Pelayanan di RS

11 Apr

Aku mau tulis pendek saja deh hari ini. Tadi pagi aku baca sebuah survey tentang pelayanan di RS. Sama seperti di Indonesia, waktu menunggu di RS juga lama, apalagi jika RS yang besar. Makanya paling enak kalau pergi ke klinik spesialis saja. Selama di sini aku paling kagum dengan kecepatan pelayanan klinik di dekat universitas Waseda yang kutulis di sini dan klinik THT dekat rumah. Kalau klinik THT sih emang ngga pakai stetoskop jadi bisa ada beberapa pasien dalam satu ruangan jadi cepat pelayanannya. Juga klinik gigi dekat rumah sudah pasti kalau janji jam 5, pasti masuk diperiksa jam 5. Ini karena dokternya sudah bisa perkirakaan satu pasien 30 menit.

TAPI kalau pergi ke RS Umum, seperti waktu aku pergi konsultasi di dokter psikiater untuk panic syndromku, atau pemeriksaan kehamilan di dua RS langganan, PASTI nunggu lama. Meskipun sudah ada ancer-ancer masuknya jam berapa. Sama deh di Indonesia juga pasti mesti menunggu lama. Nah survey tadi pagi itu aku baca tentang HARAPAN pasien terhadap RS untuk menyediakan apa di RS (mungkin untuk mengisi waktu menunggu itu). Harapan-harapan itu sbb:

1. Menyediakan Wifi gratis
2. Menyediakan lebih banyak lagi bukuyang sedang populer
3. Menyediakan dokter atau suster tetap untuk konsultasi
4. Menyediakan lembaran informasi mengenai penyakit-penyakit
5.Menyediakan tayangan video mengenai penyakit
6. Menyediakan kursi atau sofa untuk mengistirahatkan badan
7. Menyediakan kursi pijat
8. Menyediakan pelayanan pijat badan
9. Menyediakan konsultasi psikolog di ruang tunggu
10. Menyediakan permainan game atau kartu
11. Menyediakan pelayanan pemberitahuan giliran lewat email
12. Menyediakan display elektronik
13. Drink Bar (macam-macam minuman gratis)
14. Memasang musik yang menyejukkan hati

Nah, aku sendiri langsung memilih nomor 11. Karena berarti kita tidak perlu berada di ruang tunggu itu, bisa keluyuran dulu sampai menerima email baru ke ruang tunggu. Aku pernah menggunakan service seperti ini di restoran Museum Fujiko (Doraemon) di Kawasaki. Mereka memberitahukan 10 menit sebelum giliran kita masuk. Maklum antrian yang mau masuk di situ banyak, dan waktu itu aku perkiraannya harus menunggu 2 jam sebelum dapat tempat. Restorannya cuma satu sih. Nah seandainya ada layanan pemberitahuan giliran lewat email itu kan, kita sebagai pasien juga bisa tenang pergi ke WC atau makan atau ngopi atau jalan-jalan atau dsb dsb deh…

Memang survey ini hanya diadakan di situ goo yang diikuti terbatas, tapi begitu aku melihat jawaban, ternyata pilihanku itu memang yang terbanyak dipilih sebanyak 23,5 % disusul dengan no 6 yang dipilih 11% dari pemilih. Soalnya kalau nomor 1 (Wifi) kebanyakan orang Jepang bisa internetan dengan langganannya sendiri tanpa perlu wifi 😀

Kalau kamu jadi pasien, apa harapanmu? atau pilih nomor berapa?

 

**********************************************************************************************************

Oh ya, hanya mau mengingatkan bahwa tanggal 1 April kemarin Blog TE ini berulang tahun ke 5 dan aku mengadakan giveaway yang bisa dibaca di sini detilnya. Kalau sempat ikut ya, masih lama sih penutupannya sampai tanggal 22 April … Terima kasih sebelumnya!

Budak Gadget

26 Sep

Wah sadis bener ya sebutan itu. Tapi kadang kala aku ingin sekali nyeletuk itu jika melihat foto dan berita seperti ini :

orang-orang yang antri di Ginza untuk membeli iPh*ne5, sudah sejak seminggu sebelum dirilis ….. gambar diambil dari http://weekly.ascii.jp/elem/000/000/108/108945/

Bayangkan orang-orang ini antri iPhone 5 di gerai Ginza sejak seminggu sebelumnya. Sampai ada yang bawa komputer lengkap dengan modem, atau bahkan ada yang bawa peralatan masak untuk berkemah! Segitunya deh. iPhone5 itu dirilis hari Jumat tanggal 21 September lalu, mulai pukul 8 pagi. Jadi aku bisa lihat tuh di TV panjangnya antrian yang mencapai 650-an orang (lebih mungkin). Duh segitunya! Ampun deh. Tepat ngga kalau aku katakan seakan manusia diperbudak barang?

Memang sih orang Jepang akan berbuat seperti ini juga jika ada produk-produk baru yang akan dirilis. Semua ingin menjadi yang pertama mendapatkannya sampai rela bersusah payah begitu. Tapi dari sisi lain, aku juga bisa melihat passion mereka, loyalitas mereka terhadap sesuatu. Ya, ada sisi buruk tapi ada sisi baiknya juga.

Mungkin kita tidak sampai diperbudak gadget, tapi kecanduan atau ‘gila’ gadget. Ada seorang temanku yang punya 5 buah handphone, dengan 2 BB, iPhone,dan 2 HP biasa…total 5 biji untuk dia sendiri (Dia baca ngga ya hehehe). Mungkin dia juga tidak marah kalau dikatakan “iiih kamu gila gadget, maniak banget sih!”, karena memang begitulah dia. Kalau dengan gadget dia bisa happy ya bagus kan? 😉 Untungnya dia tidak mengeluarkan semua HPnya ke atas meja waktu bertemu denganku… bisa-bisa aku tilep deh satu hehehe. Rasanya akan mengganggu juga jika waktu bertemu dengan teman, janjian di cafe, lalu misalnya dia mengeluarkan BB, iPhone, Tablet, dan iPadnya sekaligus….. oi oi… mau jualan bu? (Believe it or not, orang seperti ini ada). Cukup satu yang penting saja dong 😀 😀 😀

Meskipun aku tidak menyangkal bahwa gadget itu memang diperlukan, tapi menurutku jangan sampai kita dikuasai gadget. Susah loh keluar dari cengkeramannya. Contohnya si Kai. Selama di Jakarta dia diberi pinjaman Tab oleh omnya, karena sepupunya yang lain memakai Tab punya orangtuanya. Sampai di Tokyo dia sempat minta “Mama kenapa sih ngga beli iPad?”  dan aku jelaskan “Loh kan mama sudah bilang sejak di Jakarta, mama tidak akan beli iPad atau Tab, apalagi lihat kalian begitu kecanduan angry bird… oh no way!”. Padahal sebetulnya Gen sempat menawarkan membelikanku iPad sbelum ke Indonesia. Untung tidak jadi dan tidak akan! Dan aku miris melihat semakin banyak anak-anak yang tergila-gila dengan gadget, kalau bisa begitu lahir sudah dibelikan gadget oleh orang tuanya. Dan ini pemandangan khas di Indonesia loh. Di Jepang aku jarang sekali, hampir tidak pernah, melihat anak-anak (TK/SD) memegang HP apalagi Tab/iPad.

Jika sebuah kamera digital jika termasuk dalam kategori gadget, maka sudah pasti aku tergantung pada gadget. Karena aku suka memotret dan hampir selalu membawa kamera digital dalam tasku. Dari sejak sebelum Riku lahir (sekitar 10 tahun yang lalu) kami berdua memilih Canon PowerShot G2 sebagai kamera keluarga. Ketika G2 rusak, ganti dengan ‘kakak’nya G6, lalu waktu Kai lahir kami ganti lagi dengan G9, sampai dengan ke Jakarta Agustus lalu. Tapi akhirnya kami harus berpisah dengan G9 yang kami cintai itu, karena dia mati begitu saja menjelang Gen datang menyusul kami. Karena masih ada DSLR, kupikir aku akan bertahan tanpa kamera kecil. Tapi akhirnya Gen mengatakan, “Ayo beli saja Canon. Sejak dulu kan kita suka Canon, dan memang sekarang sudah ada yang terbaru. Tapi kita jangan beli yang terbaru, beli saja yang G12, karena itu yang terakhir sebelum namanya berubah (menjadi G1X)”… Ah kami berdua memang sentimentil soal beginian. Ciri khas capricorn, kalau sudah pilih satu, pasti itu terussss 😀

Yang lama dan yang baru….

Jadilah kami membeli Canon PowerShot G12 di Jakarta, dengan harga murah! Jauuuuh lebih murah daripada beli di Jepang. Yatta! Dan kami masih sempat pakai untuk merekam acara jalan-jalan kami di Kota Tua dan Museum Fatahilah. Dan ternyata tidak kecewa deh membeli kamera ini. Karena bisa meredam goncangan sehingga dalam kondisi bergerakpun bisa memotret (dan membuat video) dengan stabil.

Ada lagi satu gadget milikku yang terasa sekali kehadirannya terutama setelah aku kembali ke Jepang. Ya, namanya memang bisa menjadi singkatan dari Bau Badan sih, dan dimusuhi oleh teman bloggerku yang ini, mungkin karena imagenya yang jelek di matanya.

Jadi selama di Jakarta aku memakai BB, yang sudah berusia 2 tahun, tapi masih gres. Karena aku cuma pakai selama 1 bulan dalam setahun (ditambah kemarin jadi 2 bulan). Ya, BB itu tidak bisa dipakai di Jepang. Tentu saja karena aku tidak mau membayar roaming. TAPI, ternyata, jika network telepon dimatikan dan aku punya Wifi di rumah, aku masih bisa pakai untuk BBM dan email saja! Padahal di rumahku di Tokyo tidak ada Wifi. TAPI setting wifi itu ternyata mudah ya…. Aku tinggal membeli ruter dan… voila… jalanlah semua laptop dan gadget yang memakai wifi. Jadi deh aku bisa ber BB ria di Tokyo juga. Dan aku merasa bermanfaat sekali, karena papa dan kedua adikku di Jakarta hanya bisa respon cepat melalui BB. Manfaat pertama langsung terasa  waktu tanggal 1 September  pagi aku terbangun dan mendapatkan BBM bahwa papa masuk RS 🙁 Sejak itu hampir setiap hari aku menanyakan kabar papa, atau mendengar curhat papa yang sering kesepian di malam hari. Di waktu-waktu seperti itu rasanya ingin terbang ke Jakarta menemani dia ….

So, kesimpulannya gadget memang penting dan jika kita memang tahu memakainya bisa menjadi alat yang sangat berguna. Asalkan jangan kita diperbudaknya sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Gadget apa yang sedang kamu inginkan?Aku sudah mencoret iPad dan Tab dari daftar keinginanku karena rasanya aku tidak perlu, sekarang tinggal iPhone hanya karena aku tertarik pada fungsi kameranya 😀 So, aku sedang menunggu ada yang berbaik hati membelikan iPhone5 (sambil melirik Gen….:D ) tapi tanpa antri! hehehe