Posting ini bukan karena aku parno ditinggal Gen sendirian selama 3 hari 2 malam karena dia harus menginap di universitasnya untuk ngurus Sipenmaru/UMPTN Jepang yang berlangsung tanggal 17-18 Januari lalu. Awalnya memang agak gamang, tapi bertiga saja dengan dua anak 3×24 jam cukup menyenangkan. (dan membiarkan rumah kotor selama itu juga asyik kok heheheh)
Tiga hari terakhir berita pagi di televisi meliput cerita dosen yang dibunuh di WC kampusnya di Tokyo. Tidak kurang dari 20 tusukan menyebabkan dosen tersebut meninggal. Kejadian yang berlangsung pagi hari ini masih diusut polisi dan belum dapat ditemukan tersangkanya. Padahal dosen ini dikenal sebagai orang baik yang tidak mempunyai musuh (di permukaan). Wah bahkan di kampus pun sudah tidak aman!
Lalu kemarin pagi saya melihat berita tentang pesawat yang jatuh di Sungai Hudson NY, dan penumpangnya bisa diselamatkan semua. Korban yang kedinginan berjalan basah berselimut …. langsung saya membayangkan duh bagaimana nanti kalau saya nanti naik pesawat dengan Riku dan Kai. Seandainya terjadi apa-apa, aku tidak bisa membantu dua orang anak. Lalu saya bilang pada Gen, “Gen ngeri juga ya… kalau tiba-tiba harus mendarat darurat, aku kan tidak bisa pegang dua anak sekaligus ya.” Lalu Gen bilang, “Riku harus bisa menolong dirinya sendiri!”. Mulai deh “parno”(paranoid) sayanya. Kepikiran seandainya benar terjadi.
Lalu saya jadi ingat komentar saya di posting ibu Enny mengenai Ayah dan putrinya. Saya dulu memang Parno berat. Bahkan mungkin lebih parno dari orang tua saya. Sebagai anak tertua selalu takut jika terjadi apa-apa pada kedua orang tua saya. Pernah suatu ketika ada acara Old n New, sudah jam 2 pagi mereka belum pulang…. Saya mengintip jendela terus menunggu mobil mereka. Di kepala saya terbayang kemungkinan-kemungkinan buruk. Karena capek menunggu saya tertidur dan jam 3 pagi ibu saya datang mengetuk jendela kamar saya.
Parno lain lagi waktu adik-adik saya belum pulang dari kegiatan di sekolah atau pesta. Saya yang sibuk mencari nomor telepon teman-teman mereka untuk menanyakan mereka di mana. Sedangkan ibu saya biasa-biasa saja. Dan mungkin karena saya mengerti perasaan mereka sebagai orang tua yang khawatir akan anak-anaknya, saya tidak pernah pergi tanpa memberitahukan orang tua. Atau jika dilarang pergi saya juga menerima tanpa membantah. Jam malam sampai SMA adalah jam 9 malam. Sampai saya pernah diantar jemput ke pesta oleh papa sendiri. Pesta mulai jam 8 dan waktu saya dijemput pulang, makan malam belum mulai. hehehe jadi deh saya pulang tanpa makan. Tidak demikian halnya dengan adik-adik saya yang “melawan” dan bertanya kenapa begini begitu. Saya yang mendengar “pertengkaran” mereka merasa heran… kok bisa melawan orang tua ya?
Lalu apakah sekarang saya masih parno? Ya, tentu saja, tapi tidak separah dulu. Mungkin mulai dilatih sejak saya pergi ke Jepang sendiri. Tidak ada biaya tentunya untuk menelepon setiap hari. Meskipun di awal-awal tinggal di Jepang saya harus mengalokasikan dana untuk telepon internasional sekitar 30.000 yen sebulan gara-gara homesick (dan jaman dulu tidak ada cara menelepon yang murah! Sekarang? dengan chatting atau IP phone, kartu telepon discount atau kirim sms/email….. banyak sekali cara untuk berhubungan. Dulu hanya ada surat atau telepon/fax. —Pak Oemar pasti mengalami ini juga kan?)
Lagi pula irama hidup di Jepang yang sibuk membawa saya juga ikut-ikutan sibuk tidak mau kalah dengan orang Jepang. Waktu mahasiswa, mungkin cuma saya mahasiswa pasca sarjana yang datang 4 kali seminggu (dan mengambil banyak sks). Masih ditambah saya tinggal di Tokyo, dan untuk ke kampus Yokohama makan waktu 1jam. Dan setelah selesai kuliah malamnya saya masih arbaito mengajar bahasa Indonesia di sana-sini. Dan sibuk memang menjadi obat mujarab untuk menghilangkan rasa parno itu.
Tidak bisa disangkal Parno lebih banyak diderita perempuan. Kadang dipakai juga dalih PMS. Kalau berkunjung ke blog-blog wanita pasti deh banyak kita jumpai tulisan yang bernada ‘parno’ begitu. Seperti Jeng Rhainy pernah menuliskan di sini, bahwa untung dia tidak mentatokan nomor telepon pada anak-anaknya. hehehe. Tapi semuanya bisa dimaklumkan karena menunjukkan cinta pada anak-anak sehingga over protective. Atau seperti cerita mas trainer yang tidak mengajarkan anak-anaknya naik sepeda dan lain-lain. Tidak salah juga untuk menjadi overprotective menurut saya, tapi nanti kembali lagi ke kitanya… tidak bisa hidup tentram.
Saya pernah mengalami Panic Syndrome, setahun setelah menikah sampai harus pergi ke psikiater. Si dokter memberikan saya obat penenang dan kata dia, jangan mencari sebabnya kenapa kamu sering panic begitu. Karena bisa jadi itu akumulasi penggabungan dari bermacam-macam persoalan. Ya kamu ana tertua, menikah dan tinggal jauh dari orang tua. Harus menyesuaikan kehidupan berumahtangga dll. Panic Syndrome saya muncul terutama kalau berada di tempat gelap, atau naik subway (kereta bawah tanah). Saya harus bisa melihat LANGIT. Jadi kalau naik pesawat tidak apa-apa. Sampai sekarang saya sudah bisa membiasakan diri dalam gelap, tetapi masih belum bisa naik subway. Dan menurut dokter separuh wanita berusia 30 tahun ke atas pasti pernah mengalami hal ini. Jangan menyiksa diri, pergilah ke psikiater dan mendapatkan obat penenang (bukan obat tidur). Saya sendiri tidak minum obat itu setiap hari seperti yang tertulis di resepnya, hanya untuk waktu-waktu saya merasa panik saja. (semacam jimat) . Dan obat itu tidak pernah saya minum lagi setelah Riku lahir. (Kelahiran Riku menghilangkan penyakit saya ini)
Well, sekarang saya juga sedang berusaha untuk tidak parno yang berlebihan, karena saya lihat Riku sudah menunjukkan “keparnoan”nya. “Mama, kok papa belum pulang? Jangan-jangan mobilnya tertabrak?” atau “Mama… aku paling sayang mama…jangan pergi ya” dan dia tidak memperbolehkan aku buang sampah ke bawah… meskipun hanya 3 menit saja. Lalu saya katakan pada Riku, “Riku… kalau riku berpikir negatif, nanti akan terjadi benar negatif… jadi pikir yang bagus saja ya.” Dan tadi pagi dia bisa berkata begini:
“Mama, kalau Riku umur 100 tahun, Kai umur berapa?”
“Kai umur 96 tahun”
“Mama?”
“Mama sudah mati pasti. Mama di surga”
“Eeeehhh. ????”
“Iya tapi Riku juga belum tentu bisa hidup sampai 100 tahun loh”
“Jadi Riku juga mungkin sudah mati?”
“Iya…nanti kita ketemu di surga kan?”
Dia hanya tertawa…. biasanya dia akan menangis setiap saya bilang saya sudah mati.
Well, manusia memang tidak bisa lepas dari kekhawatiran hidup. Saya pernah mendengar seorang pelajar dari Aceh yang bersekolah di KOBE. Waktu gempa bumi besar di Kobe dia selamat. Tapi waktu Tsunami melanda Aceh dia ikut terhanyut. Atau orang yang pertama kali naik pesawat mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal, sedangkan orang yang hampir setiap hari naik-turun pesawat masih hidup sehat. Yang penting adalah bersiap-siap senantiasa, karena kapan waktu kita berakhir tidak ada yang tahu. (Malaikat pun tidak tahu!)
(terinspirasi pada berita-berita TV di jepang + berita email yang menuliskan bahwa Mama Laurent kebanjiran …kok dia tidak bisa merawal bahwa rumahnya akan banjir lalu mengungsi? Dan saya tertawa membaca itu.)