Three Wise Monkeys!

24 Nov

Tepat hari ini sebetulnya di sebuah restoran di Jakarta akan diadakan reuni teman-teman jaman SD-ku. Aku belum begitu lama bergabung dalam group WA SD ku itu, dan setiap hari ribuan msg “nangkring” di sana. Maklum aku tidak getol buka-buka group di socmed manapun (di FB pun sebagian besar biasanya aku matikan notificationnya, kecuali jika aku yang administratornya). Nah, mereka akan berkumpul di resto milik temanku juga, masih baru (sepertinya), dan bernama three wise monkeys!

three wise monkeys shrine at Nikko Toshogu

Hmmm rasanya aku pernah mendengar nama ini ya? Tapi aku tidak yakin di mana. Dan baru kuketahui minggu lalu, saat deMiyashita jalan-jalan ke Nikko. Setelah cukup lama tidak jalan-jalan karena masing-masing memang sibuk, kami menyempatkan diri ke Nikko pulang hari.

Nikko terletak di perfektur Tochigi, kira-kira 4 jam perjalanan dari rumah kami. Aku sudah pernah pergi ke Nikko sekitar 20 tahun yang lalu, tapi hanya pergi ke Edo Mura (perkampungan Ninja) bahkan pernah menyetir melewati hutan-hutan di sana. Tapi aku belum pernah pergi ke Toshogu Shrine, tempat yang biasanya menjadi tujuan wisata di Nikko. Setiap kali aku mengajak Gen ke Toshogu, pasti dia malas nyetir ke arah Nikko…. memang macet sih.

Tapi seminggu lalu waktu kami pergi ke sana, perjalanan lancar. Mungkin karena musim melihat dedaunan berwarna-warni musim gugur (disebut Kouyou) sudah hampir habis. Kami hanya perlu “antri” parkir waktu mendekati kuil tersebut. Karena kelihatannya cukup lama, padahal kami mau pergi ke beberapa tempat, akhirnya kami masuk ke tempat parkir yang lebih mahal, yang berjarak 10 menit sebelum Toshogu. Daripada buang waktu menunggu, lebih baik kami jalan kaki ke sana.

sisa sisa pemandangan dedaunan merah kuning, ciri khas musim gugur di Nikko

Berkat jalan kaki itu kami juga bisa menikmati keindahan daun-daun yang menguning dan memerah sepanjang jalan. Meskipun cukup menakutkan juga karena jalan cukup sempit padahal cukup sering bus-bus pariwisata yang melewati jalan itu. Jadi biasanya kami menepi dulu begitu melihat ada bus yang mendekat.

Kami memasuki kompleks Toshogu dari samping, bukan dari pintu gerbang. Begitu muncul di kompleks, kami menjumpai sebuah tenda yang menjual manju (kue Jepang seperti bakpao tapi bahan rotinya lebih padat dan berisi pasta yang terbuat dari kacang kedelai, kacang merah dan kacang hitam). Kami bisa melihat juga torii (gerbang) dari batu dan kuil pagoda 5 tingkat. JDari situ kami masih harus menaiki tangga untuk bisa masuk ke kompleks kuil, dengan membayar 1300 yen (kuil utama+museum) untuk orang dewasa. Wuih mahal!!! Baru kali ini aku membayar semahal ini untuk “karcis tanda masuk” (kalau bahasa Jepang tidak pakai istilah tanda masuk tapi tanda berziarah). Memang sih semua souvenir yang dijual di sini jauh lebih mahal daripada di kuil-kuil lainnya. Riku sempat ingin membeli sebuah “omamori (jimat) ” tapi karena harganya 1000 yen, tidak jadi beli.

sebelum membayar HTM, terlihat torii dan pagoda

Kami melewati Kuil Three Wise Monkeys dulu sebelum menuju ke tangga kuil utama. Sayang sekali pintu masuk kuil utama sedang dalam perbaikan, yang konon baru selesai tahun 2020. memang semua kompleks kuil ini tahun depan akan berusia 400 tahun! Bayangkan mereka merenovasi pintu masuk yang berusia 400 supaya tampak sesuai aslinya. Dan memang bagian dalam kuil utama, yang merupakan “makam” dari Tokugawa Ieyasu itu benar-benar mewah! kayu hitam berlapis emas, semua detil yang begitu mewah, menunjukkan kebesaran seorang Tokugawa Ieyasu, yang bahkan setelah dia meninggalpun “dipuja”. Kami harus menanggalkan sepatu sebelum memasuki kuil dan dilarang memotret dalam kuil. Memang di tempat-tempat wisata yang kuno, pengaruh cahaya lampu kilat bisa merusak benda-benda seni, sehingga biasanya memang tidak boleh memotret di dalam.

setelah masuk kompleks kuil, menuju kuil utama

Tempat menanggalkan sepatu tersambung dengan jembatan masuk yang berwarna merah jreng! persis di dekat tempat menaruh sepatu ada sebuah tempat sembahyang yang sedang melangsungkan upacara pernikahan ala Shinto. Ada kejadian yang membuatku gusar. Ada seorang wisatawan yang berasal dari negara C, yang meskipun mengetahui dia tidak boleh memotret, tetap saja memotret, bahkan sampai masuk ke tempat-tempat yang dilarang untuk dimasuki. Duh! menyebalkan sekali. Memang kebanyakan orang Asia, termasuk negara kita, sering melanggar peraturan. Bukan soal bahasa, karena jelas-jelas dipakai tanda berupa gambar kamera coret. Tapi masalah mentalitas. Aku tidak pernah melihat ada orang Jepang yang (mencoba) melanggar loh.

Setelah mendengarkan penjelasan dari seorang pendeta Shinto mengenai “Tuhan” kuil itu, kami kemudian beranjak ke kuil yang berada di samping kiri yang bernama Kuil Naga Menangis. Di sini cukup ramai, sehingga kami harus antri masuk. Memang kami harus mendengar penjelasan seorang pendeta, mengapa kuil itu dinamakan Kuil Naga Menangis. Di atas langit-langit ada sebuah lukisan naga yang besar. Lalu diperagakan bahwa jika memukul dua tongkat persis di bawah lukisan  muka Naga, maka suara pukulan tongkat itu akan bergema seperti suara Naga yang menangis. Jika dipukul tidak tepat di bawah lukisan muka naga, maka tidak bergema. Kuil itu juga merupakan kuil “tabib” untuk semua shio. Sehingga disarankan untuk membeli “jimat” sesuai dengan shio kelahirannya. Di sini Riku juga ingin membeli jimat tapi karena harganya 1000 yen, mengurungkan niatnya.

langsung silau melihat kuil utama yang keemasan. Kanan bawah relief detil pada kuil utama, yang terlihat dari luar

Kami kembali lagi ke tempat parkir dan menuju tempat tujuan yang kedua. Sebetulnya ada dua tempat tujuan, yaitu air terjun dan hotel Kanaya, tapi karena waktunya mendesak kami membatalkan pergi ke Hotel Kaneya. Kami langsung pergi ke Air Terjun Kegon.

Tadinya aku enggan pergi ke air terjun itu, karena kakiku yang tiba-tiba sakit dan sulit untuk dipakai berjalan (gara-gara sehari sebelumnya membawa barang berat 🙁 ) Tapi ternyata untuk melihat air terjun itu kami bisa naik lift. Naik lift yang menurun hehehe, jadi mestinya turun lift ya. Lift itu menuruni 100 meter ke bawah dalam 1 menit. Kami harus membayar 500 yen per orang dewasa. Aku senang karena tidak perlu jalan jauh, tapi ternyata setelah turun dari lift, kami masih perlu menuruni tangga 2 tingkat.

Kegon Falls, dekat danau Chuzenji

Pemandangan di sini sebetulnya biasa saja, kalau bukan musim gugur. Dan karena kami datang pemandangan kouyounya sudah lewat ya terlihat biasa saja. Kalau googling Kegon Falls in autumn, bisa melihat foto-foto air terjun dengan pepohonan menguning dan memerah yang indah. Ya kami datang sudah musim dingin di Nikko! Dan dingiiiiin sekali. Menggigil deh, apalagi kami waktu itu belum makan siang, sehingga begitu kembali ke tempat parkir, kami langsung mencari makan. Makanan yang populer di tempat-tempat wisata Jepang, apalagi waktu musim dingin adalah ikan bakar Ayu (jenis ikan ini memang namanya ayu), tapi mahal! Bayangkan satu ekor ikan ayu bakar harganya 600yen …duh! Tapi karena Gen dan Riku mau, kami membeli dua ekor dan makan bersama. Coba lebih murah, pasti kami bisa makan 10 ekor deh hehehe.

Kami akhirnya makan siang di sebuah rumah makan di tempat parkir yang juga menyediakan wifi. Sayang sekali set menu ikan Masu yang kami pilih tidak begitu enak. Tapi kami cukup puas bisa menikmati Nikko dalam waktu yang sempit. Kamipun bergerak menuju Tokyo, karena kami tahu kami pasti akan terjebak macet di jalan tol pulang.

Oh ya, Gen memang agak memaksakan pergi ke Nikko dalam satu hari itu karena dia ingin mengulang memorinya pergi karya wisata waktu kelas 6 SD! Dan Riku sekarang kan kelas 6, sehingga rasanya tepat jika Gen, sebagai seorang ayah mengajak anak lelakinya ke Nikko. Masih banyak bagian Kuil Toshogu yang belum kami jelajahi sehingga kami bermaksud mengunjungi Nikko lagi, nanti 5 tahun lagi, waktu Kai kelas 6 SD 😀

Mudik Kilat

10 Nov

Bulan November sudah berlalu 10 hari, tapi belum ada satu tulisanpun di sini. Malas rasanya memulai, karena tak tahu lebih baik menulis apa, tapi kuputuskan kutulis saja yang paling mudah tetapi singkat panjang!

Ya, sebetulnya sejak tanggal 30 Oktober malam aku meninggalkan rumah di Tokyo, untuk mengadakan perjalanan kilat ke tanah air. Berangkat pukul 30 malam, tepatnya pukul 00:30 tanggal 31 Oktober. Kali ini aku menumpang pesawat Garuda. Memang murah, karena aku akan melanjutkan perjalanan dari Jakarta menuju Makassar, jadi Garuda merupakan peilihan terbaik, dibanding jika aku membeli tiket terpisah lagi di Jakarta. Lagipula pikiran kami (aku pergi bersama Sanchan yang kebetulan juga ada acara di jakarta) naik Garuda bisa memangkas waktu kami antri untuk mengambil Visa On Arrival bagi anak-anak kami.

Berangkat dari Haneda…sambil menahan kantuk! Dan sampai pukul 6 pagi di Cengkareng

TAPI, ternyata untuk keberangkatan Garuda dari HANEDA, tidak menyediakan proses imigrasi dalam pesawat, tidak seperti kalau berangkat dari Narita. Hmmm satu point ini sudah merusak image kami untuk maksud menggunakan Garuda di lain waktu. Kalau tetap antri juga, buat apa kami naik Garuda? Karena ANA pun berangkat dari Haneda, dan makanannya lebih enak menurutku hehehe. Satu point lagi yang mengurangi penilaianku, adalah waktu penerbangan pulang masih harus naik bus lagi (dan tentu naik tangga – tanpa garbarata) dari lobi ke pesawat yang parkir ntah di terminal mana….. sama seperti pesawat domestik saja hehehe. Jadi sepertinya kalau tidak mendesak sekali, aku akan tetap pakai ANA seperti yang sudah-sudah.

Kami sampai pukul 6 pagi, menyelesaikan VoA, lalu menunggu jemputan Opa yang datang pukul 7 pagi setelah mengikuti misa pagi. Kami menunggu di AW, sambil menunggu kedatangan adik Sanchan yang membawakan telepon Indonesia untuk dipakai selama berada di Indonesia. Enaknya aku bisa nebeng memakai wifinya 😉 karena 80% kami bergerak bersama selama di Indonesia.

Mengunjungi “makam” mama di Oasis, Tangerang

Dari bandara, kami berlima, Opa, Aku, Kai, Sanchan dan anaknya langsung menuju ke Oasis, di tangerang tempat makam mama. Tak terasa mama sudah hampir 1000 hari meninggalkan kami.  Pada hari ke 1000, aku tidak bisa datang sehingga aku berdoa dari Tokyo saja.

Karena masih pagi, lalulintas masih lancar. Kami pun menuju Jakarta Selatan untuk mampir di kedai bubur ayam langganan dekat rumah. Selain bubur ayam juga ada mie ayam sih. Padahal Kai maunya makan sate ayam! Tapi karena anak-anak ketiduran di mobil, kami langsung pulang ke rumah  dan minta pak supir membelikan sate ayam RSPP kesukaan Kai.

Sebelum ke sency belanja dulu oleh-oleh snack Indonesia di Nusa Indah, dan sesudah Sency mengejar sate padang di pasaraya tapi sudah habis. Senang bisa bertemu Yuko san lagi di pasaraya

Tadinya aku mau langsung jalan lagi, belanja barang-barang yang mau dibawa ke Tokyo. Tapi ternyata cukup capai, apalagi Sanchan yang sebelum berangkat bertubi-tubi dikejar deadline (aku sebelum berangkat malah boleh dibilang agak santai karena univ libur). Jadi deh kami berdua tidur siang dulu sebelum pergi lagi pukul 3 siang menuju Sency dan bertemu dengan kolega kerja kami. Nah, yang menjadi masalah, aku penuh jadwalnya untuk keesokan harinya, sehingga harus mengejar makan sate mak syukur untuk makan malam. Tapi begitu pergi ke counter di Pasaraya ternyata sudah habis. Terpaksa deh pulang dan tidur malam itu sambil mimpi sate padang deh **lebay**

Hari kedua, 1 November, Sabtu. Tadinya aku tidak ada rencananya apa-apa. Tapi ternyata ada sahabat baik waktu SMP yang melihat postinganku di FB bahwa aku mendarat di Jakarta. Dia rupanya menyelenggarakan pesta peringatan 25 th pernikahannya di Hotel Hermitage, Cikini pukul 11 siang. Jadi dia mengharapkan aku bisa hadir juga. Undangan itu cukup menggoda, karena sekali kayuh dua-tiga pulau bisa terlampaui. Aku bisa bertemu teman-teman lainnya di sana, tanpa perlu mengadakan reuni! TAPI….aku tidak punya baju yang layak!!! Tapi untung aku selalu membawa baju hitam-hitam, sehingga cukup ditutupi selendang batik, jadi cukuplah bisa memenuhi dress code, Smart Casual. CUMA, aku terpaksa harus pakai sepatu kets warna hitamku, karena tidak ada sepatu lain. Untung tidak perlu difoto satu badan 😀

Sabtu yang menyedihkan di RS Tjikini dengan Tjokie dan waktu yang menggembirakan di ultah pernikahan 25th sahabat waktu SMP.

Tapi sebelum aku ke hotel untuk acara itu, aku menyempatkan diri mampir ke RS Tjikini untuk menjenguk teman SD yang sedang dirawat di ICU, Tjokie Tambunan. Waktu kujumpai, wajahnya cukup segar dibanding foto-foto sebelumnya yang dibagikan via BBM/WA. Sempat berfoto bersama, tapi ternyata penyakitnya sudah mengalami komplikasi parah dan dia meninggal 3 hari sesudah aku bertemu atau persis waktu aku meninggalkan Jakarta tgl 4 November pukul 12 siang.

Sabtu siang, sekitar pukul 1 aku pamit dari acara temanku itu, dan menjemput Kai yang kutitipi pada Sanchan di Sency. Ya, aku punya satu janji pada Kai, yaitu membelikan dia sate Padang. Dia suka sekali, dan ternyata anaknya Sanchan pun suka. Jadilah dibuka pertandingan makan sate Mak Syukur di Foodcourt Pasaraya siang itu. Puas makan sate, kami pulang karena Sanchan akan dijemput adiknya untuk menghadiri acara keluarga dan menginap di hotel. Kai sempat menangis karena harus berpisah, padahal hanya untuk dua malam saja. Kami toh akan pulang bersama ke Tokyo.

Sabtu malam kedatangan tamu tiga bidadari, sahabatku di rumahku. Sesudah itu makan bubur ayam di Barito

Sambil aku bingung akan makan malam apa, tiga sahabat yang memang sering berkunjung ke rumah, tiba-tiba berdatangan tanpa janjian. Ria, Lia dan Eka! Dan akhirnya malahan bisa berfoto berempat. Karena Lia harus kembali ke RS menjaga temannya, aku, Ria dan Eka akhirnya makan supper di Bubur Ayam Barito.

Aku dan Kai bersama Opa pada hari Minggu, 2 November naik pesawat pagi menuju Makassar, tujuan utamaku dalam perjalanan mudik kali ini. Begitu sampai di Makassar, kami langsung sarapan nasi dan ikan bolu (Bandeng) bakar di rumah makan langganan alm. mama. Nah sepertinya ini yang menjadi penyebab perutku bertingkah sesudahnya. Mungkin sambalnya ya? Karena begitu cek in di hotel, perutku mulai aneh. Meskipun aku sempat berbelanja Nyuknyak  (bakso) dan bakpao dan meninggalkan opa yang beristirahat di kamarnya serta Kai di kamarku. Setelah itu aku juga langsung menuju bandara Hasanuddin untuk menjemput, adikku Novi yang mampir ke Makassar setelah selesai dinas di Papua. Jika dia tidak ke Makassar, bisa-bisa aku tidak bertemu dengannya sama sekali.

Makassar, tanah nenek moyangku. Bertemu oma Dodo (94th) di bandara dan restoran, setelah itu aku tepar di hotel.

Tapi sebetulnya aku beruntung karena ternyata jadwal kedatangan adikku hampir berbarengan dengan kedatangan oma Dodo. Pertemuan dengan oma Dodo inilah yang merupakan tujuan utamaku mudik sesingkat 5 hari 4 malam. Karena Oma Dodo sudah berusia 94 tahun, ingin pulang kampung ke Makassar dari Belanda. Jadi menurut papaku, lebih baik aku menemuinya di Makassar daripada di Belanda, yang tentu butuh biaya dan waktu lebih lama daripada kalau aku ke Indonesia. Terakhir aku bertemu Oma tahun 2002 di Belanda, itu berarti 12 tahun yang lalu. Dan…. betapa senangnya aku melihat muka Oma yang kaget melihat aku ada di depannya. Terlihat beberapa kali dia menyeka air mata setelah keluar gerbang kedatangan bandara Hasanudin. Ya, Oma telah sampai di tanah kelahirannya, yang akan dilewatkan cukup panjang.

Sayang aku hanya bisa bertemu dengan Oma di bandara dan waktu makan malam. Rencananya tgl 3 pagi sebelum aku pulang ke Jakarta, aku akan pamitan dulu dengan Oma. Sayang sekali aku terkapar kena diare parah, sehingga sampai 4 jam sebelum terbang aku terpaksa minum obat terkeras yang paling cocok untukku Im*dium. Begitu aku kuat, 2,5 jam sebelum take off aku dan Kai bergegas ke bandara , tanpa sempat pamitan dengan Oma Dodo.

Mereka yang kutemui tidak lebih dari 10 menit! Ni Camperinique di Soeta, Deasy di Makassar dan Andrea Hirata yang sepesawat pulang di Haneda.

Sesampai di Jakarta pun aku terpaksa membatalkan janji makan malam, dan bertemu dengan sahabat blogger Ni Camperinique yang datang khusus ke bandara, serta kakak kelas (sempai) Yeye yang juga baru mendarat dari Singapore. Malam itu aku langsung pulang ke rumah dan beristirahat diselingi packing koper untuk pulang ke Tokyo keesokan siangnya.

Perjalanan mudikku kali ini adalah perjalanan yang tersingkat dan tersibuk selama ini. Tapi aku bisa menikmati silaturahmi yang begitu dalam, ada yang sakit dan sedih, ada yang gembira, ada yang merindu, ada yang sibuk, ada yang spontan…. macam-macam deh. Tapi aku beruntung bisa bertemu dengan mereka semua. They are really MINE! 

Terima kasih untuk waktunya, dan puji syukurku pada Tuhan yang telah membuat rencanaku berjalan mulus. Juga telah menjaga Riku yang kutinggal di Tokyo, yang ternyata melewatkan waktu yang menyenangkan dengan papanya! Put your anxiety to the Almighty and everything WILL be all right!