Anak-anak dan mainan memang tidak bisa dipisahkan. Sehingga terkadang orang dewasa yang masih suka dengan mainan akan diejek, “Kamu itu seperti anak-anak saja!”. Padahal mainan itu juga diperlukan oleh orang dewasa sebagai hiburan.
Di Jepang ada peribahasa” よく学びよく遊べ Banyak belajar banyak bermain”. Bahkan ditekankan dalam keterangan pepatah itu : りっぱな人間になるためには、勉強するときにはしっかりと勉強をして、遊ぶときにはとことん遊ぶべきだということ (Untuk menjadi manusia yang sempurna, waktu belajar, belajar sungguh-sungguh dan waktu bermain juga harus benar-benar bermain). Dan untuk bermain memang ada dua jenis, dengan alat atau tanpa alat. Setiap orangtua tentu ingin membelikan alat bermain/ mainan kepada anak-anaknya dan idealnya memang membelikan mainan yang edukatif dan kreatif sehingga selain bermain, anak-anak juga dirangsang untuk berpikir dan berkreasi. Dan mainan edukatif ini beraneka ragam jenis dan bentuknya.
Anakku Riku (8tahun) belum sampai setahun ini sangat getol dengan mainan LEGO. Tahu Lego kan? Sering orang Indonesia menamakan LEGO untuk segala macam mainan balok, tapi sebetulnya Lego adalah merek! Ya fenomena yang sama dengan penamaan semua carian penghapus dengan TippEx padahal mereknya bukan TippEx, atau Yamaha untuk semua sepeda motor. (Bisa baca tulisannya Donny yang ini). Kembali lagi ke Lego, aku cukup terperanjat waktu aku bercakap-cakap dengan sahabatku Ria, dan dia mengatakan dia tidak tahu LEGO itu apa. Pikirku semua orang tahu LEGO itu apa…. padahal jelas saja kalau tidak punya anak, mungkin tidak tahu apa itu LEGO. Kata Ria: “Maklum mbak dulu waktu kecil tidak ada uang untuk beli mainan begitu….” Waaaah aku juga sama lah. Aku bahkan sama sekali tidak punya mainan, baik boneka, atau karakter-karakter lain. Makanya begitu gede aku pernah membeli boneka anjing besar yang kunamakan Ben! (Padahal ngga dimainin juga sih….. memang dari sononya tidak suka mainan!)
Aku juga tidak tahu sejak kapan aku tahu soal mainan LEGO. Mungkin aku tahu lewat iklan atau gambar di TV. Dan aku pernah melihat sebuah tayangan di televisi Jepang mengenai pabrik Lego (entah di mana) yang begitu besar, dan masing-masing pegawai bisa memakai sepatu roda dan atau segway dalam pabrik dan dibiarkan mempunyai jiwa bermain, untuk bisa membuat lego-lego bentuk baru. Rasanya enak sekali bekerja di sana.
Lego berasal dari Billund, Denmark yang sejarahnya dimulai tahun 1940-an. Penciptanya Ole Kirk Kristiansen yang awalnya membuat balok-balok kayu tahun 1932. Perusahaannya bernama Lego, berasal dari bahasa Danish (Bahasa yang dipakai di Denmark) : leg godt yang berarti bermain dengan baik. Pada tahun 1947 bahan balok-balok ini berubah menjadi plastik, dan tidak mengalami kemajuan karena banyak orang yang lebih suka pada balok-balok kayu. Lego modern dikembangkan tahun 1958 dengan suatu ukuran yang pasti, sehingga loga dari tahun 1958 itu masih tetap dapat dipakai (disambung-sambungkan) sampai dengan sekarang.
Lego pertama Riku waktu dia berusia 1 tahun adalah DUPLO yang ukurannya besar. Kebetulan paket yang kami beli itu berjudul “kebun binatang” sehingga ada bentuk binatang, pohon kelapa, bunga selain kotak-kotak beraneka ragam. Baru waktu dia berusia 4 tahun dia mempunyai lego ukuran standar, bahkan sampai mempunyai 2 kotak besar, satu di rumah kami dan satu di rumah mertua. Tapi waktu Riku kecil, dia belum begitu aktif bermain lego ini, karena mungkin belum menemukan “keasyikan”nya.
Tapi waktu Kai berusia 3 tahun, dia sering mengambil Legonya Riku. Mungkin mulai saat itu Riku (usia 7 tahun)merasa tidak mau kalah dengan adiknya, dan kebetulan 3 teman bermainnya gandrung dengan lego. Game nintendo yang mendominasi permainan waktu Riku berusia 5-6 tahun akhirnya sekarang hanya dipegang sekali sebulan (dan mamanya bersorak-sorak)
Dan kalau berbicara soal mainan Lego ini, aku sering harus menahan nafas. Harganya mahal! Karena itu kami hanya membelikan waktu ada peristiwa khusus misalnya ulang tahun dan natal. Tapi melihat “passion” dia waktu membangun bentuk-bentuk yang dia inginkan, melihat kemungkinan-kemungkin memakai parts kecil-kecil atau bahan lain digabungkan untuk mewujudkan kreasi yang dia inginkan, aku juga jadi semangat untuk membantu dia mengumpulkan bagian-bagian yang dia inginkan (kalau perlu aku berkorban tidak membeli lunch waktu kerja untuk bisa membelikan parts itu). Dia membuat luncuran dari karton bundar bekas tissue WC, atau memakai benang transparan menggantungkan jendela atau orang-orangan supaya dapat meluncur atau melayang. Dengan bantuanku dia membuat mantel hitam bagi orang-orangannya. Jadi lego yang dijual dengan motto “membina kreatifitas” juga bisa diperluas dengan melengkapi memakai bahan-bahan lain. Sayangnya Riku masih belum bisa menambahkan “motor” untuk menggerakkan parts-parts atau menambahkan lampu kecil. Dia masih terlalu kecil tapi jalan menuju itu terbuka lebar.
Sekarang Riku sedang jatuh cinta pada set yang mengambil cerita dari Star Wars, dan kalau mau mengumpulkan semuanya bisa jutaan. Lucunya dia malah tidak mengikuti bentuk yang sudah ada, tapi membuat kreasi sendiri, misalnya pangkalan dan pesawat yang aneh-aneh, tidak sesuai dengan manualnya. Setiap kali ada parts baru yang temannya punya, maka dia juga akan minta dibelikan. Biasanya kalau mahal aku menyuruhnya menunggu sampai Natal. Kalau murah, dia harus menunjukkan test dengan nilai 100 dulu baru dibelikan.
Yang payah, suamiku memang sering mencari informasi mengenai Lego untuk Riku. Loh kok payah ya? hehhee… iya maklum emak-emak selalu khawatir untuk mengeluarkan duit untuk mainan. Bisa dibayangkan kalau tambah suka Lego, tambah banyak yang dibeli, tambah banyak uang yang dikeluarkan, dan…tambah berantakan deh rumahnya :D. Tapi Gen (dan saya tentunya) ingin agar anak-anak mempunyai sedikitnya satu hobi yang ditekuni sungguh-sungguh. Sekarang Riku masih dalam proses mencari seperti menangkap kupu-kupu dan membuat specimen, atau mengumpulkan perangko, memasak dll.
Gen menemukan sebuah informasi tentang sebuah proyek untuk membuat “Sky Tree” dari 133.320 buah lego yang kemudian dipamerkan di National Museum of Emerging Science and Innovation tanggal 22 Mei yang lalu. Proyek ini diikuti 100 anak selama 40 hari! Sayang kami terlambat mendaftarkan Riku untuk ikut acara itu (tempatnya jauh juga sih). Katanya sih skalanya 1:100 dibandingkan aslinya. Bisa dibayangkan semangat anak-anak itu membangun sesuatu yang spektakular, dari mainan.
Selain itu dari informasi yang didapat Gen, di Universitas Tokyo, universitas nomor satu di Jepang, ada klub pecinta Lego (Bayangkan mahasiswa saja masih suka mainan Lego hihihi)! Jadi Riku pernah berkata: “Aku mau masuk klub itu”
“Ya tentu boleh saja, tapi masuk Universitas Tokyo itu susaaaaah sekali loh. Musti belajar rajin, karena hanya anak pintar yang bisa masuk Universitas Tokyo”….
Ya, memang katanya banyak anak yang mau masuk Universitas Tokyo hanya karena ingin masuk klub Lego itu. hihihi. Semoga tercapai deh (dan tidak berubah).
Jadi memang kadang kita harus mengeluarkan uang untuk membeli mainan bagi anak-anak. Anggap saja mainan itu sebagai INVESTASI untuk masa depan anak-anak kita. Soal mahal atau murah tentu bisa disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan prioritas keluarga masing-masing.
Artikel ini untuk memeriahkan Mainan Bocah Contest di Surau Inyiak
(Dan sebetulnya hari Minggu siang ini, Riku dengan papanya sedang pergi ke Festival SMP/SMA almamater papanya, yang menampilkan juga klub Lego. Tapi aku tidak bisa menunggu foto-fotonya karena hari ini adalah hari terakhir Kontes Mainan Bocah)