Ya, hari ke 5 saya kasih judul healing getaway, karena saya memang getaway, melarikan diri ke Bandung. Selain tujuan untuk “memanjakan diri sendiri”, saya sebenarnya ingin bertemu seseorang, yang ternyata mendadak tidak bisa ditemui. Beliau adalah Romo Pujasumarta, uskup Bandung, yang saya kenal lewat internet. Tapi saya terus saja menjalankan rencana saja meskipun rencana tidak terlaksana.
Saya tahu dari penguasanya Bandung si DM, lalu Ibu Enny, bahwa untuk ke Bandung bisa naik travel. Dulu, kalau ke Bandung saya selalu naik kereta Parahyangan. Tapi karena kelihatannya travel ini mempunyai pamor yang cukup cemerlang di kalangan Blogger, saya pikir saya mau coba naik travel saja. Apa sih travel itu?
Saya ingat dulu ada transportasi darat menuju Bandung ada mobil 4848. Nah, gantinya si 4848 inilah yang disebut dengan travel. Memang ada banyak nama travel itu seperti Xtrans, Cipaganti travel dll. Sejauh saya mencari di Internet, Cipaganti Travel ini yang rutenya paling dekat rumah saya yaitu Pondok Indah -HangLekir – Senayan City -BTC Bandung. Biasanya travel ini berangkat sejam sekali (tergantung dari trayeknya).
Kamis, 19 Februari. Saya pesan travel untuk jam 11:30. Tapi karena Kai tidak tidur-tidur, saya terpaksa merubah jam keberangkatan menjadi 12:30. Saya naik dari Pondok Indah Arteri, persis jam 12:30. Karena saya penumpang yang pertama mendaftar saya mendapat kursi persis di belakang supir. Enaknya jarak kaki menjadi lebih luas dibanding posisi kursi lain. Dan waktu menaruh tas di bagian bagasi, saya bilang “Hati-hati pak ada komputernya”. Si Supir jadi keder, jadi menyaran saya untuk menaruhnya di tempat di bawah kaki saja.
Hmm saya kurang yakin apa jenis mobil yang saya tumpangi itu. Mungkin sejenis L300. Tapi yang pasti memang lebih jelek dari mobil yang saya lihat juga menyusuri jalan tol dari travel yang sama. Wah sial deh saya. Dan, saya suka mabok darat jika mobilnya bergoncang keras, atau bau solar/minyak tanah, dan jika terlalu mendadak berubah jalur alias ngebut ugal-ugalan. Lengkap deh penderitaan saya, karena ternyata mobil yang saya tumpangi begitu. Ada 4 orang lain yang menggunakan travel ini, dan salah satu ibu sering berteriak, “Astagfirullah…. pak hati-hati…”. Saya yakin sih di Pak supir tidak dengar, tapi secara psikologis saya pikir lebih baik saya tidak ikut memperingatkan. Karena saya pikir pak supir itu akan lebih marah dan lebih ugal-ugalan jika diperingati. Itu sifat manusia…. offence. Jadi sepanjang perjalanan saya usahakan tidur atau memejamkan mata, sambil pegangan terus. Hmmm tidak ada sabuk pengaman sih di bagian penumpang. Kalau di Jepang, ini sudah melanggar aturan lalu lintas. Karena sekarang semua penumpang, bahkan penumpang taxi sekalipun harus mengenakan sabuk pengaman. Sambil meram begitu, saya teringat Bu Enny, dan ingin tahu juga bagaimana ibu apakah tidak pernah mengalami seperti saya ini…. mabok darat.
Mobil berhenti di tengah perjalanan, di semacam parking area untuk mengisi solar, dan istirahat serta memberikan kesempatan untuk yang mau ke WC. Saya tidak tahu apa namanya, karena tidak tercantum di mana-mana. Saya pikir perjalanan sudah dekat, ternyata masih jauh. Akhirnya jam 3 lebih saya sampai di BTC (Bandung Trade Center). Lebih dari perkiraan waktu perjalanan yang 2 -2,5 jam. Tapi untunglah, saya masih utuh, belum pecah terburai hihihi.
Tidak ada orang yang tahu detil rencana saya ke Bandung hari ini. Hanya orang yang membaca tulisan saya di dinding FB Pak Oemar Bakri saja, yang mengetahui bahwa saya memang pernah menanyakan pada beliau apa bisa bertemu sekitar tanggal 19/20. Pak Oemar bahkan sempat menanyakan detil rencana saya apa saja, karena beliau sibuk harus menemani professor. Jam 11 pagi, dapat sms,”Imelda posisi di mana?”. “hehehe, masih di Jakarta pak, mungkin paling cepat baru jam 3 siang sampai”. Saya memang tidak mempunyai rencana yang tersusun rapih untuk perjalanan ini, karena memang saya mau “tanpa rencana”… unplanned. Saya capek dengan membuat rencana seperti orang Jepang. Toh hari ini saya mau “memanjakan diri saya sendiri”.
Mungkin orang Indonesia berpikiran aneh untuk seorang wanita bepergian sendiri, menginap sendiri tanpa tujuan, dan rencananya tidak diketahui siapapun. Memang saya tahu itu berbahaya, tapi khusus satu hari itu saja, saya ingin tidak ada seorang pun yang mengatur hidup saya, tidak juga saya. Nah loh!(Saya yakin sih Tuhan akan melindungi saya selama perjalanan)
Jadi begitu saya tiba di BTC, saya ngiderin dalamnya BTC. Pikir saya kalau ada Starbuck, saya mau ngopi dulu. Ya ilah, BTC itu seperti ITC Permata Hijau aja kecilnya, dan yang pasti tempat nyaman yang ada hanyalah Kentucky Fried Chicken dan “JK apa sih tuh lupa”, gerai toko kue dengan lambang berwarna pink. Jadi sesudah saya ke WC, saya masuk Kentucky meskipun tidak lapar. Saya pernah dengar mas trainer bilang, Colonel Yakiniku enak. Jadi saya coba pesan itu, dan membeli ayam goreng+kentang untuk persiapan makan malam atau nyemil jika lapar di hotel (saya tidak yakin berani ke restoran hotel sendirian, paling-paling room service). So, bagaimana saranya si Colonel Yakiniku itu? Ngga dua kali deh…aneh rasanya! (sorry ya mas trainer)
Lima menit selesai (suatu kebiasaan yang tidak pantas ditiru! tapi saya –sebagai orang Jepang– memang biasa makannya cepat apalagi kalau sendiri). Saya ngederin lagi tuh toko-toko, dan sama sekali tidak tertarik untuk membeli apa-apa. Tapi teringat, kalau bisa beli minuman karena pasti di mini bar hotel lebih mahal. Sesudah membeli minuman, saya tanya pada seorang “entah-polisi-entah-tentara” yang menjaga di daerah situ, “Pak, tempat nyari taxi di mana?”
Dia langsung mengatakan arahnya tapi dia bilang, taxi yang ada itu tidak ber-argo. Jadi kalau mau pake argo, harus telepon. Karena Bandung sudah dikotak-kotakkan daerah penguasaan taxinya. Dan di BTC itu dikuasai taxi yang dari AU. Nah loh, bagaimana saya bisa menawar ongkos taxi, kalau saya tidak tahu “harga pasar” nya. Tadinya sempat mau saya tanyakan ke DM, tapi berarti dia akan tahu saya datang ke Bandung dan menginap di hotel itu kan?. Waktu saya tanyakan pada si tentara itu dari situ ke hotel yang saya tuju berapa, dia juga tidak tahu. “Palei? wah ngga tahu bu!”.
Ya sudah terpaksa saya harus menawar sendiri. Saya pergi ke tempat antrian taxi, dan langsung tanya,
“Ke Valley berapa?”
“Oh …palei…palei… bisa bu.”
“Iya berapa?”
“60 ribu aja”
“Mahal banget?”
“Kan di atas bu… naik”
“Iya di Dago atas, tapi kan ngga jauh-jauh banget” lalu temennya bilang, eh si ibu ini tahu loh
” ya sudah 30 ribu ya? (saya ikutin taktiknya mama, menawar setengah harga…keder juga sih tadinya hihihi)
“Ngga bisa bu…” (Ahh kasian bapak-bapak ini, sudahlah yang pas saja supaya tidak ada kembalian juga)
“Ya sudah 50”
So, meluncurlah taxi yang bentuknya sudah tidak jelas lagi ke arah hotel yang saya tuju. Dalam hati pikir, yaah ke hotel bagus naik taxi bobrok hihihi. Tapiiiiiiii , ternyata hotel itu memang jauh naik berkelok-kelok ke atas bukit. JAUH deh pokoknya. Saya sampai pikir 50 ribu tuh memadai ngga ya? Jadi kasian saya.
Ya, saya menginap di “The Valley”. Sebuah hotel di atas bukit, yang menawarkan panorama indah kota Bandung terutama di malam hari. Dan yang mengetahui saya menginap di Bandung dan di hotel ini, dan Aston keesokan harinya hanyalah dik WITA. Dia bekerja di travel biro indo.com, bagian copywriter. Temannya Alma, yang mau mendengarkan “cerewet”nya saya memilih-milih hotel. Awalnya saya memilih hotel lain, sudah konfirm, baru saya tahu dari pembicaraan dengan teman SMP, Shinta Ambarsari, bahwa ada restoran enak dan bagus namanya the Valley. Dan waktu saya cari di internet, loh kok, ada hotelnya juga. Hmmm kalau tidak mahal-mahal banget ingin juga menginap di sana. Jadi deh, saya ubah ke The Valley ini.
Taxi memasuki sebuah bangunan apik yang merupakan lobby dan Cafe. Saya langsung dipersilakan duduk untuk mengurus check in. Karena pakai voucher hotel, jadi gampang saja prosesnya (untung aku tidak lupa membawa KTP indonesia). Dibantu oleh bell boynya, melewati beragam tangga, akhirnya saya sampai di kamar 301, yang terletak beberepa level di bawah lobbynya. Ternyata kama-kamar memang dibangun berdasarkan kontur lereng, sehingga menyebabkan lobby letaknya di atas kamar-kamar. Begitu kamar dibuka, saya mendapati interior yang manis dari kayu hitam. Hmmm lumayan. Dan begitu bell boynya pergi, saya langsung mengambil foto. Kebiasaan saya, segala macam memang difoto. Kalau bisa setiap sudut, dari WC nya sampai pernik-pernik kecil yang unik.. Sayangnya di hotel itu, tidak banyak pernak-perniknya, sehingga saya tidak begitu banyak memotret.
Memang begitu saya membuka pintu ke arah balkon, menjumpai pemandangan seluruh kota Bandung. Sayangnya, saya juga hars melihat pembangunan sebuah apartement mewah di sisi kiri, dikejauhan yang sedang di kerjakan. Hmmm, katanya daerah ini adalah resapan air untuk Bandung. Kok dibangun hotel, villas, dan apartemen menjulang seperti itu. Ah, aku tidak mengerti lah, yang aku tahu, aku mau enjoy stay saya di the Valley.
So, saya melewatkan satu malam di the Valley sendirian, hanya ditemani TV, yang sengaja saya nyalakan supaya tidak “lonely”, sambil leyeh-leyeh dan membaca buku. Oh ya, satu yang saya kecewa dengan hotel The Valley ini, yaitu … tidak adanya WiFi/sambungan internet dalam kamar. Jadi kalau saya mau memakai internet, saya harus “mendaki” tebing lagi, ke Lobby atau Cafe sebelah lobby. Duh, malas juga kan…. Jadi malamnya sekitar jam 7 malam saya pergi ke Cafe yang sepi pengunjung, dan melihat emails, dan blog saya selama kurang lebih 1 jam saja. Malas juga berada sendirian di Cafe, meskipun saya memang bisa menikmati pemandangan malam hari. Dan di luar banyak mobil dan orang-orang berdatangan untuk makan di Bistro Valley, yang terletak di sebelah Cafe ini. Nah, di Bistro dengan dek teras inilah yang memang menjadi “primadona” hotel ini. Sayangnya, saya tidak mempunyai keberanian (no nyali deh) untuk makan sendirian di Bistro, dengan kemungkinan “digoda” orang (huh merasa kecakepan aja sih kamu mel…hihihi).
Jadi saya kembali ke kamar, dan menghabiskan malam “panjang” di sana, sambil mengunyah ayam kentucky. Aku menikmati sekali my healing-getaway, tanpa tangisan Kai, meskipun merasa kangen dikeloni (eh salah…. mengeloni) Riku dan Kai. Oh ya dua lagi yang merupakan kekurangan hotel ini, yaitu…percakapan dan suara TV dari kamar sebelah terdengar jelas! (untung tidak terdengar ah-uh-ah-uh yang menggoda iman hihihi), serta, setiap saya mengganti posisi tidur, tempat tidur mengeluarkan suara yang lumayan keras. Awalnya saya sempat kaget sendiri sih… masak saya sedemikian berat sehingga setiap bergoyang dikit, tempat tidurnya bunyi? ternyata emang salah si tempat tidur deh yang suka bunyi-bunyi hahaha.