Bisakah kehilangan kenangan?

24 Des

Mungkin bisa ya setelah lewat waktu tertentu. Ada yang singkat, tapi ada yang lama tergantung jadi seberapa lekatnya kita dengan sesuatu atau seseorang. Ada yang mungkin tidak bisa terhapus dari ingatan dan perasaan kita….. selamanya.

Terus terang aku menitikkan airmata waktu membaca postingan dari Pito yang berjudul Kehilangan dan Melepaskan. Timingnya pas sekali dengan kejadian di keluarga kami kemarin (23 Desember) , meskipun obyeknya berbeda. Jauh berbeda. Jika dalam tulisan Pito adalah perpisahan antara anjing dengan temannya (yang anjing dan manusia). Dalam keluarga kami hanyalah perpisahan dengan sebuah benda yang amat berjasa bagi keluarga kami. Dialah “kaki” kami sekeluarga. (kaki = ashi 足,  dalam bahasa jepang  juga dipakai untuk melambangkan kendaraan. 足がない ashiga nai bukan berarti kakinya tidak ada, tapi alat transport tidak ada )

Waktu aku melahirkan Riku, kami belum mempunyai mobil. Kemana-mana aku harus naik kendaraan umum (untung saja aku berhenti naik sepeda begitu tahu hamil). Naik turun tangga, dan waktu itu stasiun terdekat rumah kami masih dalam taraf pembangunan, jadi belum ada lift atau elevator untuk naik ke peron statisiun. Perasaan waktu itu hampir semua stasiun yang aku gunakan untuk bekerja belum dilengkapi dengan lift atau ekskalator, sehingga kadang aku harus naik atau turun di stasiun yang ada eskalatornya. Kok ngoyo benar cari eskalator? Ya karena kehamilan Riku bermasalah sehingga aku tidak boleh naik/turun tangga (padahal kerja samapai kandungan berusia 7 bulan hihihi)

Setelah melahirkan juga belum mempunyai mobil. Jadi kalau pergi ke mana-mana aku harus menggendong Riku bayi, naik bus dan kereta. Waktu itu aku juga tidak membeli baby car (kereta dorong bayi) karena justru menyulitkan waktu akan menaiki kendaraan umum sendirian.Aku masih terus menggendong Riku sampai dia berusia 2 tahun dengan berat 17 kg (memang Riku waktu kecil jauh lebih subur dari Kai hihihi).

Nah, melihat “perjuangan”ku pergi kemana-mana naik kendaraan umum, bapak mertua memberikan mobilnya untuk kami Riku. Karena dia mau membeli yang baru. Dia memang pecinta Volkwagen Golf, sehingga dia ingin membeli model terbaru yang keluar waktu itu, 4 tahun yang lalu. Sejak itu si Vewe menjadi bagian dari keluarga kami.

Si Vewe yang berjasa. otsukaresamadeshita... you've a good job (baru sadar liat mukanya Gen sedih gitu hihihi)

“Waduh sensei hebat banget, mobilnya buatan eropa 外車…. orang kaya ya?” Itu kata mahasiswaku yang melihat Gen menjemputku pada sebuah acara universitas. Waaahh, justru karena tidak kaya, maka merawat mobil eropa menjadi “beban” bagi kami. Kami harus mengikuti Test uji kendaraan setiap 2 tahun dengan biaya yang tidak sedikit. Dan pasti harus ganti ban juga. Belum lagi pajak kendaraan yang harus dibayar setiap tahun . Sehingga akhirnya kondisi mobil terakhir menjadi dua kaca kanan, depan belakang tidak bisa dibuka karena rotornya rusak… begitulah segala yang otomatis. Jadi kalau supir harus membayar tol atau parkir, harus membuka pintunya. Saat seperti itu aku jadi ingat ,…. seandainya jendelanya masih manual hihihi. Jendela tidak bisa dibuka, tapi juga meninggalkan celah yang terpaksa kami tutup dengan selotip. Memalukan.

Kebetulan pertengahan tahun depan si Vewe harus ikut test uji kendaraan, dan pasti kami harus membayar banyak untuk servis ini itu. Dan kebetulan pemerintah Jepang memberikan potongan pajak sampai 75% waktu membeli  eco-cars (sampai dengan Maret 2010)….jadilah kami sepakat mengganti Si Vewe dengan Honda Fit (Katanya kalau di Indonesia namanya menjadi Jazz… Gen bilang kok bagusan nama Indonesia yah hihihi). Kata Pito, “kenapa ngga yang Hybrid nte?”… Wihhh pengen tapi harganya 3 kali lipat bo…..

old (kiri) and new (kanan)

Dengan bercucuran airmata (duh lebay amat yak) kami berpisah dengan si Vewe kemarin siang. Memang mobil itu banyak menyimpan kenangan. Bukan saja untuk kami tapi juga untuk bapaknya Gen. Karena itu hari Minggu yang lalu, kami menyempatkan diri ke Yokohama untuk memperlihatkan mobil yang telah banyak berjasa ini kepada bapak mertuaku.

Pulang menaikki si “Jazzy” ini memang terasa lebih luas, meskipun dari sisi pengendara kami berdua lebih senang memakai gigi perseneling(manual)  daripada otomatic. But, menyetir di Tokyo yang macet lebih enak pakai otomatic memang.  (Jangan sangka Tokyo lancar loh jalannya, meskipun tidak separah Jakarta, Tokyo juga bisa macet pada jam sibuk). Dan terus terang kami sebetulnya “membeli” keamanan dalam berkendara. (Selain juga kado Natal untuk semua anggota keluarga)

Banyak hal menarik yang aku temui waktu mengurus pembelian mobil ini berkenaan dengan pajak dan peraturan serta kepedulian lingkungan di Jepang. Tapi aku pending dulu ya, soalnya ovenku sudah berdering, pertanda kue bolu yang kubakar sudah matang.

Tahun baru dengan "kaki" baru