Maaf

16 Okt

Baru saja aku menonton berita TV, sambil menemani Gen makan malam. Dalam berita itu ditayangkan sebuah balon udara yang melayang-layang tidak menentu di udara tanpa kemudi (Kejadian di Amerika). Tapi semua orang memperhatikan balon udara ini dengan cemas, karena dikatakan ada yang melihat seorang anak berusia 6 tahun yang tepat sebelum balon udara ini terlepas dari ikatannya, masuk ke dalamnya. Jadi diperkirakaan anak itu melayang tanpa kendali sendirian.

Tak kurang dari helikopter dan polisi mengejar-ngejar balon udara itu, dan akhirnya setelah melanglang (buana) mendarat dan berhasil ditangkap. TAPI… ternyata si anak tidak ditemukan….

Ternyata si anak, tidak ikut terbang bersama balon udara itu! Dia sempat turun dan karena takutnya bersembunyi. Dia takut dimarahi ayahnya.

Nah, tentu saja si Ayah waktu menemukan anak itu, langsung memeluknya, dan mendengar pengakuannya bahwa dia takut, dan mengatakan, “Maafkan ayah ya… kamu takut makanya kamu sembunyi ya…”Sambil mengecup anak itu di depan kamera televisi yang meliput.

Sebuah tindakan yang WAJAR sekali bukan? Tapi tindakan ini TIDAK WAJAR jika kejadiannya di Jepang. Jika di Jepang, si AYAH akan membungkuk menghadap kamera dan mengatakan, “Maaf kami telah merepotkan dan membuat keributan.” Tanpa ada usaha untuk memeluk si anak. Masyarakat umum lebih penting daripada si Anak. Dan terus terang hal ini yang membuat aku HERAN dan BENCI sifat orang Jepang yang ini. Memang aku tahu Jepang sangat mengagungkan kelompok daripada individu, tapi kok ya keterlaluan gitu sampai anak saja menjadi korban?

Mumpung lagi ngedumel, satu lagi yang sering mengganjal hatiku jika melihat berita tentang murid yang meninggal di sekolah, entah karena kecelakaan atau bunuh diri akibat bullying (ijime). Di situ pasti ada pihak sekolah yang mengucapkan maaf di depan media, karena kejadian yang memalukan itu bisa terjadi. Tidak jarang, setelah kejadian kepala sekolah yang bersangkutan mengundurkan diri dari jabatan, sebagai wujud tanggung jawabnya. Bagus memang, karena berarti sekolah amat sangat bertanggung jawab atas kegiatan muridnya. Tapi kalau meninggalnya di rumah, kok pihak sekolah juga yang harus meminta maaf? Seakan-akan jika anak sudah bersekolah, maka keluarga melepaskan tanggung jawabnya, dan seluruh tanggung jawab tentang anak ini berada pada pihak sekolah. Mungkin memang benar karena dilecehkan di sekolah, maka si anak mengambil tindakan nekat dengan bunuh diri di rumah, tapi…. kalau di rumah semestinya kan ada pihak keluarga, yang sebetulnya bisa juga mencegah si anak agar tidak bunuh diri?

Maaf, aku sudah mulai tidak fokus nulisnya, jadi aku hentikan saja di sini. Yang pasti aku masih merasa untung dan bangga menjadi orang Indonesia, yang masih lebih memperdulikan anak-anak ketimbang masyarakat. Karena pasti aku akan berbuat seperti ayah yang di Amerika itu.