Beberapa hari yang lalu, saya memasuki dapur di rumah di Jakarta, untuk membantu mbak menggoreng ayam. Tentu saja si mbak memakai sudip atau sutil (sudip bahasa Indonesia, sedangkan sutil bahasa Jawa). Nah, terus terang saya agak kagok memakai sudip, karena sebetulnya saya sekarang lebih terbiasa memakai sumpit untuk urusan masak-memasak. Sehingga saya pernah bawa sebuah sumpit panjang khusus untuk memasak ke Jakarta, dan itulah yang saya pakai selanjutnya waktu menggoreng.
Sumpit (Hashi – ohashi お箸) memang diketahui sebagai alat makan orang Cina, Korea dan Jepang. Tapi sebetulnya semua daerah di Asia Timur memakai sumpit sebagai alat makan mereka. Jika pergi ke restoran Cina, Anda akan melihat sumpit Cina yang agak kotak, panjang dan biasanya terbuat dari bahan yang agak berat. Kalau pergi ke restoran Thailand, malahan akan menemukan sendok garpu dan sumpit dengan bahan yang sama, stainless steel. Sedangkan sumpit Jepang lebih pendek dari sumpit China, bentuknya mengecil di bagian bawah dengan bahan kayu yang ringan, dan kadang dipelitur/dilapis bahan pengkilat.Di Jepang bahkan dijual sumpit pasangan suami/istri, dengan sumpit “wanita”nya lebih pendek. Selain itu ada juga sumpit khusus anak-anak.
Saya sendiri bisa memakai sumpit sejak SD, karena dilatih oleh papa. Latihannya dengan menyumpit kacang yang disediakan di restoran China saat itu. Dan sebetulnya menurut saya, menggunakan sumpit China jauh lebih susah daripada sumpit Jepang. Riku sudah bisa memakai sumpit sejak usia 3 tahun, tapi karena jenis makanan yang saya sajikan di rumah lebih banyak masakan Indonesianya, maka dia kurang mahir memakai sumpit sekarang. Di sekolahnya juga disediakan sumpit dan sendok/garpu, dan dia sendiri mengakui bahwa dia lebih sering memakai sendok. Sepertinya nanti setelah kembali ke Jepang, saya harus memperbaiki menu masakan yang cocok dengan sumpit.
Ada beberapa do’s and dont’s dalam memakai sumpit bagi orang Jepang. Misalnya boleh saja mengambil makanan langsung dari piring sajian dengan ujung sumpitmu, asalkan itu di rumah. Jika di luar atau menjamu tamu, pakailah ujung yang satunya lain (yang tidak kena mulut) untuk mengambil dan membalikkan sumpit itu untuk makan dengan ujung yang kecil. Kalau tidak mau repot begini, sediakan sumpit khusus untuk mengambil makanan. Satu untuk setiap jenis makanan.
Kembalikan/ taruh sumpit di atas tissue atau tempat menaruh sumpit jika tidak sedang dipakai, jangan mengayun-ayunkan sumpit, apalagi memakai sumpit untuk menunjuk-nunjuk. Tempat menaruh sumpit atau hashioki di Jepang biasanya berupa keramik kecil berbentuk batangan pendek, atau bahkan berbentuk bunga/binatang/sayuran dll. Atau selain keramik, akan dipakai kertas origami yang dibentuk seperti pita atau bentuk-bentuk lainnya yang unik. Saking beragamnya bentuk-bentuk tempat menaruh sumpit ini, membuat banyak orang mengoleksi khusus tempat menaruh sumpit ini. Hari ini saya mau menaruh di atas anjing atau kucing, terong atau ikan mas?
Jangan menancapkan sumpit di dalam mangkok nasi. Perbuatan ini seperti menancapkan hio (incense) di depan altar Buddha untuk menghormati nenek moyang. Jadi dianggap tabu. Juga jangan menyentuhkan dua sumpit jika ingin memberikan makanan. Misalnya ingin memberikan makanan sesuatu, letakkan di atas piringnya, jangan langsung berikan ke sumpit teman kita. Karena perbuatan mengapit suatu makanan dengan dua sumpit bersamaan, sama persis seperti proses memindahkan tulang manusia yang telah dikremasikan pada upacara kematian agama Buddha.
Sumpit yang terbuat dari kayu yang mudah dibelah waribashi (割り箸), dan disposable (buang setelah pakai) telah merajai meja makan restoran-restoran di Jepang selama beberapa tahun. Namun dengan gerakan “cinta lingkungan”, semakin banyak restoran Jepang yang sekarang menggunakan kembali sumpit permanen untuk konsumennya. Karena pembuatan sumpit kayu disposable ini memakai begitu banyak kayu di hutan-hutan Kalimantan. Sehingga orang akan berpikir dua kali untuk memakai kayu tersebut hanya untuk satu kali makan (semoga). Saya sendiri selalu menolak pemberian waribashi jika membeli makanan di toko konbini. Dan jika terpaksa harus memakai waribashi, akan saya cuci dan pakai kembali untuk memasak/menggoreng misalnya.
Memang waribashi kadang diperlukan untuk menjamu tamu. Karena biasanya di rumah orang Jepang, masing-masing mempunyai “Sumpit Sendiri” My Hashi. Sehingga untuk menjamu tamu harus menyediakan sumpit khusus untuk tamu atau waribashi. Tetapi kwalitas waribashi juga macam-macam. Ada yang murah yang mudah patah (dan serpihannya mudah melukai tangan) , dan ada yang mahal karena terbuat dari kayu yang kwalitasnya lebih tinggi. Biasanya waribashi yang mahal ini kedua ujungnya kecil, atau bahkan sudah terbagi dua di dalam kemasannya. Waribashi mahal ini selain untuk menjamu tamu, sering juga dipakai untuk merayakan Tahun Baru, dengan kantong sumpit dari kertas bertuliskan Kotobuki 寿 yang berarti selamat.
Satu yang ingin saya ingatkan jika mendapat waribashi dari toko konbini, adalah untuk berhati-hati membukanya. Karena biasanya di dalam kemasan sumpit itu juga terdapat tusuk gigi, yang bisa menusuk jari Anda jika tidak berhati-hati. Saya menuliskan tentang sumpit ini, karena kemarin tanggal 4 Agustus adalah peringatan untuk sumpit, semata-mata karena 8-4 bisa dibaca sebagai HA- SHI (sumpit).
Yang saya tidak tahu kenapa kata sumpah, sekarang bisa menjadi sumprit… apa ada hubungannya dengan sumpit??? Sumprit saya juga tidak tahu kenapa….