Saung Udjo

27 Sep

Masih ingin menulis sisa-sisa cerita waktu mudik kemarin. Seperti telah aku tulis di “Makanan Terlezat Sedunia“, suamiku Gen datang ke Jakarta tanggal 14 Agustus. Aku dan Kai menjemput di bandara, dan menghabiskan malam pertama di Jakarta dengan ngobrol bersama mama dan papaku di rumah. Esok harinya pukul 11 kami berangkat ke Bandung, yang memang sudah aku rencanakan karena Gen belum pernah ke Bandung. Sebetulnya ingin sekali ke Jogja tapi rasanya 5 hari libur habis di jalan, jika kita pergi ke Jogja. Next time deh.

Tujuan pertama di Bandung adalah Saung Angklung Ujo. Aku belum pernah ke sana, dan aku ingin mengenalkan angklung kepada anak-anakku. Jadi aku kontak D.M. lurahnya Bandung waktu kami mendekati pintu keluar tol Bandung. Maklum kami tidak tahu jalan di Bandung. Tapi waktu itu kami sudah lapar. Mau cari makan sendiri saja, karena D.M. puasa. Jadi aku minta dipandu lewat telepon untuk pergi ke Batagor Kingsley (Jl Veteran No 25. Tel 022-420-7014).

Batagor Kingsley... ternyata hanya sebuah kios sederhana di emper rumah kuno.

Ya aku sering mendengar namanya, dan baru pertama kali ke situ. Setelah parkir di kiri jalan Veteran, kami masuk ke restoran yang merupakan tenda sambungan dari rumah kuno. Di rumahnya sendiri terdapat toko oleh-oleh berbagai macam makanan kecil. Ingin sekali melongok dan belanja, tapi waktu itu kupikir sudahlah nanti pulangnya saja. Ntah mudik kali ini aku malas sekali membeli souvenir atau oleh-oleh.

Kami coba makan batagor goreng dan mie bakso/yaminnya. Sayangnya Kai yang biasanya suka makan mie, saat itu (sebetulnya sudah sejak hari sebelumnya) demam, naik turun. Aku sempat waswas juga  apakah aku harus membatalkan rencana ke Bandung. Tapi ya begitu karena naik turun tidak stabil, dan dia masih kuat, tancap terus jalan ke Bandung. Dan pas waktu makan itu, dia malas makan. Aku kasih obat dan biarkan dia tidur dalam pelukanku. Batagor Kingsley enaaak (sayang porsinya kecil, tidak seperti kalau kita pesan siomay)! Rasanya ingin bungkus bawa pulang, tapi kalau ingat repotnya, jadi malas. Katanya sih bisa juga dipesan, dan diambil keesokan harinya pas pulang. Tapi takut ah kalau tidak ada waktu untuk kembali.

Oh ya satu hal yang sempat aku perhatikan di sini, adanya seorang pengamen yang keren sekali nyanyinya.  Lagu-lagu jazz! Dia bermain di depan pintu masuknya, dan menerima “tanda kasih” dari pelanggan yang keluar pulang. Kalau nyanyinya bagus begitu, memang tidak rugi rasanya memberikan tip kepadanya.

Setelah makan, aku menghubungi D.M. lagi untuk menanyakan jalan ke Saung Udjo. Eh tahu-tahu dia minta dijemput di tengah jalan menuju ke Saung Udjo. Untung saja Danny ikut, karena ternyata jalannya cukup jauh dan rumit! Kalau dia hanya pandu seperti GPS, pasti aku tidak akan sampai ke sana hehehe. Jadi dengan satu mobil kami menuju ke Saung Udjo ( Jl. Padasuka no. 118 Bandung, Telp. (022) 727 1714) .

Waktu kami sampai, di lapangan parkirnya yang luas, tidak terlalu banyak mobil atau bus yang sedang parkir. Karena sepi kami takut juga jika sudah tidak ada pertunjukan. Ternyata kami masih keburu mengikuti rangkaian pertunjukan yang baru mulai (Pertunjukan sore mulai jam 15:30 – 17:30). Tamunya kebanyakan wisatawan Eropa dan Korea. Dengan membayar sekian rupiah  (lupa berapa hahaha, tapi dari keterangan di internet sih  harga tiket masuk pertunjukkan sebesar Rp 35.000 untuk anak-anak, Rp 50.000 untuk WNI (dewasa) dan Rp 80.000 untuk tamu asing), kami diberi kalung angklung sebagai semacam tanda masuk untuk menikmati pertunjukan tari dan musik yang dikemas dengan bagus selama 2 jam.

Pertunjukan musik dan angklung + tarian

Pembawa acara memandu dalam bahasa Inggris dan memperkenalkan kesenian yang ditampilkan. Ah, kalian harus berada di sana untuk mendengarkan rangkaian nada dari alat musik khas Jawa Barat itu. Seperti yang sudah aku tulis di Who Am I, waktu SD aku pernah ikut exkul angklung, sehingga terbiasa dengan musik ini. Dan waktu mendengar pagelaran ini aku bernostalgia sekaligus menerawang hidupku di perantauan. Tak disadari airmata mengalir di pipi. Aku bangga sebagai orang Indonesia!

Mencoba bermain angklung

Bagian yang paling menarik sebetulnya adalah kesempatan para penonton memegang, memainkan angklung dan dengan mengikuti tanda-tanda dari dirigen (pewarisnya Mang Udjo yang sudah meninggal) . Meksipun instant, para penonton bisa memainkan satu lagu hanya dengan mengikuti tanda-tanda dari dirigen. Dan selama pertunjukan dua jam itu, aku memperhatikan Kai yang terlihat lebih menaruh perhatian pada musik dibanding kakaknya. Aku juga membiarkan Riku memakai kamera DSLR membidik pemain-pemain di panggung.

Setelah melihat-lihat souvenir yang ada, kami meninggalkan Saung Udjo sekitar pukul setengah 6 sore untuk makan malam dan check in ke hotel kami.