KAI, TK, dan ML

1 Nov

Tak terasa Kai sudah makin besar, sudah 3 tahun 4 bulan. Terkadang aku melupakan umur sebenarnya karena bahasanya yang seperti anak gede. Yang aku ingat, dia sudah lama bisa pakai kata “Kai kanashii… (Kai sedih)” jika dia mau merayu mamanya untuk tidak menitipkan dia atau “menelantarkan” dia. Tapi tentu saja dia juga langsung berkata “Kai ureshii… (Kai senang)” setiap aku membelikan kesukaan dia, atau waktu Rabu minggu lalu aku pergi kencan dengan dia.

Kencan? Ya, deeto (date) bahasa Jepangnya. Dia sendiri yang ajak aku, “Mama hari ini kita deeto yuuk!”. Hahaha, aku ingin tertawa. Tapi waktu aku cerita pada Gen, dia agak marah, “Pasti dia meniru dari film di Disney Chanel deh”… (hmmm memang sih). Tapi yang pasti dia tidak meniru, waktu malamnya, sebelum tidur dia memeluk aku dan berkata, “Mama Kai hari ini ureshii, senang bisa deeto sama mama”.

Tanggal 1 November ini, Kai mengikuti interview masuk sebuah TK swasta. Semua TK atau Youchien di Jepang memang swasta sih, karena TK tidak diwajibkan. Hanya yang mau saja. Sebetulnya untuk aku yang bekerja akan lebih enak jika tetap menitipkan di penitipan (Hoikuen) sampai dengan usia sekolah 6 tahun. Karena waktunya lebih flexible, dari jam 7 pagi sampai 8 malam, bisa pilih mau course berapa jam atau berapa hari seminggu, juga pada hari Sabtu (Memang bayarnya juga beda-beda). Tapi kalau aku masukkan di TK, biasanya mulai jam 9 sampai sekitar jam 2, dengan hari libur atau hari pendek seminggu sekali dan hari Sabtu tentu libur.

Kai dengan baju setelan peninggalan papanya setelah selesai interview di TK.

TK di Jepang terbagi menjadi 3 , TK 3 tahun yang menerima anak mulai usia 3 tahun (Nensho) , TK 2 tahun yang menerima anak usia 4 tahun (Nenchu), dan TK 1 tahun yang menerima anak usia 5 tahun (Nencho). Tapi biasanya jika mau masuk TK kebanyakan mulai dari usia 3 tahun. Jarang atau sedikit TK yang menerima hanya 2 apalagi 1 tahun. Riku dulu mulai masuk TK usia 4 tahun, dan beruntung diterima karena masih ada tempat. Tapi tentu saja masuk sebagai Nenchu perlu keberanian tersendiri, karena biasanya murid-murid yang lain sudah terbiasa “sekolah”. Sekarang Kai mendaftar di TK yang sama dengan Riku, mulai Nensho.

Interview anak TK itu bagaimana? Tadi pagi dimulai pukul 8 kami sudah bisa mendaftar dan ikut interview. Aku dan Kai datang pukul 8:30 karena memang hujan dan pengalaman dulu dengan Riku, tidak perlu cepat-cepat datang karena pasti semua dilayani. Santai saja. Ah, ternyata pengalaman 4 tahun lalu dengan tahun ini memang berbeda. Bedanya langsung terlihat dengan jumlah pendaftar. Paling hanya setengahnya dari 4 tahun lalu. Aku tidak tahu apakah kapasitas jumlah murid yang 135 orang itu bisa terpenuhi atau tidak. Jumlah anak terasa sekali semakin sedikit……

Di pintu gerbang sekolah, kami mengganti sepatu dengan sepatu dalam atau uwabaki untuk Kai dan slipper untukku. Kami langsung disuruh ke lantai 2 untuk menyerahkan formulir pendaftaran dan membayar 3000 yen. Kai mendapat nomor 60.

Setelah itu kami diantar ke ruang tunggu untuk mengikuti 2 kali test. Test pertama tentang reaksi anak-anak untuk bergerak mengikuti perintah. Satu kali test dijalankan 5 anak. Wah di sini Kai tidak mau lepas dari aku, sehingga sensei menyuruh aku ikut masuk ke dalam kelas (sementara orang tua yang lain menunggu di luar). Di kelas itu ditanya nama dan diberi petunjuk untuk naik undakan, menepuk tamburin, lalu melompat dalam lingkaran yang ada di lantai. Untung saja Kai bisa melaksanakan perintah guru dengan baik, sementara aku bersembunyi di balik piano.

Setelah itu Kai dan aku menuju ruangan lain untuk mengikuti test pribadi. Kebetulan yang mengetest kami adalah wakil kepala sekolah yang amat mengenal aku. Jadi dia santai menanyakan nama dan usia Kai. Lalu di atas meja ada bentuk bulat, segitiga dan empat persegi dengan warna berbeda, merah, kuning dan hijau. (duh aku lupa mengajarkan pada Kai….hiks padahal dulu Riku juga begitu). Eh ternyata Kai dapat menjawab semua warna dan nama bentuk dengan sempurna (aku musti terima kasih pada guru di penitipan nih hehehe).  Waktu disuruh menyusun rumah dari bentuk yang ada, dia juga bisa. Syukurlah.

Kepadaku si ibu wakepsek hanya menanyakan apakah ada alergi atau tidak. Dan tidak lupa dia katakan, “Tidak usah tunggu telepon, sudah pasti kok.” Wow, mentang-mentang aku sudah dikenal di situ, langsung diberi tahu bahwa Kai diterima. Karena sesungguhnya kami setelah interview ini, harus menunggu telepon di rumah. Yang tidak lulus akan ditelepon. Tapi wakepseknya sudah meyakinkan saja.

Karena sampai dengan jam 1 siang (perjanjiannya telepon s/d jam 1 siang) tidak ada telepon, Aku dan Kai kemudian kembali ke TK pukul 1:30 untuk mengurus pendaftaran masuk. Nah kalau s/d jam 2:30 kami tidak datang ke TK, berarti kami mengundurkan diri. Waktu mengurus pendaftaran ini, kami harus membayar 80.000 yen sebagai uang pangkal (yang setengahnya nanti akan dikembalikan oleh pemerintah daerah melalui tunjangan khusus).

Selain uang pangkal kami juga mengisi formulir pesanan baju seragam dan peralatan sekolah. Karena TK swasta, maka semua memakai seragam (SD Negeri semua baju bebas). Untung baju-baju Riku yang dulu masih aku simpan dengan baik, sehingga aku tidak perlu membeli lagi. Sebetulnya agak ragu juga sih, karena Riku masuk kelas Nenchu dan Riku berbadan besar, tidak seperti Kai yang kecil. Tapi teman-temanku bilang, “Ah biar saja, disom aja sedikit, biar kegedean sedikit. Ngapain beli baru lagi”. Dan wakepsek juga dengan sengaja datang ke aku dan bilang, “Kamu kan ngga usah beli seragam, pakai punya Riku saja….” hihihi. Jadi untuk peralatan sekolah, aku cukup menyiapkan 5100 yen, padahal kalau beli baru semuanya seharga 40.000 yen. Horreeee.

Yah, si koala bulan April mendatang akan menjadi anak TK, yang cukup sibuk dengan segala macam acara per bulan. Tapi aku yakin Kai akan lebih suka di TK daripada di penitipan.

Lalu apa hubungannya Kai dengan ML seperti yang tertulis di judul di atas? Well, sebetulnya aku harus berterima kasih pada Mac Donalds dan Mario Bross. Karena bentuk huruf M pada Mac dan topinya Mario, Kai sudah bisa membaca huruf M. Lalu L nya dari Luigi, temannya Mario. Di topi Luigi itu ada huruf L, sehingga pernah suatu waktu aku sedang menyetir malam hari pulang mengajar. Lalu Kai bilang, “Ma, ada Luigi di situ”, pas aku cari ternyata ada tulisan LUCAS kecil di papan pinggir jalan. Wah cepet banget matanya Kai. Tapi memang dia sudah bisa membedakan huruf itu bahasa Inggris (alfabet) atau angka 123, atau bahasa Jepang. Dan dari alfabet yang paling Kai hafal adalah ML deh….. 😀

Akhir tahun fiskal dan TPA

28 Mar

Sampai dengan tanggal 31 Maret merupakan tahun fiskal 2008, sehingga hampir semua pegawai pasti pulang larut malam. Semua laporan keuangan harus selesai sampai dengan tgl 31, dan tanggal 1 merupakan awal tahun fiskal baru, tahun fiskal 2009. Meskipun suamiku bukan bagian keuangan, tapi setiap proyek atau kegiatan kantor pasti memakai biaya, sehingga dia pun terpaksa harus mendekam di kantor hingga larut malam. Tadi malam pun dia baru jam 1 sampai di rumah.

Fenomena menarik dari penutupan akhir tahun fiskal ini adalah, dana yang disediakan terutama untuk pemerintah harus habis. Jadi memasuki bulan Maret, jika masih ada sisa dana, biasanya semua berlomba-lomba untuk menghabiskannya. Kalau bisa satu paper clip juga ditagih. Karena itu menjelang penutupan tahun fiskal, bulan februari-maret di Jepang banyak kita jumpai perbaikan jalan/trotoar yang sebetulnya belum perlu untuk diperbaiki. Katanya sih ini salah satu cara untuk menghabiskan dana.

Ketika saya tanya kenapa sih harus habis? Bukannya lebih baik bersisa, dan bisa dikembalikan dan mungkin bisa digunakan untuk yang lain? Oleh teman saya yang bekerja di universitas dijelaskan bahwa jika dana itu tidak habis, maka dianggap proyek itu tidak sesuai anggaran. Yang susahnya itu bisa berakibat anggaran untuk tahun fiskal berikutnya dipotong. Huh, enaknya memang mikirin keuangan keluarga aja deh, sisa di satu pos, bisa diputar untuk pos lain, atau ditabung. Sayangnya kalau uang negara (Jepang) tidak bisa dibegitukan. Dan jangan tanya saya bagaimana kondisi perputaran uang di negara Indonesia, karena saya sama sekali tidak tahu. (Kalau di Indonesia mungkin baru setengah tahun fiskal aja udah kurang anggaran mungkin ya? huh kok jadi sinis sih?)

Karena Gen sibuk dengan kerjaannya, jadi saya harus mengurus semua keperluan Riku untuk masuk sekolah dan juga keperluan Kai. Jika Riku mulai April nanti akan menjadi murid SD, maka Kai akan menjadi murid TPA (Tempat Penitipan Anak — bukan tempat pembuangan akhir ya……)  yang dalam bahasa Jepangnya disebut Hoikuen. Hoikuen ini biasanya menerima bayi sejak umur 51 hari sampai usia sebelum sekolah yaitu 6 tahun. Hoikuen Himawari yang Kai akan masuki adalah TPA yang sama dengan Riku sebelum dia masuk TK, menjaga anak-anak mulai pukul 7 pagi sampai 8 malam dari Hari Senin sampai Sabtu.

Saya sendiri senang sekali waktu mendengar bahwa mulai bulan April ini Kai bisa menjadi “murid” tetap di Himawari, karena dengan begitu saya bisa menentukan paling sedikit 4 hari seminggu (minimum 8 jam per hari) dia saya titipkan di TPA, sementara saya bekerja. Sebelumnya status Kai masih “tamu” yang biayanya dihitung perjam (900-1100 yen per jam).

Sebetulnya TPA ini memang berguna bagi ibu-ibu yang bekerja. Tapi selain hanya sebagai tempat penitipan, saya sendiri merasa TPA sebagai tempat yang bagus untuk mengajarkan anak-anak untuk bermasyrakat. Selain itu makanan yang disediakan dirancang oleh ahli gizi sehingga sudah pasti lebih sehat daripada kalau mengandalkan menu pilihan saya.

Nah tanggal 26 kemarin saya pergi ke Himawari untuk mengurus pendaftaran Kai. Bertiga dengan Riku, naik sepeda melewati jalan ke arah stasiun, dan saat itu kami menemukan suatu pemandangan yang menakjubkan. Yah, kami melihat semacam bemo/ bajaj terbuka atau becak bermesin,  kendaraan dari Thailand yang bernama tuk tuk. Jelas-jelas tertulis di bagaian atas TUK TUK. Saya berdua Riku kegirangan melihat Tuk tuk itu, sayang tidak bisa memotret, karena sulit mengeluarkan HP sambil mengayuh sepeda. Dan untuk berhenti dulu, rasanya juga tidak perlu. Tapi “penampakan” tuk-tuk itu benar-benar memberi semangat di tengah dinginnya udara saat itu. Saya pikir musim semi sudah datang, ternyata dia masih malu-malu untuk mengambil alih peran musim dingin.