Tulisan ke 888 – Perang atau Damai

11 Mar

Angka yang bagus bukan? Aku selalu senang angka 8, apalagi berderet begitu. Dan untuk posting di angka keramat ini, aku ingin menuliskan pengalamanku kemarin malam, Kamis 10 Maret 2011.

Kamis sore, aku membuat kue coklat atas permintaan Kai. Mumpung ada whipping cream, aku siapkan kue dan whipping cream itu dan membiarkan anak-anak berkreasi dan makan kue itu tentu saja. Jadi jam 7 an mereka masih kenyang, dan aku mulai menanak nasi. Malam ini Gen tidak makan di rumah karena ada acara di kantor. Pasti pulang laat lagi.

Pukul 8 aku suruh Riku matikan TV, Riku buat PR dan Kai bermain mencari gambar yang sama. Saat itulah Riku berkata,

“Ma, tadi di sekolah ada pelajaran Memikirkan Perdamaian. Heiwa wo kangaeru hi 平和を考える日”

“Oh ya. Lalu bagaimana?”

“Ya kami menonton film tentang perang  dan mendengar cerita dari lansia. Katanya dulu waktu perang, meskipun ada toko, tidak ada isinya sama sekali. Jadi tidak bisa beli apa-apa”

“Ya namanya perang. Pasti sulit makanan. Meskipun mungkin ada uang, tidak ada barang/makanan. Makanya mama selalu marah kalau kalian buang makanan atau mata gede (istilah mamaku kalau mengatakan rakus)”

“Tapi kan Riku tidak pernah buang makanan. Riku selalu habiskan makanan siang di sekolah kok.”

“Iya. Harus begitu. Pokoknya mama ngga suka orang yang buang makanan. Mama selalu berusaha mendaur-ulang makanan yang sisa, karena mama tidak mau buang makanan.”

…… sambil aku mencuci piring…..

Somo-somo (Pada dasarnya) …. kenapa sih harus berperang? Apa yang bagus dari berperang?”

(Great Riku. Bagus anakku, kamu sudah berpikir begitu saja sudah bagus…)

“Ya memang tidak ada gunanya berperang. Begini Riku. Anggap saja berperang = bertengkar/berkelahi. Riku ingin kartu/barang orang lain. Ingin sekali memilikinya, sehingga Riku berkelahi, memukul orang itu dan mengambil kartunya. Memaksa orang itu memberikan. Nah perang juga sama, suatu negara menginginkan tanah negara lain yang subur dan kaya. Lalu mereka berperang….”

“Jadi yang salah pemerintah kan?”

“Ya…..” Dan saat itu aku merasa sudah waktunya Riku mengetahui soal buyutnya. “Riku, opanya mama. Papanya opa Jakarta, pernah ditawan menjadi tahanan perang di Kyushu. Waktu Nagasaki dibom atom, opa buyut kamu itu ada di Kyushu dalam pabrik pembuatan kapal sebagai romusha. Karena  itu opa tidak suka Jepang. Pasti dong karena dia dipaksa bekerja. ”

Wajah Riku berubah…”Kasihan opa…”

“Jadi opa juga tidak begitu suka waktu mama masuk Sastra Jepang. Kok mempelajari musuh. Apalagi Mama ke Jepang, dan menikah dengan orang Jepang 🙂 . Tapi waktu bertemu dengan papa Gen, Opa mengatakan, “Semua orang baik. ” dan merestui pernikahan kami.”

(Aku tidak menjelaskan lebih detil lagi bahwa sebetulnya papanya oma juga ditahan sebagai romusha juga di Jepang —aku lupa nama tempatnya— di tambang timah, dan pulang dalam keadaan sakit. Opa Mutter tidak pernah bercerita apa-apa tentang pengalamannya di Jepang. Beliau juga meninggal tahun 1981 dalam usia 81, waktu aku masih SMP. Kalau Opa Coutrier banyak bercerita tentang pengalamannya sampai usianya 88 dan meninggal tahun 2000.  Gen sempat bertemu dengan Opa Coutrier Agustus 1999, dan mendapatkan berkatnya)

opa, tante-tante dan keluarga miyashita sebelum kami nikah

“Iya semua orang baik. Orang-orang terpaksa berperang karena pemerintahnya mau berperang. Padahal mereka tidak mau berperang. Yang tidak baik pemerintahnya kan Mama…”

“Makanya mama tidak suka orang bertengkar, berkelahi, pukul-pukulan… semua itu awal dari rusaknya perdamaian.”

Dan malam itu kami bertiga makan nasi kepal onigiri, hanya nasi putih dengan garam lalu dibalut rumput laut. Sederhana tapi nikmat.

Dan sebelum tidur aku minta Riku untuk berdoa.

“Mama aja, Riku ngga bisa”
“Loh kok ngga bisa. Doa apa saja”
“Tapi aku tidak bisa berkata yang bagus”
“Tuhan tidak cari yang bagus, tapi yang dari hati. Nanti mama bantu…”

Dan anakku ini berdoa, ” Kamisama (Tuhan), hari ini Kai seharian dia di rumah, semoga dia besok mau pergi ke penitipan sesuai janjinya. Lalu mama, seharian mama bekerja di rumah, semoga mama besok bisa istirahat. Kamisama (Tuhan) hari ini Riku belajar tentang perang. Perang itu tidak bagus. Tolong papa juga supaya bisa pulang dengan selamat sampai di rumah. Amin”

Doa dari anakku membuatku terharu, dan mengatakan…

“Riku tahu Nagasaki kan? Kena bom atom. Ratusan ribu orang mati. Kotanya hancur. Tapi ada satu gereja di tengah kota yang tidak hancur. Tuhan ada. Mama dan Papa ingin sekali ke sana suatu waktu. Tuhan ada di mana-mana nak”

Lalu Kai berkata, “Tuhannya Kai? Ada di Jakarta? Eh? Ada di Tokyo. ”

Lalu kujawab. “Tuhan ada di dalam hati kamu,  Kai dan Riku dan mama. Sehingga kita selalu bawa Tuhan ke mana-mana. Kalau takut berdoa saja. Pasti Tuhan tolong”

Dan kulihat Riku di samping kiriku sudah terlelap. Satu hari yang indah untuk Riku…dan untukku.

Di depan Atomic Bomb Dome, pada tahun peringatan 50 th Bom Atom di Hiroshima

 

(Waktu kuceritakan percakapanku dengan Riku pada Gen, dia mengatakan…”Ah Riku sudah besar ya. Dalam badan yang kecil dia sudah punya hati yang besar. Aku iri, aku ingin bisa bercakap-cakap seperti itu dengan anakku”)

 Diterbitkan pada tanggal: 11 Mar 2011 @ 14.44 persis 2 menit sebelum Gempa bumi Tohoku terjadi 🙁