Kami dan Diksi

18 Jan

Diksi adalah pilihan kata yg tepat dan selaras (dl penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (spt yg diharapkan) KBBI Daring

Tidak pernah terlintas di pikiranku untuk menikah orang Jepang. Apalagi dia itu kembar! Dan yang lucunya kami bertiga berulang tahun di hari yang sama, 14 Januari. Imelda-Gen-Taku. Tapi sudah sejak 8 tahun lalu, aku dan Gen tidak bisa merayakan ulang tahun bersama. Gara-garanya tanggal itu biasanya berbenturan dengan pelaksanaan ujian masuk universitas Jepang, yang dinamakan Senta Shiken センター試験. Percuma ulang tahun sama tapi tidak bisa rayakan bersama hehehe. Apalagi merayakan bertiga dengan Taku, yang tinggal di Sendai. Sulit deh.

Sebetulnya aku mau menuliskan posting ini dan dipublish tepat tanggal 14 Januari. Apa daya, aku sedang malas menulis karena aku lebih punya kewajiban lain yaitu mengatur rumah yang kamarnya sedang dibongkar. Kamar studioku kuberikan pada Riku untuk dia belajar, jadi membeli satu set meja belajar untuk dia, dan… harus memindahkan dan membuang barang-barangku yang tadinya ada di kamar itu. Benar-benar kerjaan tuh.

Ceritaku ini berpusat mengenai adik iparku, Taku. Aku sudah cerita kan bahwa kami mengadakan perjalanan spiritual ke Sendai/Tohoku tanggal 7-8-9 Januari lalu. Salah satu tujuan kami adalah juga menghibur Taku. Waktu tahun baru dia tidak bisa pulang ke rumah orang tuanya di Yokohama, karena harus bekerja. Juga tidak bisa melewatkan tahun baru bersama istri dan anaknya yang sedang mengungsi ke Miyazaki, selatan Jepang. Memangnya kerja apa sih sampai Tahun Baru juga bekerja?

Taku bekerja sebagai wartawan di surat kabar daerah Tohoku bernama Kahoku Shimpo. Entah apa yang menyebabkan dia memilih kerja di koran daerah, yang menyebabkan dia tentu harus tinggal terus di daerah Tohoku, dipindahtugaskan juga masih dalam lingkungan Tohoku (dan dia pernah ditugaskan di Ishinomaki, daerah yang waktu gempa kemarin terkena musibah tsunami parah.) Tapi dia sudah bekerja di sana sejak lulus universitas, jadi sudah hampir 20 tahun ya.

 

Gougai (lembaran ekstra) yang dibagikan di depan Stasiun Sendai

Bisa bayangkan pekerjaan sebagai wartawan seperti apa? Tentu meliput berita ke mana-mana. Dari berita bagus sampai berita jelek. Nah waktu gempa Tohoku terjadi,wartawan-wartawan ini tentu harus turun ke jalan juga. Tapi bagian pekerjaan adik iparku ini adalah menyusun mengedit judul berita. Dalam keadaan gelap tanpa listrik dan pemanas (bulan Maret masih dingin), harian Kahoku Shimpo ini tetap terbit! Karena masyarakat terutama pelanggan tentu ingin tahu kabar berita mengenai musibah yang baru saja dilewati. Informasi itu amat dibutuhkan.  Tepatnya 7  jam setelah gempa terjadi, di depan stasiun Sendai dibagikan Gougai 号外 koran extra yang biasanya diterbitkan jika ada berita khusus darurat. Itupun rupanya dengan kerja keras sekali, karena data komputer rusak. Untung percetakan masih bisa dipakai untuk mencetak surat kabar. Dan bayangkan kehidupan warga yang sama sekali tak punya akses informasi lewat TV atau radio karena tak ada listrik? Tentu saja mereka senang menerima informasi tertulis meskipun judulnya, “Miyagi Gempa Skala 7 (Ukuran Jepang)”, karena warga haus berita.

Riku dan om nya di depan poster cover buku

Cerita tentang Surat kabar daerah Kahoku Shimpou waktu musibah Gempa dan tsunami itu bisa dibaca dalam buku, “Kahoku Shimpou no ichiban nagai hi 河北新報のいちばん長い日- それでも新聞をつくり続けた” Hari Terpanjang bagi Kahoku Shimpou - namun terus membuat surat kabar. Tapi tentu saja dalam bahasa Jepang, sehingga teman-teman yang tidak bisa bahasa Jepang tidak akan bisa mengerti. Nah yang ingin aku sampaikan adalah pemilihan kata yang tepat dalam kondisi seperti dalam musibah dasyat seperti Gempa Tohoku itu. Ada satu cerita dalam buku itu yang mengetengahkan adik iparku. Karena dia yang bertugas mengedit judul, dia sempat berperang batin. Semua tentu tahu berita itu harus disampaikan sebenar-benarnya dan sejelas-jelasnya. Ada Judul tulisan masuk  seperti ini: “MATI (死者): Puluhan ribu! ” Apakah bisa dipakai kata mati di sini?

ma·ti v 1 sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi: anak yg tertabrak mobil itu — seketika itu juga; pohon jeruk itu sudah — , akarnya pun sudah busuk; 2 tidak bernyawa; tidak pernah hidup:batu ialah benda –; 3 tidak berair (tt mata air, sumur, dsb); 4 tidak berasa lagi (tt kulit dsb); 5padam (tt lampu, api, dsb); 6 tidak terus; buntu (tt jalan, pikiran, dsb): krn pikirannya sudah — , ia tidak dapat berbuat apa-apa; 7 tidak dapat berubah lagi; tetap (tt harga, simpul, dsb); 8sudah tidak dipergunakan lagi (tt bahasa dsb); 9 ki tidak ada gerak atau kegiatan, spt bubar (tt perkumpulan dsb): kalau tidak diurus, koperasi itu akan –; 10 diam atau berhenti (tt angin dsb): perahu layar itu terombang-ambing di tengah laut krn angin –; 11 tidak ramai (tt pasar, perdagangan, dsb): setelah ada pasar swalayan, pasar ini –; 12 tidak bergerak (tt mesin, arloji, dsb): saya terlambat krn jam saya ternyata –; KBBI Daring

Dari segi fakta memang kondisi ya begitu, mati titik. TAPI jika warga membaca bisa tidak bayangkan perasaan mereka? Dalam bahasa Indonesia mungkin dipakai kata tewas (死亡), tapi tepat kondisi mati itu tetap tergambarkan.

te·was /téwas/ v 1 mati (dl perang, bencana, dsb): enam gerilyawan dan puluhan tentara — dl pertempuran itu; 2 cak kalah: tim sepak bola itu — pd babak semifinal3 kl cela; salah (luput); kekurangan (sesuatu yg kurang baik): apa — nya maka duli dipertuan tiada boleh mengurus ke benua Siam itu; ia masih merasa — dl ilmu keprajuritan; KBBI Daring

Wafat 逝去? Tentu saja tidak bisa pakai ratusan ribu orang wafat.

wa·fat v meninggal dunia (biasanya untuk raja, orang-orang besar ternama): putra mahkota dinobatkan sebelum raja —

Dan oleh adik iparku kata mati diganti dengan korban (犠牲), meskipun kata mati itu pun memang benar. Tapi jika kita berdiri sebagai korban musibah dan mengetahui kemungkinan saudara-saudara kita ada yang menjadi korban, tentu akan sedih jika media memakai kata yang kasar, yang tidak memakai perasaan. Selain kata-kata tentu saja pemakaian foto-foto sangat diperhatikan. Seperti aku pernah tulis di “Pengaruh Media” Jepang memang tidak akan pernah memperlihatkan/menayangkan  foto jenazah pada media cetak/visual, karena tertulis juga dalam UU penyiarannnya. Adik iparku sendiri masih ragu sampai sekarang, apakah memang pemilihan kata yang berpihak pada warga itu sebetulnya benar atau tidak. Dari sisi kemanusiaan memang benar, tapi dari sisi jurnalisme?

Tanggal 9 Januari lalu, sebelum kami pulang kembali ke Tokyo, Riku dan Gen sempat pergi ke kantor Kahoku Shimpou, yang kebetulan bersebelahan dengan hotel Sendai Kokusai yang kami inapi. Riku senang sekali bisa masuk ke kantor penerbitan surat kabar, dan bisa melihat bagaimana omnya bekerja. Aku sebetulnya ingin sekali ikut (jiwa jurnalis ku juga tergoda loh) tapi….. kami tidak bisa mengajak Kai yang masih terlalu kecil masuk ke kantor itu. Bakal ramai deh. Jadi aku tinggal di hotel bersama Kai dan tentunya bapak-ibu mertuaku. Aku hanya bisa melihat foto-foto yang diambil Gen.

Waktu Riku berkunjung ke Kahoku Shinpou. Ayo, yang mana yang Gen, suamiku? 😀

Sebagai koran daerah, memang harus menyatu dengan warga sekitar. Bukan hanya soal oplah. Dan aku percaya dengan semangat kemanusiaan yang digambarkan dalam buku “Hari Terpanjang bagi Kahoku Shimpou” (bukan hanya oleh adik iparku, tapi oleh begitu banyak wartawan koran daerah itu), warga dapat merasakan memiliki wadah informasi, media yang mutlak ada. Kala listrik, batere, komputer (ebook) tidak bisa dipakai dalam musibah, kertas koran bertuliskan informasi itu menunjang kehidupan mereka. Dan buku yang meraih penghargaan dari asosiasi surat kabar ini menurut rencana akan didramakan bulan Maret/April nanti. Silakan menonton, di televisi Jepang tentunya. (Kami tadinya berharap adik iparku bisa ikut muncul hehehe ). Meski terlambat 4 hari, aku mau mengucapkan selamat ulang tahun untuk Taku (+suamiku deh hehehe). Semoga bisa tetap terus berkarya meskipun banyak rintangan dan kesulitan yang dihadapi, sambil menyembuhkan trauma yang mungkin timbul akibat gempa lalu.