Meskipun pada dasarnya aku orang “rumahan” a.k.a. domestik yang malas bepergian kalau tidak ada tujuan, tapi aku suka pada perjalanan – traveling – tabi. Karena perjalanan tidak harus berarti berwisata saja, tapi mengamati, dan itu hobiku…. mengamati semua yang ada dalam sebuah perpindahan ke suatu tempat maupun yang lebih abstrak, perjalanan hati…(cihuyyy)
Perjalanan d’ miyashita kadang terencana, lebih banyak nariyuki (seenaknya saja, tanpa rencana, what will be will be), tapi ada juga yang perlu perencanaan lebih matang dan jauh hari terutama karena memang begitulah sifat orang Jepang. Kalau bisa sebulan sebelumnya. Meskipun aku tahu, kadang (baca sering) berhubungan dengan orang Indonesia harus siap untuk bisa merubah segalanya, bahkan menerima jika terjadi pembatalan.
Dan meskipun aku sebetulnya tidak suka terlambat, sejak mempunyai anak aku “tahu diri” dan lebih bisa menerima keterlambatan. Anything could happen with children. Ya tiba-tiba mau boker atau muntah sebelum berangkat, atau bajunya ketumpahan air minum sehingga harus ganti baju lagi, and so on, and so on. Seorang ibu harus menyiapkan seluruh perlengkapan anak-anak, dan dirinya, dan …suaminya…hiks. (Kalau sudah begini rasanya ingin satu hari 36 jam atau tangan sepuluh, atau ada time stopper hihihi)
Sabtu, 24 Juli akhirnya kami berangkat jam 6:45 dari rumah menuju bandara Narita. Rencana awal jam 5 berangkat (dan time limit jam 7 sudah harus berangkat karena butuh waktu 2 jam untuk ke Narita), apa daya semua ngga bisa dibangunin termasuk sang supir. Dan benar, kami terjebak macet sampai di daerah Chiba. Di jalanan yang merayap seperti kura-kura itu, aku cuma bisa merem, dan berdoa semoga tidak terlambat.
“Jam take off nya jam 11 pas ya mel?”
“Ya. ”
“Kalau terlambat gimana?”
“Ngga tau, ngga pernah telat sih” (padahal pernah tuh seperti yang aku tulis di Late Passenger hehehe. Tapi itu kan bersama orang penting!)
“Tenang aja, what will be will be”, sambil dalam hati aku pikir kalaupun harus mengubah jadwal perjalanan kali ini, aku siap deh.
Dan begitu waktu menunjukkan pukul 9 pagi (waktu mulai cek in) kami sudah tinggal 20 km lagi dari bandara dan lancar. Baru kali ini aku senang Gen bisa ngebut seperti itu. Turunkan koper menuju ke cek in counter sementara Gen parkir mobil. Dan antri cukup lama sehingga kami cuma punya waktu 45 menit sebelum boarding. Wah, mau makan pagi dengan santai juga ngga bisa, karena aku biasakan masuk gate untuk pemeriksaan imigrasi etc minimum 30 menit sebelum boarding. Tapi lapar! Jadi aku suruh Gen membeli McD cepat-cepat sementara aku menulis kartu imigrasi. Makan sambil berdiri di counter! (Orang Jepang sih biasa makan soba –mie Jepang– sambil berdiri. Kalau orang Indonesia mana bisa hihihi. )
Dalam perjalanan mudik kali ini aku memakai maskapai Cathay Pasific. Karena kedua maskapai yang biasa kupakai JAL dan SQ muahaaal sekali. Biasanya memang semahal apapun aku usahalan pakai kedua armada ini, karena membawa bayi itu sulit, sehingga lebih suka direct flight. Tapi karena anak-anak sudah mulai besar, aku tidak perlu memikirkan Riku lagi, bahkan Riku sudah bisa banyak membantu aku. Lagi pula Kai juga sudah lancar jalan, kecuali kalau lagi rewel saja aku perlu menggendong dia. So, aku putuskan mencoba maskapai CX ini yang jauuh lebih murah dari yang biasa kupakai.
Selain dari murahnya tiket (ada juga yang lebih murah, tapi lewat Korea atau Cina… nanti kalau anak-anak lebih besar lagi), aku mempunyai tujuan khusus, yaitu berkunjung ke kota “Adikku”, Hongkong.
Dari dulu aku ingin mampir Hongkong, tapi selalu tidak mendapat ijin dari Big Boss di Jakarta alias papaku! “Bahaya, anak perempuan jalan ke Hongkong!” (padahal si Tina udah pernah tuh ke sana … emang lain sih Tina bisa beladiri Kempo, aku bela diri cuma bisa pakai teriakan hihihi)
So, setelah perjalanan 4,5 jam kami sampai di Hongkong pukul 2:30 siang. Pengurusan imigrasi yang cukup cepat (duuuuh coba deh kalo imigrasi masuk Indonesia…lama!) , mengambil koper dan keluar terminal. Aku harus menghabiskan waktu di Bandara Hongkong sampai pukul 5 sore, karena sang tuan rumah Kimiyo baru pulang sampai apartemennya pukul 5:30 sore. Aku mencari penitipan koper di bandara untuk menitipkan dua koper (kami membawa 3 koper) yang tidak diperlukan di Hongkong. Dan baru kali itu aku sadar, bahwa aku tidak prepare informasi berapa banyak uang yang harus aku tukar ke Hongkong Dollar. Meskipun hampir semua toko menerima credit card, aku tetap butuh uang tunai untuk ongkos perjalanan naik taxi, atau bus, atau makan/ minum. Aku cukup bingung menghitung harga barang dengan HK dollar, meskipun akhirnya aku tahu bahwa 1 HK dollar kira-kira 11-12 yen.
Sambil menunggu di lobby yang luas, anak-anak bermain dan kami bertiga minum Chocholate Cream dari Starbuck yang ada di depan kami. Harga minuman itu 32 HK$ berarti sama dengan 350 yen- an. Sama lah dengan di Jepang, dan….aku jarang sekali membeli kopi di gerai ini di Tokyo. Sayang duitnya, karena dengan harga segitu kami bisa membeli satu bento nasi makan siang yang cukup mengenyangkan. Starbuck gituan hanya cocok untuk mereka yang single! hahaha (Kalau sudah jadi ibu RT mode-on peliiiiit banget deh gue!)
Aku sempat connect internet dengan fasilitas wi-fi free di HongKong airport. Memang di tempat seperti begini yang paling mudah dibuka adalah YM, twitter, FB , TE? sampai mabok nungguin juga tidak terbuka hihihi. Well apapun deh asal bisa membuang waktu sambil menunggu jam 5. Dan satu yang aku amati, bandara Hongkong ini memang sudah canggih. Banyak sarana yang sudah memakai otomatisasi seperti WC dan pintu taxi, dan berbahasa Jepang! (pasti untuk menarik wisatawan Jepang tuh). Berasa di Narita deh (bahkan kesannya bandara Hong Kong lebih luas dan terang). Jadi aku bisa mengerti kenapa Ria mengatakan dia suka di Hongkong.
Nah, teng jam 5 kami menuju ke pangkalan taxi. Ternyata di sini setiap daerah dikuasai oleh taxi tertentu.Waktu aku sebutkan alamat rumah Kimiyo, aku disuruh naik taksi berwarna merah. Jadi kami menuju pangkalan taksi merah itu, dan mendapat taksi nomor satu…. Dan disitu aku kaget! terkaget-kaget! U know what? Si supir Taksi ini mirip sekali mukanya dengan Mas NH18 hihihi…. Loh kok mas ada di sini? Untung aku ngga tanya dalam bahasa Indonesia hehehehe. Si Uncle ini membantu kami menaikkan koper dan aku tunjukkan alamat yang kami tuju. Doooooh dia ngga ngerti bahasa Inggris sama sekali. Mampus deh gue (mas NH versi Hongkong ini perlu ditraining kayaknya deh :D)
Ternyata menurut si Mas NH palsu (tentu saja dalam bahasa sono), daerah yang kami mau tuju ada dua, satu di pulau terpisah dr Hongkong, dan satu di Hongkongnya. Biarpun aku sudah sebut di Hongkongnya dia tetap ngga mudeng, sampai dia menyodorkan HPnya dan menyuruh aku telepon Kimiyo! Oiiii emang si Kimiyo bisa bahasa sini? Tapi sepertinya dia bisa mengerti penjelasan Kimiyo, dan kami diantar ke apartemen Kimiyo dengan selamat. Empat puluh menit dari bandara dan biayanya 340 HK$ (argo awal di sini 18$).
Oh ya, sebelum lupa…. Kanji di Hongkong ini mirip dengan kanji kuno Jepang, jadi ada beberapa yang aku bisa baca, dan yang lucu TAKUSI (taxi) dalam tulisan di sini dibaca secara jepang menjadi Tekisi 的士.
Sampailah kami di apartemen Kimiyo, dan mata kami terbelalak karena apartemen ini termasuk apartemen eksklusif dan bagus. Seperti Hotel! Kata Riku. Well, dengan menjejakkan kaki di apartemen Kimiyo ini, kami memulai perjalanan kami di Hongkong.