“Eco” adalah kata trend di Jepang. Bukan mas Eko dari Jawa meskipun mirip. Tapi Eco singkatan dari Ecology. Maksudnya jika suatu barang bisa “memamerkan” eco nya, pasti dapat diterima di masyarakat Jepang. Meskipun hampir mirip dengan tulisan Yoga di greenwashing, Eco disini tidak bermaksud menutupi kegiatan yang salah yang terkait dengan lingkungan hidup. Malah suatu kegiatan berlomba untuk memperhatikan lingkungan hidup kita. Mobil yang Eco, AC Eco, Mesin cuci Eco….semua produsen alat listrik perumahan di Jepang berlomba-lomba menciptakan barang yang ramah lingkungan (hemat energi).
Kali ini saya ingin menengahkan Eco di kampus. Saya sudah 9 tahun mengajar bahasa Indonesia di Universitas Waseda, di kampus pusat di Takadanobaba, Shinjuku. Dan sejak saya pertama mengajar di sana, saya selalu mendengar berbagai himbauan dalam kampus untuk aktif melakukan kegiatan “eco”. Dibanding dengan kampus universitas lain, kampus Waseda ini memang terlihat lain. Di setiap sudut ada paling sedikit 5 tempat sampah, dengan tulisan penuntun, apa saja yang boleh dibuang di situ. Kertas, plastik, botol plastik, kaleng, sampah terbakar. Semua sampah harus dipilah. Bekas kartu fotocopy dikumpulkan setelah selesai dipakai. Dan yang saya perhatikan juga tidak disediakan tisue lap tangan atau mesin “angin” untuk mengeringkan tangan di wastafel WC.
Tapi minggu lalu saya menemukan satu lagi usaha untuk mencapai “Eco campus”. Biasanya kalau membeli makanan di mana saja di Jepang, pasti dimasukkan dalam kotak plastik. Tapi ada makanan kotak (nasi kotak) yang dijual dalam kampus memakai kemasan dari kertas tebal yang dilapis plastik. Jadi setelah makan diharapkan kita melepaskan plastiknya untuk kemudian menaruh di tempat sampah khusus daur-ulang (recycle) kertas. Tergantung lagi kita si konsumer mau menjalankannya atau tidak. Tapi karena ini sangat praktis, saya rasa mahasiswa sanggup dan mau melakukannya. Dan meskipun ini baru sedikit jumlahnya (saya tidak tahu persis, tapi baru ada di dalam kampus dengan jumlah tertentu) benar-benar merupakan usaha yang patut dicontoh.
Lalu sambil makan saya berpikir bagaimana nasi kotak di Indonesia sekarang yang sering dimasukkan dalam wadah styrofoam(?) yang pastinya sulit untuk dibakar/daur ulang …kecuali hanya bisa di reuse (Tapi kalau bekas nasi padang yang berminyak begitu, siapa yang mau re-use lagi?). Hmmmm sampah lagi. Lalu teringat jaman dulu yang nasi kotaknya masih berupa nasi bungkus pakai kertas yang relatif lebih bisa dibakar. (Bahkan kalau mau lebih jadul lagi yang pakai daun pisang. ) Betapa kemajuan jaman semakin membuat sampah-sampah itu lebih sulit dikelola. (Paling bagus sih membuat bento atau bekal makanan di kotak bekal yang permanen seperti yang saya buat setiap pagi untuk Riku. Sehat isinya hemat kemasannya. Ramah lingkungan dan ramah dompet)
Satu lagi yang bisa saya perkenalkan tentang usaha “hemat energy” di kampus ini adalah “Peringatan” untuk menyetel setting temperatur yang sesuai musim sehingga tidak membuang energy berlebihan. Pada musim panas, setelan AC hanya boleh 28 derajat. Panas dong? Ya memang, misalnya di luar suhu udara 36 derajat maka dengan setting 28 derajat saja sebetulnya sudah cukup terasa dingin. Jangan seperti di Indonesia yang kadang hampir semua menyetel lebih dingin dari 22 derajat. Selain boros listrik, tidak baik untuk kesehatan badan. Menimbulkan penyakit modern akibat AC yang dalam bahasa Jepang disebut “Reibobyou” (penyakit AC).
Demikian pula dalam musim dingin. Misalkan di luar suhu udara di luar 13 derajat, maka setting 20derajat cukup sudah. Jangan kita set menjadi 28 derajat. Perbedaan suhu luar dan dalam yang terlalu besar akan menimbulkan penyakit, selain boros energi.
Hai mas-mas jawa yang bernama Eko (nama pasaran kayaknya yah). Jangan ge-er karena nama Anda sering disebut di Jepang sebagai himbauan untuk lebih memperhatikan environment.