Aku mau tulis pendek saja deh hari ini. Tadi pagi aku baca sebuah survey tentang pelayanan di RS. Sama seperti di Indonesia, waktu menunggu di RS juga lama, apalagi jika RS yang besar. Makanya paling enak kalau pergi ke klinik spesialis saja. Selama di sini aku paling kagum dengan kecepatan pelayanan klinik di dekat universitas Waseda yang kutulis di sini dan klinik THT dekat rumah. Kalau klinik THT sih emang ngga pakai stetoskop jadi bisa ada beberapa pasien dalam satu ruangan jadi cepat pelayanannya. Juga klinik gigi dekat rumah sudah pasti kalau janji jam 5, pasti masuk diperiksa jam 5. Ini karena dokternya sudah bisa perkirakaan satu pasien 30 menit.
TAPI kalau pergi ke RS Umum, seperti waktu aku pergi konsultasi di dokter psikiater untuk panic syndromku, atau pemeriksaan kehamilan di dua RS langganan, PASTI nunggu lama. Meskipun sudah ada ancer-ancer masuknya jam berapa. Sama deh di Indonesia juga pasti mesti menunggu lama. Nah survey tadi pagi itu aku baca tentang HARAPAN pasien terhadap RS untuk menyediakan apa di RS (mungkin untuk mengisi waktu menunggu itu). Harapan-harapan itu sbb:
1. Menyediakan Wifi gratis
2. Menyediakan lebih banyak lagi bukuyang sedang populer
3. Menyediakan dokter atau suster tetap untuk konsultasi
4. Menyediakan lembaran informasi mengenai penyakit-penyakit
5.Menyediakan tayangan video mengenai penyakit
6. Menyediakan kursi atau sofa untuk mengistirahatkan badan
7. Menyediakan kursi pijat
8. Menyediakan pelayanan pijat badan
9. Menyediakan konsultasi psikolog di ruang tunggu
10. Menyediakan permainan game atau kartu
11. Menyediakan pelayanan pemberitahuan giliran lewat email
12. Menyediakan display elektronik
13. Drink Bar (macam-macam minuman gratis)
14. Memasang musik yang menyejukkan hati
Nah, aku sendiri langsung memilih nomor 11. Karena berarti kita tidak perlu berada di ruang tunggu itu, bisa keluyuran dulu sampai menerima email baru ke ruang tunggu. Aku pernah menggunakan service seperti ini di restoran Museum Fujiko (Doraemon) di Kawasaki. Mereka memberitahukan 10 menit sebelum giliran kita masuk. Maklum antrian yang mau masuk di situ banyak, dan waktu itu aku perkiraannya harus menunggu 2 jam sebelum dapat tempat. Restorannya cuma satu sih. Nah seandainya ada layanan pemberitahuan giliran lewat email itu kan, kita sebagai pasien juga bisa tenang pergi ke WC atau makan atau ngopi atau jalan-jalan atau dsb dsb deh…
Memang survey ini hanya diadakan di situ goo yang diikuti terbatas, tapi begitu aku melihat jawaban, ternyata pilihanku itu memang yang terbanyak dipilih sebanyak 23,5 % disusul dengan no 6 yang dipilih 11% dari pemilih. Soalnya kalau nomor 1 (Wifi) kebanyakan orang Jepang bisa internetan dengan langganannya sendiri tanpa perlu wifi 😀
Kalau kamu jadi pasien, apa harapanmu? atau pilih nomor berapa?
Oh ya, hanya mau mengingatkan bahwa tanggal 1 April kemarin Blog TE ini berulang tahun ke 5 dan aku mengadakan giveaway yang bisa dibaca di sini detilnya. Kalau sempat ikut ya, masih lama sih penutupannya sampai tanggal 22 April … Terima kasih sebelumnya!
Tadinya saya mau menuliskan judul “Kecanduan”, tapi kok inti cerita yang ingin saya sampaikan justru bukan kecanduannya sih… jadi ganti judul yang lebih tepat.
Memang saya pernah menulis tentang jiwa service orang Jepang di sini dan di sini. Dan saya rasa banyak di antara pembaca juga sudah pernah mengalami sendiri pelayanan waiter/pelayan Jepang di Jepang. Motto, “Pembeli adalah Raja” bukan main-main di sini . Dan orang Jepang juga tidak segan-segan, langsung meminta maaf, meskipun itu bukan kesalahan mereka.
Nah, kali ini saya mengalami lagi sebuah pelayanan yang sempat membuat saya bengong, senang, terharu dsb deh… Kok segitunya sih mel?
Nah itu ada hubungannya dengan kecanduan yang tadinya akan menempati judul posting ini. Saya sedang candu FB! Tapi bukan ganti-ganti status atau foto profil atau baca status dan notes orang lain…. melainkan bermain Bejeweled Blitz. Loh… itu kan juga ada di Yahoo Games? Memang, tapi di FB waktunya ditentukan hanya selama 1 menit, dan …. nah…ini serunya. Ada hall of fame, alias daftar perolehan teman-teman Friend Lists yang sedang bermain game yang sama. Jadi penasaran lah yau, kok bisa teman saya si MS mencapai nilai sampai 300rb sedangkan saya cuma bisa 100rb saja! Lagi pula bermain game ini benar-benar tanpa pakai otak, hanya jari saja yang gerak, sehingga otak bisa diistirahatkan…. hihihi …alasan.
Kecanduan Game ini merupakan kecanduan pertama yang tidak begitu merugikan saya, karena saya lakukan di sela-sela waktu senggang,namun cukup memangkas jadwal menulis blog dan blogwalking. Paling-paling kalau riku melihat saya sedang bermain, dia juga mau ikut bermain. Atau Kai jika sudah kangen pelukan mamanya, akan datang ke depan komputer dan minta dipeluk…..
Tapi ada lagi kcanduan di FB nomor dua, yang NYARIS membuat saya rugi besar. Yaitu meng-upload foto dari HP saya, via mobile upload a.k.a email. Apalagi waktu saya berlibur dan jalan-jalan ke Yokohama, Kamakura dsb dsb. NAH….. ternyata sodara-sodara, kegiatan saya mengupload itu menyebabkan saya harus membayar mahal.
Biasanya biaya HP saya tidaklah terlalu mahal, karena saya jarang pakai. email juga jarang. Tapi waktu saya banyak mengupload foto-foto itu, saya harus membayar biaya pengiriman berdasarkan bytes yang dikirim. Pertama, saya dapat email peringatan, “Biaya pemakaian internet Anda mulai mahal loh”… begitu bunyinya. Hmmm saya pikir, ah semahal apa sih.
Kemudian besoknya saya menerima telepon dari kantor KDDI, operator untuk telepon au yang saya pakai. Dia menelepon ke HP, tapi saya waktu itu sedang mengajar sehingga tidak bisa mengangkat. Ada pesan memang, tapi dasar saya juga malas…saya cuekin. Lalu pas pulang ke rumah, ada pesan di answering machine, mengharapkan saya telepon mereka. Duh sudah malam, dan saya harus masak makan malam, kasih bobo anak-anak dsb dsb… Sudahlah besok saja…saya pikir.
Nah, keesokan harinya, ternyata orang yang sama menelepon ke HPnya Gen. Semua HP memang atas nama saya, dan dia berbicara mengenai paket harga (mungkin semacam pahe…paket hemat) , tapi karena Gen tidak tahu apa-apa tentang pembayaran HP, saya yang menjawab telepon mereka.
“Ya, saya Imelda, ada apa?”
” Oh ibu Imelda… saya dari KDDI….”
“Ya, saya menerima pesan lewat telepon, tapi maaf belum sempat menelepon.”
” Saya juga maaf, karena berkali-kali meninggalkan pesan di HP dan di telepon rumah…. Begini bu, …. kelihatannya ibu banyak memakai internet akhir-akhir ini, ya?”
“Ya memang….”
“Begini, kalau memang mau terus memakai internet, lebih baik ibu masuk ke pahe internet 24/7 yang setiap bulannya membayar max 4100 yen. Untuk bulan ini Ibu sudah memakai 25.000 yen. api kalau ibu masuk paket ini, ibu cukup membayar 4.100 yen saja.”
“Waaah sudah segitu banyak ya? Tapi saya masih bisa masuk paket itu dan tidak usah membayar 25.000 yen tadi?”
“Ya, kalau ibu masuk sekarang, bisa”
“Bagaimana caranya? Apakah saya harus pergi ke kantor sana?”
“Tidak usah, lewat saya saja. Begitu ibu OK, saya akan masukkan setting untuk paket itu.”
“Kalau begitu…tolong setting ke paket itu.”
“Tapi jika ibu setting paket ini, seandainya ibu tidak pakai internetpun, ibu harus membayar 2000 yen. Apakah ibu tetap mau?”
(Sambil berpikir tentu saja, saya masih akan kirim email dan browsing internet lewat HP)
“Ya saya mengerti, Tolong setting ke paket itu”….
Jadi saya tertolong banget tuh dengan telepon mbak KDDI hari itu. Dan saya masih terbengong-bengong… kok bisa gitu, mengganti paket ditengah-tengah periode, dan membuat pelanggan tidak perlu membayar biaya yang seharusnya dibayarnya. Biasanya kan perusahaan ngga mau rugi dong. Semakin pelanggan bayar banyak, semakin banyak duit masuk ke dia kan? Apa dia tidak rugi dengan cara menelepon saya dan menganjurkan mengambil paket tadi? Ini mungkin pelayanan mereka terhadap customer, apalagi saya sudah hampir 13 tahun memakai nomor ini, sehingga mereka tidak mau kehilangan pelanggan untuk berpaling ke operator lain? Well, saya menceritakan ke pemakai operator lain, tapi belum pernah ada yang kejadian seperti saya itu.
Yang pasti saya bersyukur sekali dengan telepon mbak tadi itu. Lagipula dengan tidak perlu membayar semahal yang seharusnya saya bayar, saya bisa mengganti pesawat HP saya yang dirusakkan Kai dengan yang baru. Masih bisa dipakai sih, tapi rasanya sudah cukup waktu juga untuk mengganti dengan yang baru. Maunya sih dengan Ipod, tapi Ipod hanya dimiliki oleh operator Softbank, yang saya jarang pakai. Jadi cukup dengan HP touch panel ala “au” yang berkamera dan harddisk 7 GB. (sebetulnya saya tidak suka dengan touch panelnya, tapi *apabolehbuat*, kamera yang dengan 5 Mega pixel hanya jenis itu saja. Ada sih yang 8 M pixel… tapi aku ngga suka tampilannya hihihi)
Tambahan:
1. Handphone di Jepang kebanyakan tidak bisa menerima/mengirim sms ke LN. Satu-satunya yang bisa menerima sms hanya operator softbank (karena itu saya punya softbank juga hehehe). Softbank bisa mengirim sms juga, tapi biayanya masih mahal.
2. Jadi kami berkomunikasi melalui email (MMS) antar operator, atau untuk operator yang sama, pesan pendek semacam sms.
3. Sebagai solusi untuk mengirim sms, maka kami di Jepang memakai perusahaan “penengah” untuk mengubah email kami menjadi sms, dan diteruskan ke Indonesia. Ada beberapa perusahaan yang menyediakan service ini, tapi saya sendiri memakai smspelangi.net. Karena gateway, yang tampil pada nomor HP di Indonesia bukanlah nomor kami yang sebenarnya. Dan penerima sms cukup mereply sms untuk mengirimkan balasan. Selama nama dan nomor HP teman di Indonesia belum didaftarkan ke website mereka, kami tidak bisa menerima sms dari Indonesia. Mau terima sms dari saya? Ya harus daftar dulu gitchu hihihi.
4. Blackberry laku ngga di Jepang? Nggak!!! abis orang Jepang kan ngga pake alfabet, jadi buat apa pake BB hihihi
Susah deh Jepang memang memonopoli telekomunikasi intern mereka, tapi beruntung sekarang sudah mulai terbuka, yaitu sejak masuknya vodafone ke Jepang (sekarang sudah dibeli Softbank).
Mau minta maaf juga akhir-akhir ini jarang blogwalking krn…kecanduan hihihi. (dan sedikit flu sih)
Semua orang pasti tahu apa itu tips. Meskipun banyak sebetulnya artinya, bisa berarti ujung, bisa berarti kiat/nasehat/info, tapi juga bisa berarti uang persenan/uang rokok/uang jajan.
Nah, sebelum saya menulis tentang tips di Jepang, baca dulu sebuah ilustrasi yang cukup “kena” di hati saya waktu saya membacanya.
Satu sore di sebuah mal, seorang anak berusia sekitar 8 tahun berlari kecil. Dengan baju agak ketinggalan mode, sandal jepit berlumur tanah, berbinar-binar senyumnya saat dia masuk ke sebuah counter es krim ternama.
Karena tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia harus berjinjit di depan lemari kaca penyimpan es krim. Penampilannya yang agak lusuh jelas kontras dibanding lingkungan mal yg megah, mewah, indah dan harum.
“Mbak, Sunday cream berapa?” si bocah bertanya, sambil tetap berjinjit agar pramusaji dapat melihat sedikit kepalanya, yang rambutnya sudah lepek basah karena keringatnya berlari tadi.
“Sepuluh ribu!” yang ditanya menjawab.
Si bocah turun dari jinjitannya, lantas merogoh kantong celananya, menghitung recehan dan beberapa lembar ribuan lusuh miliknya.
Kemudian sigap cepat si bocah menjinjit lagi. “Mbak, kalo Plain cream yang itu berapa?”
Pramusaji mulai agak ketus, maklum di belakang pelanggan yang ingusan ini, masih banyak pelanggan “berduit” lain yang mengantri. “Sama aja, sepuluh ribu!” jawabnya.
Si bocah mulai menatap tangannya di atas kantong, seolah menebak berapa recehan dan ribuan yang tadi dimilikinya.
“Kalau banana split berapa, Mbak?”
“Delapan ribu!” ujar pramusaji itu sedikit menghardik tanpa senyum.
Berkembang kembali senyum si bocah, kali ini dengan binar mata bulatnya yang terlihat senang, “ya, itu aja Mbak, tolong 1 piring”. Kemudian si bocah menghitung kembali uangnya dan memberikan kepada pramusaji yang sepertinya sudah tak sabar itu.
Tidak lama kemudian sepiring banana split diberikan pada si bocah itu, dan pramusaji tidak lagi memikirkannya. Antrian pelanggan yang tampak lebih rapi dan berdandan trendi banyak sekali mengantri.
Detik berlalu menit, dan menit berlalu. Si bocah tak terlihat lagi dimejanya, Cuma bekas piringnya saja. Pramusaji tadi bergegas membersihkan sisa pelanggan lain. Termasuk piring bekas banana split bekas bocah tadi.
Bibirnya sedikit terbuka, matanya sedikit terbebalak. Ketika diangkatnya piring banana split bocah tadi, di baliknya ditemukan 2 recehan 500 rupiah dibungkus selembar seribuan.
Apakah ini?
Tips?
Terbungkus rapi sekali… rapi !
Terduduk si pramusaji tadi, di kursi bekas si bocah menghabiskan Banana splitnya. Ia tersadar, sebenarnya sang bocah tadi bisa saja Menikmati Plain Cream atau Sunday chocolate, tapi bocah itu mengorbankan keinginan pribadinya dengan maksud supaya bisa memberi tips kepada dirinya. Sisa penyesalan tersumbat di kerongkongannya. Disapu seluruh lantai dasar mall itu dengan matanya, tapi bocah itu tak tampak lagi.
Menyentuh bukan? Mengingatkan kita, yang bekerja di bidang jasa/pelayanan agar tidak memandang penampilan pembeli dengan apa yang terlihat saja.
Saya tidak tahu siapa sih yang memulai kebiasaan memberikan tips atau persenan kepada pelayan/petugas yang telah melayani kita. Memang tips merupakan salah satu penghargaan si “pelanggan” terhadap “service” yang diterimanya. Tapi tidak semua dapat diekspresikan dengan uang, bukan? Kata terima kasih dan pujian yang tulus, sebetulnya sudah cukup karena toh sebetulnya pembeli sudah membayar apa yang sudah dibelinya.
Persoalan memberikan tips ini juga sering membuat saya pusing. Berapa sih sepantasnya saya memberikan tips kepada pelayan, yang jangan sampai dia tersinggung karena terlalu sedikit misalnya. Karena sejak kecil saya memperhatikan waktu bapak saya membayar, saya melihat berapa yang dia berikan untuk tips pelayan sebuah restoran misalnya. Besarnya tergantung pula pada “level” restoran itu, apakah hanya ber”level” rumah makan, atau restoran mahal yang eksklusif. Yang paling sering saya lihat memang, meninggalkan kembalian dari jumlah yang dibayarkan. (Dari segi kepraktisan memang malas rasanya menerima kembalian, apalagi kalau banyak koin nya)
Karena bapak saya juga sering ke luar negeri, saya juga tahu bahwa di Amerika atau negara Eropa, ada kebiasaan memberikan tips sebesar 10% dari apa yang sudah kita bayarkan. Hitungan ini yang kemudian saya pakai jika pergi ke luar negeri. Tapi ternyata, setiap negara punya hitungan dan kebiasaannya sendiri.
Misalnya waktu saya pergi ke Melbourne, saya sempat dimarahi adik saya yang tinggal d situ waktu itu, karena memberikan tips 10% dari yang saya harus bayarkan di sebuah restoran Vietnam. Katanya, “kamu merusak tatanan perburuhan di sini”. Jadi? saya harus membayar tips berapa? Katanya cukup 2-3 dolar saja. Hmmm….
Yang menarik juga pengalaman waktu menyewa mobil di Munchen sekitar akhir tahun 2001. Sudah sejak dari Jepang saya menghubungi Mr some-german-name lewat internet. Minta dijemput di bandara Munchen, untuk menuju Hersching, rumah kediaman adik saya waktu itu. Saya memakai jasa Mr itu selama 3 hari karena dia bisa berbahasa Inggris, dan mempunyai mobil besar yang bisa mengangkut 7 orang + koper.
Nah, yang menarik waktu saya akan membayar dengan credit card. Di situ tertera juga kolom “tips” selain dari harga yang saya harus bayarkan. Saya tinggal menuliskan berapa yang saya mau beri, lalu jumlahkan dan tanda tangan. Ow, praktis sekali. Jadi saya tidak usah menyediakan uang kecil terpisah.
Tapi, untung juga saya sempat menanyakan di bagian informasi airport Changi, waktu saya mendarat di Singapore dan akan bermalam di hotel di sana. Saya tanyakan berapa saya harus bayar tips untuk supir taxi, dan berapa untuk petugas hotel. Kemudian kembali saya ditanya, “Madam, kamu akan menginap di hotel mana?”
“Raffles”
“THE Raffles??? (hei… I ‘m on honeymoon you know! jangan pasang muka aneh gitu dong) well, kamu tidak usah memberikan tips pada petugas di sana, karena semua service dia sudah termasuk dalam bill hotel. ”
“Untuk bell boy juga?”
“Ya, tidak usah….” uhhh gini deh kalo katrok.
Jadi memang akhirnya saya tidak memberikan apa-apa kepada petugas hotel yang bersorban dan gagah-gagah itu. Tapi tetap saja rasanya tidak “nyaman” jika tidak memberikan tips.
Memang saya perhatikan juga kebanyakan restoran besar di Jakarta sekarang sudah menambahkan sekian persen (5% rasanya) di dalam tagihan makanan khusus untuk service. Nah, kalau saya sudah melihat tulisan itu, enak deh, tidak usah memberikan tips lagi.
Tapi memang paling enak menjadi turis di Jepang. Semua restoran, hotel, pelayanan jasa … SEMUA TIDAK MENERIMA TIPS. Jangan sekali-kali mencoba memberikan tips kepada supir taxi, pelayan toko/restoran di Jepang, karena biasanya kamu akan malu sendiri. Mereka akan kembalikan, dan menjawab, service sudah termasuk dalam barang/jasa yang dibayarkan. Tidak usah bersusah payah menghitung-hitung berapa tips yang patut diberikan. Bayar sesuai tagihan saja. (Oh ya, kebanyakan restoran di Jepang kita yang harus membawa tagihan bill ke kasir dan membayar sebelum keluar restoran. Sedikit sekali yang mau menerima bayaran di meja. Kecuali hotel internasional)
Lalu apakah orang Jepang memang sama sekali tidak memberikan tips? Kata beberapa murid saya, tentu saja ada yang memberikan tips jika menginap di hotel ala jepang “ryokan” yang pelayanannya memang bagus sekali (dan biasanya memang mahal). Diberikannya langsung pada pemilik ryokan tersebut. Atau pelanggan pria yang menggunakan jasa “pub/snack” memberikan pada host “Mama-san” (pemilik night club). Dan biasanya tips itu juga cukup besar jumlahnya. Tapi untuk kita yang “turis biasa-biasa” tidak perlu memikirkan tips di Jepang.
Nah, karena di Jepang tidak ada kebiasaan memberikan tips, biasanya orang Jepang yang ke Indonesia juga terbawa kebiasaan itu, tidak memberikan tips pada pelayanan yang diterima di tempat wisata/restoran di Indonesia. Sehingga terkenallah, “Orang Jepang Pelit!”. Meskipun bagi orang Jepang yang sudah sering ke luar negeri, mereka tahu kebiasaan memberikan tips ini. Dan biasanya mereka menaruh uang tips itu di atas bantal. Namanya saja Makurazeni 枕銭 まくらぜに (Makura = bantal, zeni = uang). Katanya itu untuk petugas yang membersihkan kamar. Hmmm memang orang Jepang jarang ada yang bisa memberikan langsung tips ala “salam tempel”.
Well, berapa pun yang kita berikan untuk tips pada jasa yang kita terima tentu saja akan diterima, asalkan kita juga memberinya dari hati bukan? Seperti si anak yang membeli Banana Split pada cerita di atas. Bagaimanapun Pelayan juga manusia!