Kuambil buluh sebatang
kupotong sama panjang
kuraut dan kutimbang dengan benang
kujadikan layang-layang
bermain….berlari…….
bermain layang-layang
bermain kubawa ke tanah lapang
hati gembira dan riang
Masih ingat lagu ini? Terus terang aku lupa! Nah, pas aku cari-cari di google dengan kata acuan “layang-layang”, keluarlah lagu ini di Youtube. Pas aku dengar…well,…. aku tahu kok lagu ini. Cuma memang jarang masuk repertoire untuk dinyanyikan seperti “desaku” atau “kasih ibu”.
Nah, mudik kami memang rasanya seperti antiklimaks. Sejak pergi ke TL, RD, dan kopdar tgl 2, rasanya tidak ada kegiatan besar yang kami lakukan. Untung saja waktu aku bercakap-cakap dengan kakak kelas di SMA, Retty dia mengajak aku pergi ke museum layang-layang. Wehhh ada ya museum layang-layang di Jakarta? Akhirnya kami janjian untuk pergi ke sana tgl 14 Agustus 2010.
Kami, Retty dengan 3 anak, Aku dengan 2 anak dan Krismariana sampai di museum layang-layang ini sekitar pukul 11 siang. Harga tanda masuk di sini seorang Rp 10.000 yang sudah termasuk dengan pembuatan layang-layang. Tapi di sini juga bisa membuat keramik dan melukis T-Shirt yang masing-masing biayanya Rp. 50.000.
Nah, sebelum masuk museum kami diantar masuk ruangan untuk menonton video mengenai layang-layang. Videonya dilengkapi subscript, tapi terus terang saja, saya tidak tonton. Lebih asyik menonton anak-anak yang bermain dalam ruangan itu. Retty membawa 3 anaknya, yang paling tua Ray dan si kembar Sisco dan Rafael. Nah si Sisco dan Rafael itu bener-bener “kakak” yang baik untuk Kai. Mereka mau aja dijadikan kuda-kudaan oleh Kai, dan yang lucu jika melihat mereka “bercakap-cakap”. Ah…anak-anak memnag tidak perlu bahasa tertentu untuk bisa berinteraksi. Mereka benar-benar anak yang baik (well, pada dasarnya semua anak dilahirkan baik kan?).
Setelah selesai menonton kami menuju ke halaman belakang. Benar-benar asri tempat ini. Museum layang-layangnya sendiri terletak di gedung paling belakang, dengan pendopo yang secara keseluruhan kecil tapi cukuplah jika mengingat tempat ini dikelola pribadi (bukan pemerintah…dan lebih baik jangan diserahkan pemerintah deh hehehe). Ibu Endang W. Puspoyo yang mendirikan tempat ini tahun 2003.
Kami dipandu oleh mbak staff yang menjelaskan tentang layang-layang yang ada di dalam ruangan. Ada layang-layang yang terbuat dari kantong plastik kresek, ada yang dari daun ubi, dari tikar atau kreasi lainnya. Ada juga perwakilan dari propinsi, seperti dari Kalimantan Selatan yang memang besar-besar. Dan baru di sini aku mengetahui, bahwa di setiap ujung layang-layang itu terpasang semacam suling, dari bambu atau kayu, yang akan berbunyi jika terkena angin.
Tentu saja ada layang-layang dari manca negara juga, termasuk dari Jepang dan Cina, yang sejarahnya lebih tua daripada layang-layang Indonesia. Di meja hias yang terletak di tengah ruangan terdapat berbagai pernik mengenai layang-layang, termasuk perangko khusus layang-layang. Aduh aku ngiler sama perangkonya deh. Dan kelihatannya aku menemukan lagi teman satu hobby, karena Retty juga ternyata pengumpul perangko. Sayang kita belum sempat bercakap-cakap banyak mengenai perangko, karena kami juga harus mengawasi anak-anak yang berjumlah 5 orang, laki-laki lagi…. “Awas jangan pegang itu…” “Hati-hati…nanti rusak”…. dsb dsb.
Kadang aku juga membayangkan jika aku menjadi anak yang selalu dilarang ini itu oleh orang tuanya. “Jangan pegang…nanti rusak!” Padahal, aku (sebagai anak) juga tidak mau kok merusak barang. Kenapa kok tidak ada kepercayaan bahwa aku tidak akan merusak ya? Kenapa ini itu tidak boleh? Padahal aku ingin tahu banyak tentang hal itu. Hmmmm di Jepang mungkin wadahnya sudah ada. Karena seandainya pun rusak, tidak apa-apa. Museum di Jepang sudah melengkapi barang-barang pamerannya yang antik-antik dengan “pelindung” sehingga kemungkinan untuk rusak sedikit. Anak-anak boleh memegang sarana yang memang khusus disediakan untuk dipegang, dicoret, dicoba tanpa perlu takut rusak. Menyediakan khusus untuk anak-anak itu yang mungkin negara kita belum bisa, karena memang butuh dana yang tidak sedikit. (Boro-boro untuk anak-anak mel….menyediakan museum yang layak saja sepertinya susaaaah sekali hihihi).
Aku tahu anak-anak cepat bosan, karenanya kami cepat-cepat mengakhiri kunjungan kami dalam ruangan museum, dan keluar ke pendopo. Di pendopo sudah tersedia kayu panjang sebagai alas untuk membuat layang-layang. Karena ada 5 anak-anak disediakan 4 bahan untuk membuat layang-layang, dan untuk Kai yang masih kecil, disediakan kertas yang bisa diberi warna dan dijadikan layang-layang oleh staf museum.
Dan di pendopo ini aku bisa bersua dengan teman blogger lama, Nenny Dewi Rhainy yang khusus datang jauh-jauh dari Tangerang ke Pondok Labu ini untuk menemuiku, bahkan mereka sebetulnya duluan sampainya ke museum ini. Jadilah kami bercerita-cerita di pendopo, karena abang Shafa dan Audri-chan sudah selesai membuat layang-layang mereka. Kami bertukar kabar setelah 1,5 tahun tak bertemu, yaitu sejak kopdar di Omah Sendok. Senang sekali rasanya bertemu teman lama. Meskipun kadang-kadang kami masih saling menyapa lewat YM atau FB, tapi namanya ibu rumah tangga kan selalu ada saja yang harus dikerjain, harus dipikirin…. terutama mikirin keluarga tentunya ya Nenny…hihihi.
Karena Mas Totok, suami Nenny ada urusan jam 2, dan Nenny sendiri ada janji ke dokter jam 3, jadi pukul 12 kami berpisah. Pertemuan yang singkat tapi menyenangkan. Terima kasih banyak ya Nenny…. ditunggu loh tulisan-tulisannya lagi kalau sudah bisa menulis lagi.
Setelah anak-anak menyelesaikan layang-layang mereka, mereka mencoba menerbangkannya di halaman museum yang cukup luas, meskipun tidak bisa tinggi-tinggi. Sementara itu aku, Retty dan Krismariana menjenguk bangunan di tengah-tengah kompleks yang sepertinya dulunya merupakan rumah kediaman Ibu Endang. Hmmm….ngeri juga tinggal di situ ya, meskipun tampaknya adem meskipun tanpa AC. Banyak koleksi antik dan kain-kain yang dipajang di situ.
Kemudian anak-anak dipanggil oleh staf ke tempat terbuka seperti kantin, yang khusus dipakai untuk membuat keramik. Di atas meja sudah tersedia 5 bungkahan tanah liat untuk dibentuk. Karena Kai masih terlalu kecil, jadilah mamanya yang memakai bungkahan tanah liatnya Kai. Dan…aku senang sekali, karena memang aku ingin sekali belajar membuat keramik. Nanti jika Kai sudah sekolah, aku mau mencoba masuk kelas keramik, atau kelas Taiko (genderang Jepang) atau kelas caligrafi… atau fotografi, nah nah nah…ketahuan deh my wishlist yang seabreg-abreg itu (dan tampaknya nanti akan berakhir di depan komputer juga hehehe).
Kami disuruh membuat sebuah jambangan bunga yang sudah ada contohnya, tinggal membuat serupa dengan contoh. Kami menyambung bagian-bagian dengan lem tanah liat karena tanpa lem itu bagian-bagian itu bisa berantakan waktu dibakar. Riku tentu saja menciptakan banyak bentuk-bentuk baru seperti gajah, boneka salju dan manusia dengan bungkahan tanah liat jatahnya. Dia sudah biasa main lilin di sekolahnya sih. Dan aku merasa bodoh tidak sempat membuat foto hasil karyanya sebelum dibakar. Lupa!
Sebetulnya setelah membuat keramik ini kami lebih baik pulang, karena anak-anak belum makan siang. Tapi karena Riku ingin seklai membuat T-Shirt, jadi aku biarkan mereka melukis T-shirt cepat-cepat. Tadinya kupikir T-Shirtnya kosong melompong, dan anak-anak bisa melukis apa saja. Ternyata sudah ada gambar dan tulisannya, tinggal mewarnai saja. Hehehe…semestinya judulnya bukan melukis T-Shirt, tapi mewarnai T-Shirt.
Nah, di sini Kai tetap mau melukis T-Shirt bagiannya. Tentu saja semaunya dia hehehe. Jadi setelah dia puas membuat “totol-totol” di kaosnya, aku yang melanjutkan memperbaiki dan menulis nama Kai dengan Kanji. Riku? Riku sih selalu tegas dan pede dalam mewarnai. Dia punya pilihan warna tertentu yang lain dari yang lain. Menurut ibu mertuaku, warna pilihan Riku adalah “warna riang”.
Jam setengah tiga, 5 anak kelaparan dan 3 ibu kecapekan naik mobil pulang. Kami sempat menjemur T-Shirt yang masih belum kering cat nya di sandaran kursi mobil. Sambil menyusuri jalan Fatmawati yang macet, aku memangku Kai yang bersikeras duduk di depan, samping Retty yang menyupir. Karena tidak tahan lapar, akhirnya kami mampir di Kentuckynya De Best untuk makan siang. Dan di situ aku sempat “berkelahi” dengan Kai yang manjanya minta ampun. Mungkin karena terlalu capek dan lapar dia terlanjur rewel. Susah deh…..
Tapi pengalaman satu hari ini di Museum Layang-layang benar-benar membekas di hati kami. Terima kasih banyak ya Ret, sudah memperkenalkan museum yang bagus ini, dan bahkan antar jemput sampai di rumah. Senang sekali bertemu dengan anak-anak kamu yang begitu sayang pada Riku dan Kai. Hasil keramiknya ternyata tidak selesai sampai waktu kami kembali ke Tokyo, sehingga tidak bisa kami bawa, atau at least memotret hasilnya. Tapi pengalaman itu tidak akan terlupakan.
Untuk keluarga yang mau mencari kegiatan bersama, aku sarankan pergi ke museum Layang-layang ini. Mereka buka setiap hari dari jam 9:00 sampai jam 4:00 tapi kalau hari biasa justru harus menelepon dulu karena sering menerima kunjungan rombongan sekolah (termasuk sekolah Jepang) . Meskipun akhir pekan, biasanya tidak banyak yang datang sehingga bisa langsung datang, dan paling sedikit bisa membuat layang-layang.