang sibuk mencari kira-kira nasi kering sisa itu bisa diolah jadi apa lagi ya?

Sambil berharap Jepang lebih hati-hati soal makanan dan bahan makanan, aku berusaha juga jangan membuang makanan jika tidak perlu sekali. Mari ibu-ibu, kita juga mulai menggalakkan eko-kitchen yuuuuk.

Sebuah foto yang sudah lama ada dalam folderku, ngga tahan melihatnya. Tapi harus! Mengingatkanku bahwa banyak orang yang tidak bisa makan hari ini.

Data-data mengenai Jepang diambil dari homepage Morino Kumahachi, seorang chef yang juga penyanyi. Beliau menuliskan “Memikirkan Lingkungan dari Dapur”.

23 Replies to “Eco-kitchen

  1. Tulisan yang menarik…
    Ibu-ibu zaman dulu mengajarkan seperti mama nya Imel, Ibu saya juga marah kalau anaknya tak menghabiskan makanan, lebih baik ambil sedikit, nanti tambah lagi.
    Saat anak-anak kecil memang sulit, tapi lama kelamaan nanti mereka menyadari dan akan berusaha menghabiskan makanan atau hanya mengambil sedikit saja…saya mengalami ini Imel, dan ternyata kedua anakku setelah besar juga selalu menghabiskan makanan yang sudah diambil di piring nya..

    Dan kebiasaan ini berlanujt, kalau makan bareng, saya dan teman-teman lebih suka sharing, satu buat berdua, minta tambah piring bersih…walau kadang pelayan restoran “rada manyun” dikira ga punya kok ke restoran…kalau udah gitu pelayannya perlu dikasih tahu.

    Yang menyedihkan, terkadang justru orang yang tak punya (seperti si mbak baru di rumah) sulit sekali diajarkan hal seperti ini. Bahkan sempat saya bilang, kalau dia masak, bisa menghabiskan semua makanan tak masalah, tapi jangan buang nasi dan makanan berlebih. Makanya kalau di Jawa, ada istilah “blendrang”, makanan yang diolah kembali…walau ini berbahaya karena kolesterolnya meningkat.

  2. kami di rumah juga masih ada kebiasaan menyisakan makanan nih nechan. perlu usaha lebih keras untuk menguranginya… 🙂

    ada solusi untuk sisa makanan tersebut, yakni dengan membuangnya di tempat sampah khusus yang dirancang sedemikian rupa, sehingga pembusukannya akan berubah menjadi kompos. dengan demikian, sisa makanan tersebut teta memiliki manfaat.

  3. tulisan yang menarik. saya setuju dengan mbak imelda, utk memasak makanan secukupnya saja. Tapi tetap saja nyisa ya….jarang banget bisa masak dengan takaran yang pas.

  4. Sama mbak EM, saya juga diajarkan utk selalu habis kalau makan, tanpa sisa sebutir nasipun.
    Apalagi kalo saya sendiri yg mengambil makanan, HARUS habis, sebagai bentuk tanggung jawab saya akan apa yg telah saya ambil

    Sekarang kalau sampai membuang makanan rasanya kok sayang banget.. inget saudara-saudara yg membutuhkannya

    dan sama mbak EM, krn kebiasaan ini, badan saya sekarang sedikit tambun…kekekkeekke
    .-= Bro Neo´s last blog ..(New) Kuliner Jogja =-.

    • Sama.. aku juga punya piaran 🙂
      biar sisa makanan bisa dimakan sama ikan, atau anjing…
      hiks jadi inget si Hagy anjingku yang ilang…
      .-= Eka Situmorang-Sir´s last blog ..Kau. Aku. Di Ujung Senja Merah Itu. =-.

  5. Aku suka tulisan ini mbak.

    Dulu, aku pernah main ke rumah teman. Asisten RT-nya rajin, dia membuat krupuk dari sisa nasi yang nggak habis (bukan rengginang). Entah gimana caranya, aku lihat dia membuat semacam pasta sebelum akhirnya di potong tipis-tipis lalu dijemur dan digoreng ketika diperlukan.

    Well, tiap kali melihat makanan sisa, aku selalu ingat teman kos yang udah bertahun-tahun nggak ketemu, dia senang mengingatkan teman-teman yang lain untuk mengambil seperlunya dan menghabiskan makanan di atas piring. Jika ada yang nggak habis atau terbuang, sambil berseloroh dia akan bilang, “Hayooo mubazir temannya setan lho ya.”

    Cerah harimu mbak…
    Tabik!

  6. Riris Likes This !!
    Sewaktu tinggal bersama Orang tua (duluuu waktu masih sekolah) diajarkan hal yang sama. Dan mengalami apa yang ditulis oleh Ibu Edratna, kami sesekali makan sayur blendrang (sayur yang kemarin diangetin lagi)

    Begitu menikah, kami berusaha untuk memasak dengan pola : makanan sehari cukup untuk sehari. Kalaupun ada lebih, diusahakan habis untuk sarapan pagi.
    .-= Riris E´s last blog ..Mzm 121 : 8 =-.

  7. Setuju buanget tentang eco kitchen mba,,Ada temen ku,yg masih sering buang2 makanan kalo sisa..huhuhu

    Aku berusaha untuk ngga seperti itu,,Kalo sisa ya diangetin lagi buat sarapan atau makan siang sendiri,,hehehe.

    Gambar sebelah kanan ngilu liatnya,,hiks..hiks.. btw,itu mba mel ya yg sebelah kiri..?

  8. nasi kering bisa diolah menadi rengginang 😀
    enak loh mbak nanti digoreng kayak kerupuk 😀

    tulisan ini menyentuh sekali mbak, apalagi foto yg terakhir 🙁
    segitu banyaknya orang yg kelaparan dibelahan dunia sana tetapi aku bahkan masih banyak melihat teman2ku makan tapi gak di habiskan!!! miris banget 🙁
    .-= Ria´s last blog ..Liburan penghujung tahun =-.

  9. Waktu masih TK-SD dulu, Akong-Ama (kakek & nenek) suka nyinyir banget soal makanan. Nasi di piring mesti dihabisin (…jaman dulu cuma bisa makan tajin dgn bbrp butir beras udah bersyukur bgt..bla..bla…)

    Dulu melakukan ini mungkin bukan dengan semangat kesadaran menjaga lingkungan tapi lebih ke pola hidup hemat ya…
    .-= henny´s last blog ..….Apa Warna untuk ‘Sendu’? =-.

  10. Ah …
    INi sebuah anjuran yang sederhana namun mengena …

    “Mengambil Makanan Secukupnya …”
    Jika kurang … ya tinggal ditambah lagi …
    Jangan sampai tersisa … sekeh-sekeh … !!!

    Dan yes indeed …
    Tindakan kecil ini sesungguhnya sangat besar sekali maknanya

    Salam saya EM

  11. Sangat menginspirasi! Tentang onigiri yg dibuang gara2 salah pencantuman label, ohh menyedihkan sekali yaa…

    Aku sampe bikin jadwal menu seminggu supaya nggak belanja berlebihan, supaya nggak buang2 makanan. Tapi kadang nggak tahan godaan jajan di luar, kalau nggak taat pada jadwal, akhirnya ada juga yang terbuang 🙁

    Kalau nasi di rumah kering, biasanya aku jadikan bubur mbak.

    Iyaaaa aku sering masak bubur menado dari nasi-nasi sisa hihihi
    EM

  12. tapi dulu oleh mama, kami tidak boleh meninggalkan nasi sebutirpun di piring.<< Nah ini sama nih, saya juga diajar begitu, pokoknya kalo makan harus sampai ludes tanda, ga boleh ada sisa di piring.
    .-= G´s last blog ..Quiz & Kue Sus, Anyone? =-.

  13. penasaran bgt aku sama keluarga besar mbak imel, COURTIER niy hehehehe kayaknya hebat hebat dan punya sejarah panjang hehehe, bahss di blog gimana kira kira, bagus gak tuh ? hehehe

  14. kalau saya memang sejak dulu lebih baik kurang kemudian masak lagi daripada harus masak lebih yang nantinya akan sisa. sudah dari orang tua kayak gitu. maklum orang desa, masih percaya dengan beberapa takhayul jika membuang buang makanan
    .-= liudin´s last blog ..Bagaimana Membangun Brand Website Untuk Peluang Bisnis Pada Internet =-.

  15. Mbak… filosofi papanya mbak Em kayak bapakku…
    dulu pun ditambahi kata2 bahwa bapak kerja keras hingga pulang malam demi sebutir nasi. Jadi bisa kena marah kalo sampe gak habis…

    Hiks.. sedih liat gambar terakhir.. 🙁
    I wish I can do more for a better world…
    .-= Eka Situmorang-Sir´s last blog ..Kau. Aku. Di Ujung Senja Merah Itu. =-.

  16. Lapor Jendral Ikyu!
    Tugas saya mengobrak-abrik TE sudah selesai 🙂
    saya undur diri mau kegereja dulu,
    have a blessed Sunday mbak!
    May u have great wiken 😉
    .-= Eka Situmorang-Sir´s last blog ..Kau. Aku. Di Ujung Senja Merah Itu. =-.

  17. kadang aku berpikir, sebenarnya kalau kita semua bener2 mau berbagi, tak akan ada orang yg kelaparan di dunia ini. asal dibagi merata, dan orang tak memikirkan dirinya sendiri, semua pasti kebagian deh. apalagi kalo kita tahu banyak makanan yg dibuang… kan benernya bisa dikasih ke orang yg membutuhkan…
    .-= krismariana´s last blog ..Mau Nulis Seperti Apa di Blog? =-.

Comments are closed.