Sebelum aku mulai tulisan ini, aku ingin sampaikan duka mendalam untuk korban di Mentawai, korban letusan Gunung Merapi, dan…korban banjir Jakarta. Memang kelihatannya Indonesia dihajar musibah bertubi-tubi, dan sebetulnya di Jepang pun ada sebuah pulau terendam air saat badai mengamuk beberapa hari yang lalu. Bumi sudah tua?
Aku bisa bayangkan paniknya mereka yang mempunyai saudara di tempat-tempat musibah. Begitu aku mendengar gempa di Padang, aku langsung sms ke seorang teman di sana. Dan mendapat jawabannya jam 1 malam di sini. Syukurlah dia tidak apa-apa. Demikian pula begitu mendengar Merapi meletus aku langsung menelepon rumah, tanya kabar dan mengetahui bahwa papa sedang pergi ke Pekanbaru untuk mengajar.
Tadi aku sempat chatting dengan Nana di YM. Dia mengatakan “Aku tidak tega menonton TV tentang wawancara yang dilakukan pada seorang ibu yang bayinya meninggal karena menghirup abu letusan gunung Merapi. Belum lagi si jurnalis TV menginterview keluarga Mbah Marijan dengan memakai perkataan mati gosong (aku tidak hafal tepatnya apa, tapi tidak layaklah pemakaian kata itu untuk manusia)”.
Memang seorang jurnalis harus membuat berita yang bagus (demi rating?). Dan namanya juga manusia bahwa di saat-saat seperti musibah, tidak bisa merangkai kata-kata manis sebagai pertanyaan karena panik. Tapi mbok yo yang sopan sedikit kan bisa. Karena sesungguhnya bahasamu adalah pribadimu….wahai jurnalis. Bahkan aku pernah membaca di salah satu buku jurnalis, bahwa selayaknya wartawan belajar (kuliah) membuat pertanyaan-pertanyaan yang “bernurani” kepada korban dengan simulasi-simulasi dan latihan.
Biasanya media di sini mewawancarai keluarga korban meninggal bukan dengan “Bagaimana perasaan Anda mendengar dia meninggal”, tapi “kami turut belasungkawa. Kira-kira ada pesan almarhum yang ditinggalkan sebelum meninggal?”. “Bagaimana kronologis sebenarnya yang terjadi?” dll. Dan biasanya memang meskipun menginterview keluarga, biasanya bukan ayah/ibu/keluarga langsung. Biasanya om/tante, keluarga jauh, yang diperkirakan bisa menjawab pertanyaan. Biar bagaimanapun juga “perasaan Anda ttg almarhumah” tidak pantas untuk ditanyakan. Adakah orang yang tidak sedih jika anak/orangtua/saudara kandungnya menjadi korban? Lain halnya jika kejadian sudah cukup lama berlalu.
Dalam kasus pembunuhan, jika tersangka masih dibawah umur (di bawah 20 th) tidak dibenarkan menuliskan nama tersangka. Hanya diberi nama Shonen A. Juga bukan inisial. Begitu pula keluarganya tidak boleh ditampilkan wajahnya, untuk melindungi privasi ybs dan keluarganya. Karena si remaja tersangka pembunuhan, jika benar menjadi terdakwa dan menjalankan hukuman, masih ada kemungkinan dia akan keluar penjara dan hidup di masyarakat. Tidak diumumkannya nama remaja itu juga untuk melindungi dia waktu dia keluar penjara, kelak.
Itupun biasanya bertanya dulu kepada si pemberi info/yang di interview apakah mau wajahnya disorot atau tidak. Tidak jarang kami hanya melihat tubuh bagian bawah dengan suara ybs, atau diblur wajahnya dan suaranya pun diubah. Dan jangan harap pemirsa di Jepang bisa melihat tayangan jenazah. Tidak ada satupun media yang menampilkan wajah/tubuh orang yang sudah meninggal. Demikian pula tidak ada satupun foto jenazah dalam peti mati, meskipun saudara yang diambil/dipotret! Tidak ada fotografer di sebuah pemakaman/upacara penghormatan jenazah terakhir di Jepang! Jangan sampai orang Indonesia meminta izin kepada keluarga Jepang untuk memotret dirinya dengan jenazah! Tidak sopan.
Memang budayanya lain. Aku pun sering melihat foto-foto anggota keluarga besarku yang meninggal, wajahnya sebelum petinya ditutup. Atau biasa saja kita melihat orang yang mengupload foto jenazah kekasihnya tersebut di media internet. Wajah kematian.
Jepang menganggap orang yang sudah meninggal sebagai “hotokesama” seorang yang disucikan, kembali ke alam suci. Setiap polisi, atau medis yang harus menangani jenazah korban baik musibah atau pembunuhan, pasti menghormat di depan jenazah, seakan meminta izin. Aku tidak tahu apakah agama islam ada doa khusus sebelum menangani jenazah atau tidak. Yang kutahu bahwa ada doa waktu pertama kali kita mendengar berita kematian dengan Innalilahi…. atau surat Al Fatihah.
Sebagai hotokesama, tidak pantas kita memotret jenazah, kecuali mungkin polisi sebagai barang bukti. Dan yang pasti, foto jenazah itu TIDAK AKAN diperlihatkan kepada masyarakat umum. Terus terang aku kaget sekali melihat foto jenazah Mbah Marijan diupload begitu saja di Facebook. Entah orang itu dapat darimana, mungkin media, karena kalau medis menyebarkan foto seperti itu semestinya melanggar kode etik (atau ada kekecualian di dunia medis Indonesia?). Mungkin foto itu sebagai pembuktian bahwa beliau bersujud menyongsong kematian. Tapi apakah kita harus melihat bukti khusus berupa foto itu? Aku rasa tidak akan ada yang menyangkal kok apapun posisi jenazah, sehingga perlu ada pembuktian begitu. Atau mungkin ada tujuan lain dengan foto tersebut? Aduh… kemana moral manusia Indonesia?
Aku mungkin akan merubah pandanganku tentang foto jenazah saudara yang meninggal, setelah aku tinggal di sini 18 tahun. Aku lebih setuju mengenang wajah kala orang itu masih sehat dan segar, ketimbang merekam wajah yang tanpa nyawa. Apakah foto jenazah itu akan dipandangi terus? Kalau toh tidak dipandangi, buat apa difoto ya? Aku ada foto jenazah Oma Poel, tapi aku hanya menyimpannya dan hanya melihat satu kali waktu menerimanya, untuk kemudian tak akan pernah kubuka. Wajah Oma yang ceria dengan senyum yang khas lah yang ingin aku kenang. Bukankah begitu?
Hormatilah korban dengan perkataan/pertanyaanmu, dan tindakanmu. Karena meskipun sudah tak bernyawa, mereka tetap saudaramu. Bukankah kita semua bersaudara? Tak pantas kita menyakiti saudara kita, bukan?
(akhirnya tertulis juga uneg-unegku tentang media Indonesia.)