Bahasa Jepangnya, Mono yori omoide ものより思い出 merupakan catch-copy atau slogan dari iklan mobil Nissan Serena. Bahwa kebersamaan dengan keluarga itu penting (dan silakan naik mobil Serena ke mana-mana…). Dan aku setuju dengan slogan ini, dan sedapat mungkin menimbun kenangan untuk anak-anakku dan diri-sendiri.
Oleh karena itu, waktu merencanakan peringatan pernikahan kami yang ke 10, saya tidak memilih “sweet ten diamond” (lagi-lagi korban iklan bahwa peringatan pernikahan 10 th di Jepang “wajib” dirayakan dengan membelikan berlian/diamond). Tapi memang aku agak bingung sedikit setelah sampai pada pilihan camera DSLR atau menginap di sebuah hotel di Yokohama. Camera tentu saja bisa mengabadikan kenangan-kenangan yang akan datang, tapi kesempatan untuk berduaan saja menikmati satu hari penuh? Hmmm sebuah kemewahan yang mungkin perlu kami laksanakan. Apalagi ibu mertuaku sudah bersedia untuk menjaga anak-anak selama kami pergi. Kami masih punya camera yang cukup memadai, tapi “waktu” adalah sesuatu yang tidak bisa terbeli tanpa ada dukungan berbagai pihak.
Kami berangkat dari rumah sudah cukup sore, yaitu pukul 1:30. Langsung ke rumah mertua di Yokohama dan menitipkan Kai dan Riku. Sebelumnya Riku sudah kami beritahu dan minta bantuan dia menghibur Kai seandainya menangis. Menurunkan bawaan dan sekitar jam 3 kami siap untuk berangkat lagi. Kai menangis sebentar, tapi dia juga sayang sekali pada omanya, sehingga diam saja waktu kami melambaikan tangan padanya. Kami siap untuk berangkat.
Rencananya kami akan meninggalkan mobil di rumah mertua, dan jalan kaki/naik bus/naik kereta untuk melakukan tapak tilas tempat-tempat kami pergi “pacaran” dulu. Tapi, pikir punya pikir, dengan naik kendaraan umum kami belum tentu bisa pergi ke semua tempat. Akhirnya kami tetap naik mobil untuk menuju tempat yang justru belum pernah kami kunjungi bersama. Tujuan pertama adalah Taman Italia di daerah Yamate, tempat perbukitan di depan laut.
Di Yokohama ada yang disebut sebagai kumpulan rumah-rumah arsitektur asing di Jepang. Yokohama sebagai pelabuhan pertama yang dibuka 150 tahun yang lalu memang merupakan pusat orang asing yang datang ke Jepang. Lampu gas pertama kali dipasang di Bashamichi, Yokohama. Begitu pula dengan es krim… pertama kali di jual di Yokohama. Pengaruh budaya asing bisa dijumpai di kota pelabuhan ini, yang juga mempunyai sudut khusus bagi pendatang dari China, dengan China Townnya. Yokohama adalah tempat berpadunya berbagai budaya. Dan aku cinta Yokohama (Makanya pilih universitas Yokohama hehehe)
Tekstur kota Yokohama yang unik, pelabuhan tapi berbukit-bukit, dengan tanjakan di mana-mana, membuat orang tidak kuat untuk bersepeda di sini. Sebagai sarana transportasi yang mudah adalah bus atau mobil sendiri. Waktu mencari informasi tentang rumah-rumah diplomat itu di internet, aku sudah mikir… kuat ngga ya aku manjat bukit sebanyak ini? Jadi lega banget karena kekhawatiran itu terhapus dari daftar.
Dan memang Yokohama adalah salah satu kota yang banyak kita temui rochu, parkir di pinggir jalan (ilegal). Tadinya kami sudah akan mencari tempat parkir yang ada dan jalan sedikit, tapi waktu melihat banyak orang yang rochu di depan Gaikoukan no ie 外交官の家 dan Taman Italia, akhirnya kami juga parkir di situ. Untung tidak tertangkap polisi, kalau tidak 15.000 yen (1.500.000 rupiah) melayang.
Gaikoukan no ie 外交官の家 sebenarnya adalah rumah pribadi dari diplomat Jepang yang bernama Uchida Sadatsuchi. Beliau pernah menjadi diplomat si Shanghai, Seoul, New York, Brazil, Argentin, Denmark, dan Turki. Rumah ini sebetulnya merupakan pembangunan kembali dari rumah sebenarnya yang ada di Shibuya, Tokyo. Arsiteknya bernama James McDonald Gardiner, dan bangunannya dikatakan sebagai gaya American Victorian. Gardiner sendiri adalah seorang arsitek yang pernah menjadi Sekolah Rikkyo, cikal bakal Universitas Rikkyo sekarang. Gardiner banyak membangun gereja-gerja akan tetapi dari sekian banyak karyanya, hanya beberapa yang masih tinggal utuh, termasuk Rumah Diplomat ini. Yang lainnya terbakar pada waktu Gempa Bumi Besar Kanto. Memang bangunan kayu berlantai dua ini megah dan konon mengejutkan masyarakat Jepang, karena bangunan ini dimiliki oleh seorang Jepang awam (bukan pemerintah atau diplomat asing).
Kami bisa memasuki bangunan ini, tanpa dipungut biaya. Masuk melalu pintu samping, karena konon, pintu utamanya tidak pernah dibuka. Begitu masuk kami bisa melihat ruang makan, ruang tamu dan serambi depan, termasuk kamar kecil untuk tamu menunggu.
Dari lantai satu kami menaiki tangga menuju lantai dua tempat ruang tidur utama, kamar mandi dan ruang belajar berada. Mungkin karena warna kayu coklat tua, bangunan ini memang meninggalkan kesan kuno yang sacred (suci). Aku seperti berada dalam kapel gereja tua, dan yang paling jelas ada di kepala adalah kapel “Kultur Heim”, yang berada di dalam lingkungan Universitas Sophia, Tokyo.
Dalam kamar utama juga terdapat satu ruangan bulat yang hanya berisi meja tulis satu. Hmmm mungkin kalau tidak bisa tidur, sang diplomat duduk membaca di situ ya? Yang juga menarik adalah bak mandi, bath tub dengan model duduk (tidak tertanam). Keran pemutar dari keramik yang masih mengkilap.
Setelah keluar dari rumah itu kami langsung ke bagian belakang rumah yang merupakan taman Italia. Ternyata dari situ tampak belakang rumah (ngga ngerti juga sebetulnya yang mana yang depan yang mana yang belakang) terlihat begitu megah. Apalagi ada deretan cemara di samping kirinya. Sayang bulan hanya setengah, coba kalau bulan purnama…cocok deh jadi rumah berhantu hihihihi.
Persis di sebelah Rumah Diplomat yang dibatasi dengan air mancur dan kolam kecil, di bagian agak ke bawah terdapat rumah orang asing yang bernama Bluff No 18. Sampai dengan 20 tahun yang lalu, rumah ini dipakai sebagai kantor pastor paroki Gereja Yamate, kemudian seperti Rumah Diplomat, disumbangkan kepada Pemda Yokohama. Rumah ini meskipun bergaya eropa, tetap memberikan kesan sederhana. Kusen berwarna hijau entah mengapa mengingatkanku pada rumah-rumah tua bangunan Belanda yang dipakai sebagai bungalow.
Sama seperti Rumah Diplomat, kami bisa memasuki rumah ini dengan gratis. Ruang tamunya biasa saja, tapi….. ruang makannya berkesan mewah karena piring-piring keramik yang tertata rapi, seperti siap mengundang kita dinner bersama. Aku memang suka gelas dan keramik, sehingga sempat terpaku di kamar makan memperhatikan piring itu. “Sayang aku ngga berani pegang…padahal ingin tahu buatan mana, mungkin Royal Copenhagen)
Karena khawatir dengan mobil yang diparkir cukup lama, kami cepat-cepat naik ke lantai dua dan melihat ruang kerja dan perpustakaan di atas. Ada juga pajangan boneka di dalam salah satu ruang kerja, tapi aku ngga liat ada boneka dari Indonesia tuh….
Keluar dari Bluff No 18 ini, kami sempat mampir ke gereja Katolik Yamate, dan masuk ke dalam gereja. Lagi-lagi aku membayangkan gereja katedral di Bogor, meskipun yang di Bogor jauh lebih kecil. Yang lucu di dalam gereja ini tidak disediakan air suci, yang biasanya ada di samping kiri kanan pintu masuk, dan terdapat pemberitahuan bahwa tidak disediakan air suci untuk mencegah penyebaran penyakit H1N1….. (Kayaknya di gereja lain semua masih pakai air suci deh. Apa karena daerah yamate ini banyak orang asingnya sehingga kemungkinan berjangkit sangat tinggi? Entahlah)
Hari sudah gelap waktu kami keluar dari gereja, padahal waktu menunjukkan pukul 5:15. Tapi karena kami berjanji untuk check in di hotel antara jam 5 dan 6 sore, jadi kami naik mobil menuju tujuan berikut. Hotel New Grand Yokohama.
bersambung…..