Konon …katanya…. tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua terjadi karena ada daya tarik menarik, karena ada chemistry, atau apalah namanya. Atau untuk yang religius mengatakan hidup manusia sudah direncanakan Allah. Aku setuju semua pendapat ini.
Tapi menjelang akhir tahun 2014, aku mengalami dua kebetulan yang…cukup aneh.
Kebetulan Pertama, aku mengenal seorang dosen, F.K sensei sejak tahun 1997-an, waktu aku mengajar di Universitas Keio. Aku sendiri merasa cukup akrab dengannya. Bahkan F.K. Sensei ini yang mendorong aku untuk menulis buku pelajaran “reading” sebagai bahan pelajaran kelas menengah, dan akhirnya mengajakku mengajar di dua universitas lain (satu sudah berhenti, yang satu lagi masih sampai sekarang).
Kami sering terkejut jika bertemu, karena kami sering berpakaian senada. Jika aku memakai baju merah dengan jaket hitam, F.K. sensei memakai baju hitam dengan jaket merah. Bahkan suatu kali kami berdua memakai setelan biru tua dengan kemeja putih berdasi. Nah loh! Padahal tidak pernah janjian loh. Penasaran aku mencari tanggal ulang tahunnya, dan… bingo! Ulang tahun kami berdua hanya berjarak 5 hari dan berzodiak sama.
Sejak itu aku maklum jika banyak sifat kami yang sama, termasuk sikap cueknya, sikap perfeksionisnya dll. TAPI baru tanggal 14 Desember lalu, aku mempunyai waktu cukup lama untuk berbincang sambil makan malam sesudah meeting. Daaaan…. baru saat itu aku tahu, bahwa kami berdua meneliti bidang yang sama yaitu mengenai bahasa Indonesia jaman pendudukan Jepang: 1943-1945. Sosio-linguistik-history. (memang sudut pandangnya berbeda) Wah…
Tentu saja F.K. sensei daisempai (kakak kelas—jauh) karena mulai meneliti sudah sejak aku masih di Indonesia. Berpuluh tahun mengumpulkan data dan dokumen lalu mendapatkan Master di Malaysia, dan Doktor di Waseda. Langsung aku menciut jika membandingkan dengan thesisku yang persiapan penulisannya HANYA satu tahun saja. Doooh. Tapi dengan perbincangan kami, aku semakin yakin bahwa bidangku bukan di situ, lebih di sisi linguistiknya, sehingga aku pun mulai bermimpi jika suatu saat aku bisa belajar lagi, aku akan mempelajari linguistik/sastranya.
Berkat “kebetulan” yang baru kuketahui itu, aku pun mulai membuka pandangan baru terhadap akademis dan merasa perlu berhubungan lebih banyak lagi dengan para dosen dan profesor. Siapa tahu aku bisa ketularan pintar kan? 😀
Kebetulan kedua terjadi seminggu sesudahnya, tanggal 20 Desember. Aku mengajak mantan mahasiswaku di Universitas S untuk makan siang bersama. Ayumi akan pergi ke Jakarta untuk menjadi asisten guru bahasa Jepang di SMA, dalam program baru Japan Foundation. Dia dulu (4 tahun lalu) memang mengambil mata pelajaran Bahasa Indonesia denganku, tapi dia sendiri mengaku tidak belajar. Yang dia ingat hanya “PISANG” 😀 Untunglah dia mendapat kursus intensif sebelum pergi sehingga kudengar dia sudah cukup lancar berbahasa Indonesia.
Kami janjian bertemu di stasiun Meguro, untuk pergi bersama-sama ke restoran Indonesia, Cabe. Tapi karena hujan dan sudah lapar, aku mengajak Ayumi dan temannya naik taxi saja. Daaan di sini lucunya.
Tentu saja dalam taxi kami banyak bicara macam-macam. Lalu aku menyuruh supir untuk berhenti di pinggir saja karena kami harus menyeberang untuk bisa ke restoran itu. Kalau taxinya harus putar balik maka akan sulit, atau terpaksa cari jalan lain, dan sudah pasti lebih mahal lagi meternya. Lalu si supir tiba-tiba berkata:
“Kalian mau pergi ke Restoran Cabe ya?”
“Loh kok bapak tahu?”
“Ya saya sering ke sana juga… saya kenal dengan pemilik restonya, Pak Ohira”
“Looooh… kebetulan sekali ya…. nanti saya kasih tahu pak Ohira”
“Ya, sebetulnya istri saya orang Indonesia….”
Ealaaaaaaahhh… dunia ini sempit ya. Dalam waktu 3 menit sejak aku membayar dan menerima kembalian itu, telah terjadi percakapan seperti itu. Kebetulan yang amat jarang, bertemu supir taxi orang Jepang yang beristrikan orang Indonesia.
Masih dalam heran, kami menyeberang dan jalan ke restoran Cabe. Hari itu setelah makan, kami juga sempat mengikuti misa berbahasa Indonesia di gereja Meguro. Ayumi dan temannya memperkenalkan diri dalam bahasa Indonesia yang sempurna.
Selamat jalan Ayumi, selamat menikmati Indonesia. Dan juga mungkin akan menemui “kebetulan-kebetulan” lain di Jakarta.
Hidup itu memang menarik kan?