Hari ini pertama kali aku menyetir lagi ke arah kota Tokyo, Meguro-ku tepatnya ke Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Selama 2 minggu kursus bahasa Indonesia yang aku ajar itu libur. Minggu pertama karena sesudah gempa dan pemadaman bergilir, tidak adanya transportasi dsbnya, masih chaos sesudah gempa. Sedangkan minggu ke dua memang karena hari libur di Jepang, equinox day (21 Maret).
Hari ini kami keluar rumah lebih cepat 30 menit dari biasanya, karena aku mau mampir ke drugstore untuk membeli odol untuk Riku (heran deh Odol deMiyashita itu macam-macam, setiap orang punya kesukaan masing-masing. Jadi wastafel penuh dengan odol berbagai jenis :D. Semoga di rumah teman-teman tidak begitu ya hehehe). Aku sekalian juga mau inspeksi barang apa yang tidak ada.
Masuk ke drugstore itu, kesannya sudah suram, karena penghematan listrik jadi lampu juga dikurangi. Putar-putar rak, ambil sabun cuci, ambil sabun cuci piring, lalu ke tempat tissue. Wah tissue kotak tidak ada! Memang sejak gempa tissue kotak seakan menghilang dari peredaran. Entah stock habis, ntah produksi berhenti. Padahal tissue kotak itu termasuk barang utama di rumahku. Karena semua sering pilek alergi. Tidak ada tissue kotak! Hmmmm mungkin kalau ibu Jepang sudah panik ya? Tapi aku tidak! Karena dulu waktu aku kecil di Jakartapun tidak ada tissue. Kami mempunyai saputangan sebesar handuk face towel, terbuat dari bahan gauze (yang biasa dibuat popok bayi) , yang dibuat mama khusus (Kata Gen: “hebat perawat kita” karena dulu mama memang perawat) . Bahan itu lembut sehingga tidak melukai hidung kami yang memang sensitif. Nah! Aku masih punya beberapa kain gauze di rumah dan bisa dijadikan saputangan. Back to nature deh, tanpa tissue!
Barang lain yang tidak ada adalah air mineral 2 l. Habis! Masih ada tertempel di raknya “Satu keluarga 1 botol”. Rupanya waktu pemkot Tokyo mengumumkan agar bayi tidak minum susu dari air keran, semua orang menyerbu penjualan air mineral (kecuali imelda tentunya, wong untuk bayi kan…. dan memang masih ada persediaan RO Water yang aku khususkan untuk anak-anak saja.)
Oh ya, satu lagi yang sedikit persediaannya adalah pembalut wanita! Nah loh, kalau tidak ada persediaan, cukup panik juga ya. Susah memang menjadi wanita itu. Dan aku yakin sedikit sekali pembaca TE yang pernah hidup di jaman belum ada s*ftex hehehe. Jadi tidak tahu kan, bagaimana penyelesaiannya jika tak ada pembalut wanita. Sekali lagi kecanggihan mama akan tergali kembali, karena jaman baheula aku masih sempat memakai pembalut kain buatan mama…. lagi-lagi dari bahan gauze. Kalau sampai harus begitu, ya apa boleh buat yah hehehe. Asal jangan kembali ke jaman batu deh. Tanpa kain….. berarti harus pakai rumput, seperti wanita-wanita di Papua jaman dulu 😀
Aku jadi teringat dulu kami sering beli s*ftex dalam kemasan kardus di pasar belakang rumah. Jaman dulu satu kardus berisi sekitar 12 pembalut, dan langsung masuk kardus tanpa diplastiki satu per satu seperti sekarang. Tak jarang kami menemukan bangkai kecoak di dalam kardus itu…hiiiiii 😀
Tadinya aku mau lihat satu-persatu barang apa lagi yang tidak ada, tapi karena waktunya tidak banyak jadi aku cepat-cepat membayar belanjaanku. Pegawai kasir yang melayaniku ternyata orang yang mengenalku. Sudah beberapa kali dia menegurku setiap aku belanja di situ. Dan kali ini sambil dia men-scan harga barang yang kubeli, dia curhat padaku, “Aduh aku menghilangkan buku catatan kesehatan anakku. Bagaimana ya?”
Aku cukup heran kok tanya padaku, “Loh tidak apa-apa, pasti bisa minta ganti ke kelurahan. Jangan khawatir”
“Tapi kan data-data vaksinnya tidak ada lagi”
“Kan dia pernah sekolah TK. Waktu mendaftar kan kamu tulis data-data vaksin segala di kertas formulir. Minta copynya saja ke TK itu. Tinggal disalin kembali ke buku catatan yang baru”
“Oh iya ya…. terima kasih. Saya sudah panik kemarin, tidak tahu mau tanya ke siapa. Kalau tanya ibu saya, pasti dia marah-marah.”
“Pasti tidak apa-apa. Kalau perlu bisa tanya ke RS tempat kamu menerima vaksin, mereka pasti punya catatannya juga”
Begitulah aku yang orang asing menenangkan warga Jepang. Sok teu banget ya aku hahaha. Dan saat menulis posting ini aku baru sadar bahwa odolnya Riku tidak terbeli, karena lupa hahaha.
Dengan santai aku menyetir di jalan yang tidak begitu padat. Rekor deh 30 menit sudah sampai di Meguro, padahal tidak ngebut loh. Langsung mengantar anak-anak ke rumah teman untuk menunggu aku selama aku mengajar. Dan aku sendiri ke SRIT. Di koperasi SRIT aku beli mie sedap, kecap manis, dan…batagor. Wah rejeki aku bahwa ada ibu-ibu orang Indonesia yang membuat batagor untuk kantin, dan aku kebagian. Satu bungkus 200 yen, cukup untuk menahan rindu pada siomay bandung deh hehehe. (Belinya sih ngga satu bungkus, semua yang tersisa aku beli tuh hahaha)
Hari ini ada 3 murid yang absen, 4 yang hadir. Karena takut kehabisan kereta, maka pelajaran dipersingkat seperempat jam. Aku juga cepat-cepat menjemput anak-anak dan menyetir pulang. Untuk pulang aku harus melewati jalan Kan 7, jalan yang cukup besar di sebelah barat Tokyo. Dan saat itu aku perhatikan, waaahhh lampu listrik di sepanjang jalan Kan 7 itu mati! Hanya beberapa yang nyala. Pantas terasa gelap. Suasana yang sama seperti yang aku rasakan setiap aku mendarat malam hari di Soekarno Hatta, dan memasuki jalan tol, kemudian ke arah kebayoran. Gelap!
Ternyata yang salah bukan Jakarta, tapi Tokyo! Tokyo selama ini terlalu terang benderang deh. Buktinya Kan 7 tanpa lampu jalan saja masih terang kok, karena banyak mobil yang lewat. Bagus deh dengan demikian orang Tokyo juga belajar untuk berhemat listrik. Selama ini terlalu manja nih. Dan ntah kenapa aku juga merasa semua mobil mengurangi kecepatannya. Sebelum gempa, aku lumayan bisa ngebut di Kan 7, tapi hari ini bawaannya santai sekali. Ah…. kalau terang memang rasanya adrenalin juga meningkat dan semangat untuk “berlari terus”. Kali ini Jepang juga harus slow down ….dan kadang memang perlu juga kita slow down ya.