Sejak Riku masuk SD, dia mulai mandiri dan berani. Dan tidak ragu-ragu untuk pergi ke pos polisi dekat rumah yang hanya berjarak 300m saja jika ada apa-apa. Sebutan omawari-san (orang yang berkeliling – memeriksa kondisi daerah wilayahnya) yang berkesan “ramah” lebih dikenal anak-anak daripada keisatsu (polisi secara harafiah). Polisi tidaklah menjadi momok bagi warga terutama anak-anak.
Supaya Riku bisa masuk rumah meskipun aku tidak ada di rumah, aku memberikan kunci duplikat rumah pada Riku. Setelah kejadian penemuan uang lalu Riku serahkan ke polisi yang aku tulis di sini, sepertinya Riku sering pergi ke pos polisi. Begitu dia takut sendirian di rumah, dia pergi ke pos polisi sehingga dia bisa meneleponku dari sana. Memang sih waktu pertama aku menerima telepon dari polisi deg-degan juga…. ada apa nih. Dan tahun lalu cukup sering aku menerima telepon dari polisi dengan masalah Riku pulang kepagian atau dia takut di rumah sendiri padahal aku tidak ada.
Sesudah naik kelas 2 ini, dia sudah berani masuk rumah sendiri, dan langsung menelepon aku memberitahukan bahwa dia sudah pulang. Biasanya dia harus menunggu aku paling lama 1 jam, dan dia sudah tidak takut sendiri. Dia menonton TV sambil menunggu aku (tentu saja aku cepat-cepat pulang). Bahkan sering dia menyuruh aku pergi belanja sendiri, sementara dia jaga rumah dan adiknya. Kereeen!(Meskipun begitu aku pasti cepat-cepat dan maksimum 1 jam saja)
Nah, hari ini dalam perjalanan pulang kerja di kereta, ada telepon. Kupikir dari Riku, jadi aku cuekin saja biar dia meninggalkan pesan di answering machine (aku sudah kasih tau, kalau mama tidak bisa jawab, berarti memang tidak bisa angkat, jadi tinggalkan pesan saja. Begitu ada waktu pasti mama telepon balik ke rumah). Kali itu aku tidak bisa angkat, karena aku duduk dengan teman dosenku (yang mengajar bahasa spanyol itu) di silver seat, tempat khusus untuk lansia, penderita cacat/hamil. Karena kosong, sedangkan dia kan masih sakit tulang rusuknya, jadi kami duduk di silver seat itu. Dan peraturannya di daerah silver seat itu tidak boleh memakai telepon bahkan seharusnya mematikan HP.
Tapi karena aku merasa getaran telepon sampai 3 kali dalam waktu 10 menit, aku curiga…. dan benar saja. Ternyata yang menelepon aku adalah nomor polisi. Aduhhh, ada apa lagi nih anakku. Pasti dia lupa kunci atau apa. Jadi begitu aku turun di stasiun Shinjuku, aku mendengarkan pesan yang masuk. Polisi dari pos polisi dekat rumahku mengatakan, “Okasan, Riku lupa kunci rumahnya, jadi dia di sini. Tapi setelah bicara dengan Riku, dia akan langsung pergi les (bahasa Inggris).” Itu saja pesannya. Jadi kalaupun aku telepon ke nomor polisi itu, semestinya Riku sudah pergi ke les bahasa Inggris.
Aku langsung telepon guru bahasa Inggrisnya, yang kebetulan memang temanku juga. Riku belum datang, tapi dia berjanji untuk mengirim email jika Riku sudah datang. OK…. kupikir aku tidak perlu cemas, pasti beres deh.
Tapi tunggu punya tunggu, cukup lama juga baru email temanku itu muncul di HP ku. Tulisnya, “Riku sudah datang. Tapi tolong jemput nanti ya (selesai les)”. Ya, pasti lah aku akan jemput, sesudah kejadian hari ini kasian juga kalau aku “cuek” saja dong.
Cepat-cepat aku jemput Kai di penitipan, dan menerjang angin kencang aku mengayuh sepedaku ke tempat lesnya Riku. Temanku keluar bersama Riku dan berkata, “Imelda, kamu harus pergi ke polisi sekarang. Tadi polisinya sendiri antar Riku ke sini loh. Dan dia minta kasih tau kalau Riku sudah bertemu mamanya. Jadi lebih baik kamu ke pos polisi sekarang. Tapi Riku hebat ya dia langsung lapor ke polisi……”.
Waaaah segitunya pelayanannya pak polisi! Diantar sampai depan pintu les, sampai pesan begitu segala. Ya jelas dong, aku harus mendatangi pos polisi dan mengucapkan terima kasih pada pak polisi yang baik.
Sepanjang perjalanan aku tanya Riku, kok kamu lupa kunci? Padahal tadi pagi aku sudah masukkan dalam tas ranselnya. Kamu tidak periksa dalam tas? pasti ada lohh!…… Cerita punya cerita ternyata memang dia menghilangkan kunci itu, entah jatuh di mana bukannya lupa seperti yang disebut pak polisi di pesan HP.
Begitu mendekati pos polisi itu, polisi yang mengantar Riku tadi itu langsung mengenali kami, dan aku langsung membungkuk mengucapkan terima kasih. Duhhhh polisi itu menyambut kami dengan tertawa lebar! Sambil berkata, “Tidak apa-apa…. Tapi Riku hebat ya, dia hafal nomor HPnya ibu. bla bla bla…. ” Ah, polisi ini ramah sekali. Karena Riku kehilangan kunci rumah, siapa tahu ada yang menemukan dan menaruhnya ke polisi. Jadi aku melaporkan kehilangan kunci dengan menulis nama, alamat, no telepon, barang yang hilang serta ciri-cirinya.
Sebagai tanda terima surat laporan itu, aku menerima selembar kertas bertuliskan nomor registrasi. Kalau ada kunci dengan ciri-ciri yang aku tulis, maka besok-besok aku akan ditelepon. Dan saat itu juga si Pak Polisi ramah itu langsung menelepon bagian penemuan, apakah sudah ada yang menemukan kunci seperti yang aku tulis karena kejadiannya sudah lewat 4 jam. Memang belum ada, dan mungkin tidak akan ditemukan. Buatku tidak apa-apa, karena di kunci itu tidak ada alamat kami. Kemungkinan untuk pencuri masuk sedikit sekali. Dan kami bisa buat kunci duplikat baru.
Tapi terus terang senyuman dan keramahan pak polisi tadi itu benar-benar melegakan aku sebagai seorang ibu. Aku benar-benar merasakan keamanan untuk anak-anakku dan percaya jika ada apa-apa anak-anakku pasti bisa “berlari” dan minta tolong ke pos polisi ini. Terima kasih ya pak pol…. terima kasih juga untuk senyuman dan pelayanannya.
NB: Dalam perjalanan pulang ke rumah, Riku berkata, “Ma, nanti kalau aku besar, aku mau jadi polisi aja ah…”
Iya nak, apa saja deh…. sambil aku pun menekan segala kekhawatiran. Setiap pekerjaan tentu ada resikonya bukan?