Kastil dan Taman Bunga Shibazakura

29 Apr

Menjelang bulan Mei di Jepang, pasti banyak terlihat singkatan GW, yaitu Golden Week. Minggu emas, karena ada hari libur beruntun yaitu tgl 29 April, 3 Mei, 4 Mei dan 5 Mei. Nah kadang bisa berurut dengan akhir pekan sehingga membuat hari libur lebih dari 4 hari. Tapi tahun ini sayangnya susunan tanggalnya tidak “manis” , yaitu hari ini tanggal 29 April “nyelip” di tengah hari kerja sehingga otomatis GW baru terasa mulai 3-4-5-6 Mei.

Sambil beberes rumah akhirnya aku punya waktu untuk menulis lagi. Kali ini aku tulis kejadian yang paling baru dulu ya, nanti kalau ada waktu lagi baru tulis yang lain. Aku ingin menulis tentang perjalanan kami hari Minggu yang lalu Tanggal 27 April 2014.

Sebetulnya kami tepatnya aku dan Gen butuh istirahat, karena hari minggu tanggal 20 pun dia bekerja, juga sehari sebelumnya tanggal 26 April dia bekerja setengah hari. Aku pun cuma punya istirahat waktu weekend, tapi pada kenyataannya ada acara gereja dan lain-lain sehingga tidak bisa istirahat. Hari Minggu tanggal 27 kemarin itupun aku masih mengantarkan nasi ke gereja Kichijouji untuk acara Sekolah Minggu. Saat itu aku mendapat pesan singkat dari Gen yang sedang mencari kamera dan buku 100Castlenya Kai. Jadi aku cepat-cepat naik bus pulang ke rumah.

Tujuan kami hari itu ke daerah Gunma prefektur, tepatnya di Ota-shi. Di sana ada Kanayama Castle yang termasuk dalam 100 Kastil Terkenal Jepang. Perjalanan tidak macet sehingga kami bisa sampai di kompleks kastil itu pukul 1 siang. Sebetulnya bisa lebih cepat tapi kami melewatkan waktu 1 jam di sebuah toko sepatu di tengah jalan. Sepatunya Kai sudah kekecilan, sedangkan sepatu Riku sudah bolong-bolong. Riku sih mengatakan “Ngga usah masih bisa dipakai kok”, tapi kok tidak tega melihatnya. Apalagi tgl 31 Mei nanti akan ada pertandingan olahraga, sehingga lebih baik memakai sepatu baru sampai terbiasa pada hari H nya, daripada tiba-tiba ganti baru persis sebelum pertandingan. Jadi deh kami berbelanja sepatu dulu.

Sebelum kami mulai memasuki rute menuju kastil, kami mendapatkan penjelasan dari volunteer di sana. Dikatakan bahwa sebetulnya di daerah Kanto (Sekitar Tokyo) sejak dulu tidak ada kastil yang terletak di atas lapisan bebatuan. Tapi khusus untuk Kanayama ini sudah sejak pintu masuknya terdiri dari lapisan batu, termasuk parit yang mengelabui jalan (sepertinya jalan terus menuju kastil padahal itu jalan kembali ke awal mula) atau jembatan kayu yang biasanya akan diruntuhkan jika musuh menyerang. Pokoknya berlapis-lapis pertahahan termasuk jalan mendaki (yang sudah diberi tangga sekarang) untuk mencapai kastil utama. Dan  keistimewaan lainnya, kastil ini mempunyai dua kolam batu yang terus berisi air, sehingga mereka tidak akan kekeringan meskipun dikepung musuh. Memang di kompleks ini tidak ada lagi 天守閣 atau bangunan kastilnya, karena masih digali dan direkonstruksi kembali.

Kanayama Castle. Kiri atas parit mengelabui musuh. Kanan atas jembatan kayu. Kiri bawah kolam air dan kanan bawah sisa-sisa jalan masuk dan bangunan

Kami mengambil cap kastil di tempat istirahat yang terletak di atas bukit, sehingga kami dapat melihat pemandangan kota di bawahnya. Yang menarik Kai menemukan sebuah tempat yang ternyata itu menunjukkan arah pusat kota. Jadi seperti penunjuk kiblat.

Kanayama Castle. Kiri atas Pohon Keyaki berusia 800 tahun. Kanan atas Nitta Jinja. Kiri bawah ‘kiblat’ ke arah pusat kota. Kanan bawah pemandangan kota di bawah

Kami berjalan kembali ke arah parkir dan menuju tempat tujuan kedua, yaitu Minowa Castle yang terletak 1 jam dari Kanayama. Saat itu sudah pukul 3 siang dan kami mulai lapar. Tapi kalau kami makan di restoran, takutnya tidak keburu mendapatkan cap kastil Minowa yang terletak di kantor Pemda. Jadilah kami membeli onigiri di Parking Area dan sambil makan di mobil menuju ke kantor Pemda dulu yang letaknya terpisah dengan lokasi kastil Minowa. Setelah mendapatkan cap, kami diberitahu bahwa di dekat lokasi kastil ada taman Shibazakura. Dan kalau datang setelah pukul 4:30 bisa parkir gratis.

Minowa Castle

Jadi Kami mampir dulu ke lokasi kastil yang memang tidak ada apa-apanya. Hanya sebuah batu bertulis dan dua buah pohon sakura di lapangan yang luas bekas bangunan kastil. Setelah mengelilingi lapangan dan tidak menemukan apa-apa lagi, kami naik mobil kembali menuju Taman Misato Shibazakura. Benar saja kami bisa parkir gratis karena toko-toko sudah tutup dan orang-orang sudah pulang. Karena toh sudah sampai di situ, kami pikir kalau masih bisa masuk, kami beli saja karcis masuk yang harganya 300 yen/orang dewasa. Eh, tapi di loket tidak ada petugas, dan petugas parkir justru menyuruh kami masuk tanpa membayar. “Silakan”

Misato Shibazakura Koen

Waaaah memasuki taman yang begitu indah dengan gratis, dan sedikit orang itu rasanya seperti mendapat hadiah besar. Kami bisa berfoto tanpa harus terhalang orang banyak. Memang ada beberapa orang yang terlambat datang sehingga masuk gratis seperti kami, tapi jumlahnya tidak banyak dan masih bisa berfoto menghindar mereka. Di latar belakang terlihat Gunung Haruna, yang sering dikatakan duplikatnya gunung Fuji karena mirip. Cukup lama kami berada di sini meskipun Riku terus menerus berkata, “Ayo pulang yuuuk aku sudah capek!”.

Kemudian kami pulang mengantisipasi macet, dan mampir di Parking Area yang bernama YORII, yang dibangun dengan tema dari buku The Little Prince karangan Antoine de Saint-Exupéry. Bergaya perancis gitu deh. Setelah pergi ke toilet, kami masuk ke toko yang menjual bermacam souvenir dan snack. Di situ kami menemukan KOPIKO, mengail Indonesia seperti kata Donny di sini. Dan tentu saja Gen langsung beli.

Baobab Omellet Rice di Yorii Parking Area

Sebetulnya kami sudah membeli bento juga berupa nasi ayam khas dari daerah Gunma itu, tapi akhirnya kami makan malam di cafeteria di Parking Area itu. Jika ada yang pernah baca bukunya tentu tahu tentang pohon Baobab, jadi waktu kami melihat ada menu Baobab Omellet Rice, kami beli.

Untungnya setelah kami makan itu, jalan tol yang tadinya agak macet, sudah lancar jaya sehingga kami bisa dampai di rumah pukul 9 malam. Hari yang melelahkan (karena harus jalan mendaki) tapi juga menyenangkan (karena mendapat 2 cap kastil dan melihat taman bunga indah). Riku membuat PR lalu kami tidur pukul 10 malam.

 

 

Museum Pangeran Kecil

12 Jan

Pernahkah Anda begitu gembira melihat pemandangan terhampar di depan Anda, dan membuat Anda ingin kembali menjadi anak-anak? Well, kemarin Gen mengatakan begitu. Dia ingin menjadi anak-anak kembali. Tapi aku justru kebalikan, begitu aku melihat pemandangan itu, aku ingin menjadi wanita dewasa, a lady yang duduk di Terrace Cafe menikmati cappucino sambil mendengar chanson yang mengalun. Pandangan aku dan Gen memang berbeda mengenai apa yang kami lihat, padahal kami menikmati pemandangan yang sama. Mungkin karena setting dan waktu kami bertemu dengan tokoh hari ini yang berlainan.

“Le Petit Prince” yang diterjemahkan menjadi “Pangeran Kecil” dalam bahasa Indonesia (terbitan Gramedia), adalah sebuah buku karangan Antoine de Saint-Exupery. Dalam bahasa Jepang menjadi Hoshi no Oujisama 星の王子様. Buku dalam bahasa Jepang memang sudah lama kutemukan dalam rak buku kami. Yang pasti sudah 10 tahun berada di apartemen kami, selama usia pernikahan Gen dan aku. Dari covernya seperti ehon atau picture book, tapi terlalu banyak kata-kata, sehingga terus terang, tidak menarik aku untuk membacanya.

Aku tak mengira bahwa buku ini sudah diterjemahkan dalam 108 bahasa!

Aku bertemu dengan buku ini kedua kalinya, waktu Yoga meminjamkannya  waktu aku mudik bulan Februari tahun lalu. Dia sangat merekomendasikan buku ini, dan memperbolehkan aku memilikinya.

Buku “Le Petit Prince” menurut wikipedia Jepang, telah terjual 80 juta exemplar di seluruh dunia, dan di Jepang saja terjual 6 juta exemplar. Buku ini telah diterjemahkan dalam 180 lebih bahasa dunia. Menceritakan tentang pertemuan sang tokoh, seorang pilot yang sedang membetulkan pesawat dengan seorang pangeran kecil dari planet kecil.

Seperti yang telah dikatakan  Saint-Exupery dalam halaman persembahannya, dia menulis buku itu untuk seorang dewasa bukan kepada anak-anak (padahal ini adalah buku cerita anak-anak). Karena katanya, orang dewasa yang bernama Leon Werth, adalah sahabat terbaiknya di dunia, yang memahami segalanya bahkan buku anak-anak… dan dia tinggal di Perancis dengan kelaparan dan kedinginan, sehingga membutuhkan banyak hiburan. Well aku juga merasa tulisannya ini sulit. Pertama membaca tulisannya, terus terang aku tidak mengerti. Tidak mengerti jalan ceritanya. Meskipun aku menangkap beberapa filosofis pemikiran yang ada.(Karena tulisan ini tentang museumnya, maka aku tidak menulis isi buku secara detil)

Dengan berbekal cerita yang telah kubaca sampai halaman 90, dan tidak bisa kumengerti seluruhnya itu, aku memasuki “Le Petit Prince Museum”, yang terletak di Hakone, masih masuk perfektur Kanagawa, kemarin sore (11 Januari 2009). Museum ini didirikan tahun 1999, untuk memperingati 100 th hari lahir Saint- Exupery. Dan perlu kuwanti-wanti bagi yang mau ke museum ini. Bacalah dulu ceritanya, meskipun tidak mengerti. Akan lain sekali pandangan orang yang sudah pernah membaca dan hanya sekedar tahu judul saja. Dan aku beruntung sudah membacanya.

Setelah kami membayar 300 yen untuk parkir, kami langsung turun dan berpotret di depan kolam dengan patung Prince di atas planetnya. Ya, aku mengerti bahwa Prince tinggal di planet kecil dengan bunga mawarnya. Lucunya waktu itu ada seorang ibu yang sedang memotret suaminya dan bayinya. Lalu aku menawarkan untuk memotret mereka bertiga. Sebagai balasannya, kami berempat dipotret mereka. Jarang sekali kami mempunyai foto berempat.

Berfoto di depan kolam Prince dengan Planetnya

Hakone terletak di gunung, sehingga lebih dingin dari Tokyo. Dan kami bisa melihat air di dalam kolam membeku menjadi es. Yang juga membuat aku senang adalah Kai. Dia tanpa malu dan takut, jalan sana sini menyusuri tempat-tempat yang luas, yang masih berada dalam jarak pandang kami. Biasanya di Tokyo semua serba sempit, tapi di sini luas dan tidak berbahaya (pengunjungnya juga sedikit).

Kami membeli karcis, yang cukup mahal menurut kami. Untuk dewasa 1500 yen dan anak-anak 700 yen (Kai tidak membayar). Di sebelah kiri tempat penjualan tiket, kami disambut dengan taman mawar dalam lorong, yang akan membawa kami ke sebuah perkampungan di Perancis sana.

Mulai di sini kami senang sekali. Betapa sebuah pemandangan bisa membuat hati damai dan tentram. Dari pagar terlihat pohon Natal besar di tengah taman. Ada beberapa point di taman yang memberikan kesan perancis yang kental. Diselang-seling dengan patung Pangeran juga hints dari latar belakang si pengarang, Saint-Exupery. Deretan rumah bagaikan di provence itu membuatku ingin berwisata ke Perancis lagi.

Menaiki setapak berbatu menuju halaman tengah, kami ditemani alunan chanson, lagu berbahasa Perancis. Wahhh, aku jadi ingin belajar bahasa Perancis nih!(Sambil ingat ada CD learn French yang pernah kubeli dan belum dibuka).  Padahal sebelum ini aku malas berhubungan dengan segala yang Perancis. Whew, aku memang suka Eropa yang bersejarah itu.

Ada sebuah gereja di sebelah kanan taman, yang tidak kuingat muncul di mana dalam buku. Gen juga tidak ingat, sehingga kami berpendapat ini hanyalah tambahan supaya lebih berkesan alami. Patung Sang Raja, Geografer, Sang Pengusaha dan lain-lain, karakter yang keluar di dalam buku.

Setelah puas bermain di taman tengah itu, kami masuk ke gedung yang bernama “Theater du Petit Prince”. Begitu masuk kami disambut dengan model pesawat terbang berwarna merah. Kabarnya ini adalah pesawat yang biasa dikemudikan Saint-Exupery, yang di kenyataan juga pilot itu.

Kemudian kami masuk ke dalam sebuah ruangan dengan interior putih bagaikan Gurun Sahara. Kami disuguhkan film yang menceritakan tentang buku dan juga latar belakang si penulis, Saint-Exupery. Cukup dengan menonton film ini, aku merasa “terbuka”, yang tidak kumengerti di dalam buku, aku bisa melihat dengan lebih jelas. Wahhh buku itu memang BUKAN untuk anak-anak, itu filosofi hidup yang bagus untuk orang dewasa. (Believe it or not, sebelum menulis ini aku sempat mengulang membaca 108 halaman buku itu, dan gembira aku bisa mengerti apa yang tersirat dan tersurat).

(kiri – gambar “menakutkan”, dan kanan: “Gambarkan aku biri-biri”, yang aku rasa lucu kenapa pakai biri-biri ya? bukan domba terjemahannya hihihi)

Setelah menonton film tentang buku dan pengarangnya, kami mengikuti petunjuk dan menuju ke museum sesungguhnya. Di dalam museum, kami tidak boleh memotret. Sayang sekali, karena banyak yang bisa dipakai sebagai penjelasan terutama mengenai perjalanan sang Pengarang yang mati muda itu. Kami bisa melihat bagaimana kantor dan tempat tinggalnya di gurun Sahara, di Buenos Aires, waktu perang dunia, waktu Hitler berkuasa, bagaimana kehidupannya di Perancis, buku-buku yang telah dikarangnya, pameran gambar-gambar yang telah dilukisnya, dan terakhir showcase buku Le Petit Prince yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Dan aku merasa sedih, tidak ada terjemahan bahasa Indonesia. (Tapi yah sulit juga kalau mau memamerkan 108 bahasa yang ada).

Keluar dari museum, kami kembali mengelilingi kompleks, dan melihat detil-detil tempat yang berada dalam buku. Dan kami keluar sampai ke taman dengan pohon Natal yang sebelumnya kami lihat melalui pagar. Di sebelah kanannya terdapat restoran Perancis, yang konon masakannya terkenal enak. Sayang sekali kami sudah kenyang karena sudah makan siang di tempat lain. (Untung juga sih karena biasanya makanan perancis itu mahal dan tidak mengenyangkan hihihi). Persis di sebelah restoran terdapat toko souvenir untuk oleh-oleh. Dan seperti biasa, memang pengunjung “digiring” untuk melewati toko souvenir, dan “digoda” membeli barang-barang dengan karakter Prince. Tapi…muahal, sehingga akhirnya Gen menyerah tidak membeli apa-apa. Kalau aku? Beli dong, yang termurah, yang masih kurasa berguna.

Keluar dari Toko Souvenir sudah gelap di luar. Taman depan diterangi oleh illuminasion, lampu-lampu yang menghias taman. Well, kami amat sangat terhibur dengan perjalanan hari ini. Apalagi Gen, sampai dia berkata, “Seandainya jalanan sampai Tokyo macet berkilo-kilo pun tidak apa. Aku merasa puas sekali hari ini”. Dan sambil tersenyum kami pulang ke apartemen kami yang hangat…. dalam waktu kurang dari 3 jam.(tidak macet dan ditambah makan malam di tengah perjalanan)

Tulisan ini seharusnya adalah bagian ke tiga dari perjalanan kami kemarin. Ada lagi dua tempat yang kami kunjungi sebelum ini, tapi aku sendiri sudah tidak sabar untuk menuliskan tentang Pangeran Kecil pembawa magic ini untuk sahabatku Yoga yang sudah memperkenalkanku padanya, juga untuk Koelit Ketjil yang sedang memvisualisasikan cerita Pangeran Kecil bersama anak-anak korban gempa. Supaya adil, aku juga menuliskan ini untuk Kika Syafii, yang aktif dalam program healing anak-anak korban gempa. Kami mau semua anak-anak korban gempa…. BERGEMBIRAAAAAA….

On ne voit bien qu’avec le cœur, l’essentiel est invisible pour les yeux. (Seseorang hanya dapat melihat dengan sebaik-baiknya melalui hatinya, karena yang terpenting dalam kehidupan tidak terlihat oleh mata.)