Akhir-akhir ini aku sering mengisi kuis di FB, dan salah satunya menghasilkan pernyataan seperti ini:
Your dream is to live a life where you are constantly learning and evolving.
You believe that the world, people, and life are incredibly fascinating.
You want to use your mind as much as possible. You want to dare yourself to do what’s difficult. You’d like to expand your worldview and maybe even solve some of the world’s problems.
Belum lagi ada kuis yang mengatakan orang yang lahir di bulan Januari memang suka mengajar dan diajar. OK memang kita tidak usah percaya hasil ramalan/kuis sepenuhnya, tapi memang aku berusaha untuk terus belajar tentang apa saja rather than specialize in one subject. Aku ingin tahu semua! Dan pemikiran ini sebetulnya tidak cocok untuk orang Jepang yang “Otaku” menguasai bidang keahliannya saja sedalam-dalamnya, bukan all round.
Tetapi merupakan kenyataan juga bahwa jika kita sudah capek, atau sudah mencapai kondisi tertentu, stagnan atau berada dalam comfort zone, zona aman kita merasa tidak perlu lagi menambah pengetahuan dan seiring juga dengan kemampuan otak yang melambat. Padahal otak yang tidak dipakai, bisa berkarat, jamuran, dan akan menjadikan kita pikun!
“Saya tetap belajar bahasa Indonesia seminggu sekali supaya tidak pikun!” demikian jawab Bapak Watanabe, 94 tahun, mantan muridku. Dia, dan hanya dia sajalah yang selalu memenuhi pikiranku dan menyemangati aku untuk belajar dan belajar terus …. sampai mati.
Lelaki kelahiran delapan belas April 1915, siang ini duduk di hadapanku sambil makan siang bersama. Oh Tuhan,…. aku harus bersusah payah menahan haruku, dan jangan menangis di hadapan dia.
Kemarin aku telepon dia, dan basa-basi bertanya kabarnya… dan dia berkata, “Sensei, kapan yuk kita minum kopi bersama”.
Lalu aku berkata, “Watanabe san, sebenarnya saya telepon untuk menanyakan apakah besok ada waktu untuk bertemu? Besok saya ada urusan di KBRI, kalau bisa sekitar jam 11 bertemu di Stasiun Meguro bagaimana?
“Tentu saya akan pergi ke sana. Sampai jam 11 besok”.
Jam 11 kurang lima aku sampai di stasiun, setelah tergesa-gesa setengah berlari dari KBRI menuju stasiun. Jangan sampai aku membiarkan Watanabe san menunggu. Dan persis pukul 11, aku melihat ke arah terminal bis, di situ bapak tua itu menunggu sambil celingak celinguk. Aku berjalan ke arahnya, sambil tersenyum gembira.
“Sensei… saya senang sekali bertemu sensei”… dia menjabat tanganku… dan memelukku. Aduh …aku benar-benar terharu dan ingin menangis. Laki-laki Jepang mana yang mau memeluk wanita di depan umum? Meskipun istrinya. Aku merasakan kerinduannya yang besar untuk bertemu denganku. Ahhh Bapak… aku merasa tersanjung… aku tahu kamu menghormati aku sebagai sensei, tapi aku lebih menghormati bapak bukan sebagai murid. Entah harus kukatakan sebagai apa, sebagai sesepuh yang mengingatkan terus… Hai manusia, Jangan kalah oleh umur!
Dia masih sehat. Matanya awas, telinganya tajam. Hanya sayang kakinya mulai lemah, meskipun dia tidak memakai tongkat. Dan aku salah waktu itu, terlambat menyadari, sehingga dia sempat “merosot terduduk” di atas tangga turun. Tidak jatuh, tapi tiba-tiba sudah terduduk di atas tangga. Untung aku langsung tangkap dia, kemudian membantunya berdiri. Sambil berjalan menuju lift ke lantai atas gedung stasiun, aku lihat dia mengisap jari tengahnya. Oh No… buku jari tengahnya berdarah! Terkelupas kulitnya. Aduh….
“Watanabe san saya cari plester dulu ya?”
“Tidak usah… biasa ini”
dan kita langsung ke lantai atas dan mencari restoran soba. Aku tahu pasti makanan yang paling cocok untuk dia hanya soba…. (Aku pernah berdosa besar padanya. Waktu aku masih mengajar dia, dia memberikan aku tiket makan di restoran soba dekat rumahku. Tapi aku tidak pakai sampai hangus. dan aku menyesal…)
Sambil memesan soba, aku tanya pada pelayan restoran apakah dia punya plester. Dan aku dapatkan plester dan aku pasangkan di jari tengahnya.
Lelaki berusia 94 tahun, bukan main-main … 6 tahun lagi dia 100 tahun! Dan siang ini dia memenuhi undanganku makan siang bersama. Kami bertemu terakhir 4 tahun yang lalu. Oh Tuhan…. aku harus bersusah payah menahan haruku, dan jangan menangis di hadapan dia. Karena…..
Ya, ternyata yang luka bukan hanya jari tengahnya. Kamu tahu, jika manusia sudah tinggal tulang berbalut kulit, maka kulit itu akan mudah mengelupas. Dan aku baru sadar ketika aku lihat bercak darah di mulut lengan kemeja putihnya. Ya dia berkemeja putih, berdasi dan berjas untuk bertemu dengan aku. Ternyata di lengan di bawah jam tangannya kulitnya terkelupas sepanjang 8 cm. Uhhhh tidak bisa dengan plester, itu harus diperban. Tapi dia berkata, “Tidak apa sensei, memang kalau sudah tua suka begini. Gampang jatuh! Tidak apa-apa. Nanti juga kering lukanya. ” Ingin aku memberikan saputanganku untuk membalut luka, tapi pasti kotor.
“Kalau ada saputangan….”
“Saya ada saputangan, tapi tidak apa-apa”
Aku sudah mulai sulit menelan makanan yang ada di hadapanku. Bukan… bukan aku takut darah atau luka, tapi aku tahu kenyataan, bahwa manusia yang renta mudah luka, mudah jatuh, mudah goyah…. dan sewaktu-waktu si renta itu tiba-tiba tidak ada lagi di hadapanku.
Aku berusaha bercakap-cakap yang ringan, sambil memperhatikan dia makan, jangan sampai tersedak. Jangan sampai dia emosi ingin menjawab, lalu makanan salah masuk. Aku selalu tunggu dia selesai mengunyah dulu baru aku ajak bercakap-cakap.
Dia adalah lulusan Tokyo Teikoku University. Elite, sangat elite di jamannya. Jurusannya? Ekonomi. Pasti dia cerdik pandai. Dan setelah lulus dia bekerja di perusahaan dagang Mitsui Bussan. Aku juga sering mengajar pegawai dari MB dulu, pegawai yang ditugaskan ke Indonesia. Namun Watanabe san ini tidak pernah mendapat kesempatan ditugaskan ke Indonesia. Malahan dia bertugas di Hamburg, Jerman selama 4 tahun. Karena pengalaman di Jerman ini, dia bisa berbahasa Jerman, dan anak lelaki yang sekarang tinggal bersamanya juga bisa berbahasa Jerman dan menjadi penerjemah.
Watanabe san sendiri tidak pernah punya hubungan dengan Indonesia. Hingga usianya yang ke 83, waktu dia berjalan-jalan di dekat sekolah Indonesia Tokyo. Dia mendengar bahasa Indonesia. Juga waktu dia mengajar bahasa Jepang sebagai volunter di Kelurahan Meguro, dia bertemu dengan orang Indonesia. Dia merasa bahasa Indonesia indah bunyinya. Sampai dia bertanya, dimana saya bisa belajar bahasa Indonesia? Kemudian sampailah dia di rumah seorang guru bahasa Indonesia yang mengajar di SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo). Dan dia mendapat keterangan dari Pak Herlino Suleman (Pengarang “Pintu Tertutup Salju” ) ini, bahwa setiap hari Senin, Rabu dan Jumat ada pelajaran bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh Kedutaan yang bisa diikuti oleh warga Jepang. Pak Herlino juga mengajar di KOI (Kursus Orientasi Indonesia), tapi Watanabe san masuk ke kelas pemula, yang gurunya bernama Imelda Coutrier. Dan dia mengakui, bahwa kalau bukan Imelda sensei, mungkin dia tidak akan belajar terus di KOI.
Ya aku tahu kehadiran bapak Watanabe ini di kelasku. Kelas yang sulit, karena waktu itu muridnya berjumlah 40 orang. Jaman itu bahasa Indonesia sedang berjaya, zaman keemasan. Semua kursus dipenuhi peserta, sampai membludak. Guru Bahasa Indonesia dicari-cari. Dan setiap hari Senin, Rabu dan Jumat aku mengajar di lobby SRIT, karena itu satu-satunya tempat yang bisa menampung 40 orang. Tanpa mike, aku harus menguasai 40 orang. Impossible. Tapi aku tahu awalnya 40 orang, setelah berjalan biasanya akan berkurang. Akan ada murid-murid yang tidak tahan untuk belajar 3 kali seminggu. (setelah itu kami ubah jam belajar menjadi 2 kali seminggu dan akhirnya 1 kali seminggu). Benar saja setelah 6 kali, murid-murid tinggal 30 orang. Tapi Bapak Watanabe masih terus hadir dengan rajinnya. Sampai kelas atas dia sudah ikuti, dan begitu dia mengetahui bahwa aku mengajar kelas atas (kelas lanjutan) di sebuah Culture Center, Watanabe san berhenti belajar di KOI, dna belajar di Culture Center, di kelas saya. Di kelas itu, aku harus mengajar 3 lansia dari 9 murid yang ada. Bapak Watanabe 87 th, Bapak Fukuoka 85 th, dan Bapak Asaga 83 tahun. Kelas yang impresif (dan agak sulit)
Watanabe san masih terus belajar di Culture Center itu sampai sekarang. Meskipun aku sudah berhenti mengajar di sana sejak 5 tahun yang lalu. Hanya karena mendengar bahasa Indonesia yang indah… tanpa sekalipun pernah pergi ke Indonesia … bahkan ke Bali pun belum pernah. Tapi kecintaannya pada bahasa Indonesia dan ketekunannya memang patut mendapatkan penghargaan. Kalaupun aku punya hak untuk mencalonkan penerima Bintang Maha Putra atau penghargaan lainnya, ingin aku calonkan nama bapak Watanabe ini dalam nominasi. Yang pasti, semangatnya akan selalu aku patri dalam ingatanku.
“Seharusnya persatuan alumni KOI membuat acara reuni ya?” dia berkata. Terlihat dia ingin sekali hadir dalam acara-acara silaturahmi.
“Ya, seharusnya ada acara reuni ya. Tapi… ketua persatuan alumni (Bapak Fukuoka) sudah meninggal….” Ahhh suram sekali percakapan ini.
“OK nanti saya coba bicara dengan ibu Hikita, supaya kita mengadakan acara reuni. Nanti saya kasih tahu hasilnya”
“Sensei juga kalau iseng, telpon saya, nanti kita bicara di telepon ya”
“Ya…. kalau tidak, saya akan coba kirim fax ya” Tapi aku tahu dia ingin ngobrol….
“Watanabe san juga hati-hati ya, jaga kesehatan dan hati-hati kalau mandi. Kamar mandi kan licin….”
“Iya… waktu itu juga teman saya ada yang meninggal di kamar mandi. Istrinya panggil-panggil, ternyata sudah tengkurap dalam bak” ….ahhh kenapa aku musti menyebutkan kamar mandi segala!!!!
Sambil berjalan ke tempat taxi….
“Kalau saya kebetulan ke Meguro lagi, nanti saya telpon dan mungkin bisa bertemu lagi ya…. ” Aku tahu ada perasaan itu…. di hati kami…. Mungkin kali ini adalah kali yang terakhir…
Kami berjabatan tangan lagi di depan taxi yang menanti…. dan berpelukan lagi. Tapi aku tahu pelukan ini agak lemah dibanding dengan yang tadi. Aku cuma bisa berdoa, Tuhan lindungi dia… lindungi dalam perjalanannya setiap hari Sabtu untuk belajar bahasa Indonesia, karena berarti dia akan naik kereta, dan jalan kaki sampai tempat kursus yang aku tahu jaraknya cukup jauh.
Aku bantu dia duduk di kursi belakang taxi dan berkata pada pak supir, “Yoroshiku onegaishimasu” (tolong perhatikan dia ya)
Dan aku membungkuk ke arahnya takzim dan melambaikan tangan…
Dan aku berbalik ke arah stasiun dan berusaha menahan tangis.
Dan sekarang aku bisa melepaskan tangisan yang kutahan tadi, sambil menuliskan posting ini.
Jika kamu bisa hidup sampai 94 tahun, masihkah kamu akan belajar… dan belajar…dan belajar terus?
Hormat, Doa dan Terima kasihku untuk Watanabe san.
Dan pagi ini (1 Juli 2009) pukul 8:00 aku menerima telepon darinya, mengucapkan terima kasih untuk pertemuan kemarin (Orang Jepang selalu begitu, menghubungi kembali untuk berterima kasih, sebuah kebiasaan yang patut ditiru). Dia berkata, dia senang dan terkejut melihat aku yang katanya tambah cantik (hahhaha dan aku tambahkan …tambah gendut). Dan dia mengucapkan selamat beraktifitas, semoga bisa bertemu lagi…. Ya, aku masih berharap bisa bertemu lagi, sementara itu aku ingin menulis banyak tentang sejarah dan pertemuan-pertemuanku dengan orang Jepang yang menginspirasiku.
EM
NOTE:
Watanabe san sudah meninggal tgl 7 Maret 2012, dalam usia 96 (hampir 97 di bulan April), karena pnumonia. Di RS dia tetap membaca buku bahasa Indonesia. Sayang aku tak dapat datang melayat, karena persis pulang dari Indonesia, sesudah menghadiri pemakaman mama yang meninggal tgl 23 Februari 2012. Rest in Peace Watanabe san. Hormatku selalu.
Dua kakek Jepang yang kutulis di sini semua sudah meninggal. Bapak Fukuoka adalah dokter di Manado selama pendudukan Jepang. Bapak Asaga bertugas di Aceh dan Medan, pernah bercerita bahwa dia menjalani operasi usus buntu dalam perahu, tentu tanpa obat bius 🙁 Bapak Asaga mendonorkan badannya untuk medis, sehingga tidak ada penguburan sampai 3 tahun lebih. Hormatku untuk ketiga bapak tua, yang begitu mencintai Indonesia. Salute