Aduuuuh aku mau ngakak bener deh begitu selesai menjawab kuis tentang “How Jawa are you?” di FaceBook. Karena jawabannya gini :
Wong Jowo Asli
sampeyan benar-benar orang jawa Tulen, jangan melupakan kebudayaan, unggah ungguh dan tata krama, matur sembah nuwun
***********************
Nah loh…. padahal? Dalam diriku TIDAK ADA darah jowo-jowoan sama sekali! Meskipun mama pernah tinggal di Yogya (Tapi itu kan mama, bukan saya! Saya hanya pernah tinggal di jakarta dan JAPAN not JAVA — tidak seperti abang Sonyyang orang Batak tapi jawa banget karena pernah sekolah di sono). Saya juga bukan Novi, adik saya yang menikah dengan wong Solo dan punya rumah kedua di Klaten sono. Pernah sih punya mantan pacar orang Jawa (gede di Jakarta) sebentar hihihi (dan yang pasti tidak pernah dia mengajari saya bahasa/ budaya jawa). So? …mau tahu pertanyaannya? Sebetulnya lebih enak ikut kuisnya langsung di FB supaya bisa langsung dapat resultnya. (Terus terang saya sendiri tidak tahu jawaban benernya apa… jadi cari sendiri ya jawabannya hehehhe. Lha wong aku jawabnya juga sambil ketawa-ketiwi ngga yakin dan kayaknya pasti salah — ada sih niat untuk pake Uncle Goole mencari jawabnya, but ngga lah moso mau serius gitu hihihi)
kuis ini mengukur betapa JAWA diri anda, monggo dipun jawab !
Apa nama Ibukota Jawa Tengah
Raden Harjuna satriyo ing?
Apa bahasa jawa halusnya “Makan”?
Isi Sawo arane?
Kota Batik adalah?
Gendhing untuk mengiringi temanten adalah?
Anake Kebo arane?
Becik ketitik, …………
Jamu untuk mengobati Panas Dalam adalah?
Ing …… mangun karso
SO? gimana …. bagi yang Jawa apakah Anda jawa tulen….seperti saya hhihihihi.
But, sebagai kelanjutan tulisan ini, Anda kenal Ki Manteb Sudharsono? Ya, saya pernah berkesempatan mewawancarai beliau waktu beliau datang ke Jepang dalam rangka undangan Nihon Wayang Kyokai yang diketuai Bapak Matsumoto Ryo (tahunnya saya lupa). Dan waktu itu pertama kali saya melihat langsung pertunjukan wayang langsung (bukan lewat TV — saya ingat duluuuuuu sebelum saya datang ke Jepang, di TV ada pertunjukan wayang dini hari, dan adik saya Andy dengan getolnya nonton di depan TV, syaa kadang hanya menemani dia….. lah saya juga tidak mengerti bahasa Jawa hiks) yang didalangi oleh pedalang Indonesia apalagi terkenal begitu. Dan memang, Ki Manteb memang mantap sekali membawakan cerita dan menggerakkan wayang kulit… ya saya ingat terkadang beliau menyelipkan humor (sedikit berbau politik juga) sehingga yang mengerti bahasa Indonesia dan situasi Indonesia waktu itu bisa tertawa. Saya kagum pada pedalang yang bisa membuat penontonnya tertawa seperti itu.
******************************
Saya banyak mempelajari wayang justru setelah saya datang ke Jepang. Sejak saya berkenalan dengan Nihon Wayang Kyokai, secara tidak langsung akhirnya saya mempelajari wayang juga, terutama tokoh-tokoh yang keluar dalam cerita perwayangan itu. Itu masih awal-awal kedatangan saya di Jepang, sambil belajar di Universitas Yokohama, saya arubaito (part-time) mengajar bahasa Indonesia di Kelompok Wayang itu. Setiap hari Selasa malam, saya mendatangi apartemen Bapak Matsumoto/ Sebuah apartemen kecil yang dijadikan studio wayangnya. Begitu masuk langsung terhampar layar putih lebar yang memakan semua kelebaran apartemen. Bukan layar itu saja yang memenuhi ruangan. Bermacam wayang kulit tersimpan dalam peti kayu, buku-buku wayang, batik (kebetulan istri dari Bapak Matsumoto adalah juga pembuat batik — dan jangan pikir dia orang Indonesia…. pasangan suami istri ini JAPANESE tulen yang menguasai JAVANESE culture! ) dan sebuah kotatsu (meja rendah berukuran 1 meter x 1 meter untuk kita belajar. Memang serasa masuk “gudang” tapi langsung bisa merasakan suasana Indonesia di dalam kamar itu!
********************
Bapak Matsumoto sendiri sudah pintar berbahasa Indonesia. Sebetulnya Bapak Matsumoto ini adalah lulusan bahasa Perancis pada Universitas Bahasa Asing Osaka, 40 tahun lebih berkecimpung dalam dunia perwayangan, sampai mendirikan Nihon Wayang Kyokai (Perhimpunan Wayang Jepang). Dan tidak heran atas usahanya ini, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan Satyalencana Kebudayaan. Setiap hari selasa ini, saya hanya mengajar anggota Nihon Wayang Kyokai yang belum begitu mahir berbahasa Indonesia. Meskipun pada awalnya saya sudah katakan, mungkin lebih baik mencari guru bahasa Indonesia yang berasal dari jawa sehingga kalau ada bahasa Jawa bisa juga sekaligus diajarkan. Tapi mereka berkata, soal bahasa Jawa gampang, kami tinggal bertanya pada Bapak Matsumoto. Yang kami perlu bahasa Indonesianya. OK then…
Nah, bahan pelajaran yang dipakai adalah cerita dalam bahasa Indonesia dari sebuah majalah bulanan kepunyaan bapak Matsumoto. Biasanya satu cerita sepanjang 3 halaman A4, kadang bisa selesai diterjemahkan dalam 1 kali pertemuan (2 jam) jika banyak yang hadir, tapi kadang harus 2 kali pertemuan jika sedikit yang hadir. Banyak itu berapa orang? Maximum 6-7 orang. Ceritanya mengenai Karna, Durna, Pandawa …. dsb dsb (hmmm saya harus mengumpulkan kembali fotokopian itu! pasti ada… somewhere hehehhe)
Saya memang mengajar bahasa Indonesia kepada mereka, tapi saya belajar banyak dari mereka! Saya belajar wayang, cerita Mahabarata, bahkan bahasa Jawa dan sedikit bahasa Jepang yang kromo. Sebelum saya mengajar di situ, saya tidak tahu apa bahasa Jepangnya “pamit” …. eh rupanya 暇乞い(いとまごい)をする。Sayang saya terpaksa harus menghentikan mengajar di situ, karena konsentrasi untuk pembuatan thesis dan kesibukan lain.
Tapi sekitar awal tahun 2006, saya bertemu kembali dnegan Bapak Matsumoto dan mendapat kehormatan dipercayakan mengisi suara (narasi) dalam bahasa Indonesia sebuah lakon “Mizu no Onna” (kalau tidak salah bahasa Indonesianya Dewa Ruci…. lupa deh) karya bapak Matsumoto sendiri yang akan ikut serta dalam Festival Wayang Internasional di Yogya 23-Juli 2006. Waaaah, waktu itu saya senang sekali karena menjadi “artis suara” merupakan impian saya. Saya harus mengganti suara sesuai karakter yang ada dalam skenario. Kadang sedih, kadang genit, kadang marah…. wah itu susah. Skenario itu merupakan challenge pertama untuk saya. Dan untung saja masih ada kesempatan ke dua, karena tahun berikutnya, 2007, saya diberi kesempatan lagi untuk membacakan cerita “Menuju Istana Bayangan” (Wayang Jepang) yang akan digelar di Mangkunegaran. Nah… ini benar challenge karena dalam cerita banyak terdapat karakter pria, wanita dan jin hehhehe. Sayang sekali saya tidak bisa hadir di kedua acara pagelaran wayang dari bapak Matsumoto itu di Yogya.
Saya percaya, jika manusia keluar dari “sarang”nya bukan hanya bisa melihat pemandangan indah di luar, dan terlebih dapat melihat ke dalam sarangnya sendiri dengan lebih obyektif dan bahkan mendalaminya. Meskipun kadang saya –sebagai manusia tak bersuku– merasa gamang dalam menentukan dimanakah sebetulnya sarangku itu. Yang saya tahu, hutanku adalah Indonesia!