Menyetir di Jepang

31 Mei

Pertama kali saya datang ke Jepang, a long long time ago, saya mendapatkan lalulintas Jepang yang…. tenang dan dewasa (uhuy). Terbiasa dengan lalulintas di Jakarta, saya agak kaget dengan perbedaan yang mencolok. Mobil-mobil yang berseliweran itu kebanyakan berwarna putih/silver. Jarang sekali saya melihat mobil berwarna-warni merah, biru, hijau dll. Ya mungkin kebetulan saja, atau jaman itu orang-orangnya belum begitu “ekspresif”. Karena sekarang cukup banyak mobil berwarna dibanding tahun waktu saya datang pertama. Selain warna mobil, yang pasti beda dengan mobil di Indonesia adalah soal kaca jendela yang tidak rayban. Kalau di Jakarta sedapat mungkin pakai kaca film 70% lebih , tapi di sini hampir tidak bisa dijumpai yang sehitam di Jakarta. Kalaupun ada biasanya mobil itu putih, disupiri pemuda berkacamata hitam dan bertirai putih renda di dalamnya. Nah biasanya ini mobil milik geng yakuza. Katanya sih dulu ada nomor tertentu di plat nomornya, tapi waktu aku tanyakan pada gen dia tidak tahu.

Selain faktor fisik mobilnya, ada lagi yang lain, yaitu tidak terdengarnya klakson mobil. Mereka hanya mengklakson JIKA DARURAT. Tidak ada ketergesaan, salip-menyalip, dan yang pasti belok kanan harus setelah jalur lawan selesai lewat. Kecuali memang kosong atau diberi “beam” oleh pengemudi di jalur lawan. WAHHHH masalah “beam” atau lampu besar yang terbalik dengan di Jakarta ini benar-benar membuat saya pusing awalnya. Kalau di Indonesia orang memberikan lampu “beam” berarti… “SEENAKNYA AJE LU, JANGAN MASUK GUE MAU LEWAT!” , sedangkan di Jepang, “MONGGO JENG, kamu masuk duluan aku tunggu…..”. Sehingga awal-awal menyetir saya masih suka bengong kalo di beam, sampai berkali-kali dibeam  baru “ngeh” dan jalan…. tak lupa mengangkat tangan mengucapkan terima kasih.

Kondisi ini juga sama jika kita ingin masuk dalam antrian. Dan tak lupa setelah diberi jalan, biasanya kita menyalakan “lampu hazard” 2-3 kali sebagai isyarat “arigatou–terima kasih”. Pertama saya tidak mengerti kenapa setiap mendapat jalan, Gen, suamiku selalu menyalakan lampu hazard itu. Baru setelah dia jelaskan bahwa itu “etika berkendara” saya juga selalu berusaha menyalakan hazard untuk menyatakan terima kasih. Kecuali kalau terburu-buru, daripada bingung ya bisa beri klakson ringan satu kali. Lampu Hazard juga dipakai jika tiba-tiba mendadak terjadi kemacetan/antrian di highway supaya mobil di belakang kita “alert” dan berhati-hati sehingga tabrakan beruntun dapat terhindari.

Pejalan kaki diutamakan, jadi tidak ada tuh yang “bablas” Zebra Cross jika ada yang mau menyeberang. Mobil harus menunggu pejalan kaki. Sangat senang melihat anak-anak SD yang imut-imut menyeberang sambil mengangkat tangan kanannya. Pertama saya pikir kenapa harus angkat tangannya ya? Lalu teringat…. mereka kan masih pendek, kalau-kalau tidak terlihat jadi lebih baik angkat tangan. Selain itu di badan mereka pasti ada warna kuning sebagai alert. Entah di ranselnya atau topinya.

Pokoknya menyetir di Tokyo itu harus sabar, alon-alon penuh perhitungan. Karena kondisi jalan yang sempit, berkelok-kelok, apalagi dekat stasiun yang banyak pejalan kaki dan pengendara sepeda… wadaw deh. Belum lagi di jalan besar perasaan setiap  500 meter ada lampu merahnya… huh… Kalau sekali sudah terjebak lampu merah, biasanya berikutnya dan berikutnya juga pasti akan bertemu lampu merah hihihi. Apalagi kalau musti berada di belakang pengemudi amatir yang menggunakan tanda “hijau” yang disebut wakaba mark (melambangkan musim semi? wakaba= daun muda…. hihihi masih ijo gitu) dan pengemudi lansia yang mengunakan tanda “merah” yang disebut momiji mark (melambangkan musim gugur… udah mau gugur?….hiiiii).

(Lambang daun hijau dan daun merah ini ditempelkan pada mobil di tempat yang mudah terlihat depan belakang)

Yang sering menjadi pertanyaan adalah berlakukah SIM Internasional di Jepang? Hmmm saya sendiri tidak pernah pakai SIM Internasional, jadi lebih baik ditanyakan di Jakarta sebelum ke Jepang. Tapi menurut saya akan sulit sekali menyetir di Jepang tanpa tahu bacaan Kanji, atau paling sedikit lambang-lambang kanji yang dipakai dalam berlalu lintas. Memang ada car-navigation yang berbahasa Inggris, tapi mencari mobil dengan car-navi yang berbahasa Inggris di rental car juga cukup sulit.

Saya sendiri menukar SIM A Indonesia saya tidak lama setelah tinggal di Jepang (itu berarti miminal 15-16 tahun lalu…. ) . Waktu itu saya sempat tersandung di ujian praktek karena tidak memperhatikan kanji  徐行  dibaca JOUKO (aduuuh mas JOKO ini memang menyulitkanku saja) artinya harus berhenti dalam jarak 1 meter setelah menginjak rem atau kecepatan 10 km. Oleh petugas testing, saya disuruh ikut kursus lagi. No way lahhh, kursus mengendara di sini?  Minta ampun mahalnya… 300.000-500.000 yen. Nah solusinya, saya pergi ke Tempat Ujian yang lain di Samechu, Shinagawa. Di sana memang bagi pemegang SIM Indonesia bisa menukar tanpa test, cukup membawa paspor saja. (Mungkin karena di daerah ini banyak diplomat Indonesia). Jadi deh dalam sejam saya punya SIM Jepang, sampai sekarang memegang Gold Card (Pengendara teladan tanpa kesalahan)

Mas Joko yang menyandungku...
Mas Joko yang menyandungku

Tapi cara seperti saya itu tampaknya sudah tidak berlaku lagi. Jadi bagi yang mau menukar SIM Indonesia di Jepang harap mencari informasi yang lebih aktual seperti di sini.

Oh ya satu lagi tambahan, kalau mau menyetir di Tokyo, disarankan pakai mobil otomatis, jangan manual. Selain jalan banyak tanjakan (pegeeeeel deh) jalan juga sering macet, apalagi di jalan-jalan utama. Mobil kami sekarang adalah manual, sehingga saya harus siap mental dan jasmani jika mau nyetir ke dalam kota Tokyo atau ke Yokohama. Kalau Gen yang nyetir sih…. saya bobo hihihihi…

Sekarang saya malas nyetir karena sebelum pergi sudah harus bertengkar dengan supir baru yang cerewet ini
Sekarang saya malas nyetir karena sebelum pergi sudah harus bertengkar dengan supir baru yang cerewet ini

(Posting ini terinspirasi oleh tulisannya Mbak Tuti yang berjudul “Nyopir Ampe Mati“.  )

34 Replies to “Menyetir di Jepang

  1. Lalu lintas yang tenang dan dewasa ?? hehee …
    Kesimpulanku, orang (di) Jepang itu nyetirnya sabar-sabar. Sabar gak klakson-klakson setiap 2 menit, sabar juga ngeduluin pejalan kaki.
    Kalo di kita ??
    Haiyah, aku pernah tu dulu punya pengalaman waktu mau nyebrang jalan. Ada mobil ngebutnya ampun-ampun, tadinya aku gak liat. Dia ngotot mgak mau kasih aku jalan sampai ngancem dengan jalan lurus ke arahku. Baru berhenti setelah 10 cm lagi jarakku sama dia.

    Muzda´s last blog post..That’s What Friends Are For

  2. wakaba itu simbol untuk pengendara pemula kan? yang masih belajar nyetir dan kadang masih kagok kalau mau belok… kalau di jakarta sini mah nggak ada etika lagi, bu… saling sosor tanpa tau aturan main. yang paling penting; isi segera ruang kosong! makanya macet minta ampun…

    rasa-rasanya saya malah suka dengan transport keretaapi pakuan express pada jam-jam kerja dan jalur sepi, semisal Pakuan Jakarta Kota – Bogor yang berangkat sekitar jam tujuh pagi… rasanya nyaman dan luang, bisa pula sambil longok-longok keluar jendela, melihat mereka yang terjebak dalam padatnya lalu lintas…

  3. Yang muda dan yg sudah tua ada lambangnya.
    Kalau supir profesional yg nabrak pasti yg pakek lambang itu ngak salah, kan masih amatir, kalo yg tua, maklum sudah tua… Hehehe…

    Ozan´s last blog post..Sakit Gara-gara MU!

  4. Waah … Mbak Imel pemegang Gold Card ya? Saya jadi ngeper nih kalau jadi sopirnya Mbak … hihihi. Pakai mobil otomatic memang lebih nyaman, tapi kalau baru belajar, kayaknya sih lebih baik pakai mobil manual.

    Itu sopir barunya … lutjuu tjekalii …. Hallo Kai, masih ingat tante yang pernah ketemu di Jakarta nggak?

    Tuti Nonka´s last blog post..Nyopir Ampe Mati

  5. Waktu di Jepang (Fukuoka) pas di daerah yg nggak terlalu rame saya mau nyebrang nunggu dulu di pinggir jalan/perempatan. Saya pikir tinggal satu mobil lewat setelah itu mau nyebrang, paling lama juga beberapa detik. Eh nggak tahunya mobil itu berhenti dulu dan memberi kesempatan saya nyebrang. Entah kenapa saya yg jadi nggak enak seolah mengganggu kelancaran mereka …

    Oemar Bakrie´s last blog post..Sekolah Gratis ?

  6. Mba, predikat penggemudi teladannya masih berlaku jg ga kl mba nyetir lg dijakarta?….heheheh….pasti uda ga mau lagi ya nyetir disini….sopirnya gemesin ya

    exort´s last blog post..Ice cream

  7. denger cerita berlalu lintas di jepang membuat saya membayangkan, bagaimana ya kalo di indonesia seperti itu? mungkin ga yah? mampu ga yah? hmmmm……meragukan deh hehehe..
    informatif banget bun artikelnya..terimakasih atas pelajarannya..

    salam, ^_^

    *kai udh bisa bawa mobil yah?*

    Didien®´s last blog post..Pelajaran Berharga [Adzab & Karma]

  8. jangankan di jepang, di indonesia aja saya gak berani nyetir… belum bisa soalnya, hehehe…. jadi malu 🙂

    aih, jepang benar2 top deh, segalanya terperhatikan dg baik..
    *mikir mau pindah ke jepang*

    vizon´s last blog post..pintu itu terbuka..

  9. Kalau biasa nyetir di Jepang, lalu nyetir di Jakarta, wah bisa berabe. Yang paling sering pasti diklaksonin sama mobil di belakang karena kita berenti di lampu merah. Lho kok? Sebagian lampu merah di jakarta ada yang fleksibel. Jadi saat lalu lintas kosong, meski merah, ya jalan saja. Hal ini terjadi di pertigaan. Kalau perempatan sih biasanya merahnya beneran.

  10. Setojoooo…aku jg smpt terbengong2 sm kondisi lalulintas di Jepang…apa yang neechan tulis sama bgt sm yg ada di pikiranku hihihi disana gk ada aksi gontok2an…kecuali yah itu td DARURAT!

    Dan yah, meskipun Tokyo kota besar tp gk bising…huebatt yaaa….salut bgt deh hehehe budaya menyebrangnya juga patut diacungin jempol. Slama disana jd ikutan terbiasa, tp yg lucunya pas nunggu di shinggo, pdhl belom ijo..eh ada mas2 jepang dr arah berlawanan yg nyebrang duluan..emg jalanan sepi sih..cm dlm hati bilang “duh gmn sih org jepang, saya aja yg org asing bs sabar nunggu walopun kaki kedinginan” hehehhe dia lg buru2 kali yaahh hihiihi

    wita´s last blog post..Daruma, Si Bundar Pembawa Keberuntungan

  11. Wuah… jadi teringat pengalaman pribadi.

    Waktu tinggal di Hayama, Kanagawa-ken (1998-2004) saya coba ikut test SIM di Yokohama. Hampir tokcer… lulus pada ujian praktek kedua. Sebelum dapat SIM Jepang saya sudah beli mobil dan pake SIM internasional (yang sebenarnya tidak boleh, tapi saya aman2 saja).

    Pengalaman nyopir di Jepang buat saya sangat menyenangkan… jalannya mulus-mulus, apalagi di highway… wow, bisa tertidur saking enaknya. Selain itu aturan dan sopan santun lalulintas diikuti semua pengendara. Saya juga suka berkendara subuh saat masih sepi ke tempat-tempat baru seperti keliling Fuji-san… maklum Hayama letaknya di daerah pedesaan.. asyik gitu loh. Pertama kali masuk kota Tokyo ada rasa ngeri… kendaraan banyak sekali, jalannya terlalu banyak… tapi lama2 pintar juga nyari tempat-tempat baru(meski mobil saya tidak punya GPS). It’s a matter of how confident you are.

    Balik ke Indonesia…. keadaan berbalik 180 derajat. Sampai sekarang (sudah 5 tahun) saya masih selalu ngomel kalau lagi nyetir. Bahkan polisi lalu lintas pun pernah saya marahi.. hehe… Makanya, kalau di dalam kota saya selalu nyuruh isteri yang nyetir. Soalnya dia tidak pernah ngomel meski lalu lintas tidak karuan.

    Hanya satu yang menyenangkan nyopir di tanah air… perjalanan jarak jauh di pedalaman Kalimantan, tidak pernah ada lampu merah dan tidak ada kemacetan. That’s really great!

  12. jadi…. biarpun macet, kalo nyetir di Jepang enggak se ‘stress’ di sini ya, krn ‘adab lalu lintas’ nya dijalankan.

    kalo udah bosen ama supir baru yang suka berantem itu, kirim ke sini aja dah… aku mau, hehe

  13. lucu banget supir yg itu tuh…gajinya berapa ya mbak sebulan 😀

    disini untuk urusan nyetir…wedew repotnya minta ampun apalagi untuk nyetir di camp??? dan mobil kantor..hehehehe harus ada yg namanya driving permit dan itu mesti tes lagi walaupun sudha punya SIM dari kantor pilisi.

    yang paling sebel adalah tanda2 yang banyak banget berseliweran…dan speeding check…wakakakaka….apun mbak terlalu banyak aturan malah bikin repot

    Ria´s last blog post..Ria vs Kerjaan

  14. Pingback: dcamz » Blog Archive » IBSN : Jalanan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *