Akhirnya pekerjaan menerjemahkan yang dimulai tanggal 11 Mei lalu bisa aku selesaikan dengan baik. Tidak begitu banyak sih sebetulnya, tapi nambah terus setiap hari, dan minta cepat 😀 Dan tadi siang terakhir datang permintaan lanjutan menerjemahkan 2 kalimat, sambil diberi kepastian bahwa ini benar-benar file terakhir. Jadi baru hari ini rasanya aku bisa legaaaaa banget. Sekaligus merasa kesepian karena teman chatku yang selama hampir dua minggu aku telantarkan **lebay** berangkat ke Medan. Katanya: “Giliran mbak… selama ini kan aku yang kesepian” hihihi
Lalu sore ini aku sempat blogwalking ke salah satu blog sahabat “must visit blog” dan menemukan artikel berjudul, Bangkitlah Nelayanku! tulisan dari mbak choco. Tulisannya itu memuat saran-saran untuk mengatasi musim paceklik (musim tidak bisa menangkap ikan) yang dialami nelayan Indonesia, sehingga masih tetap dapat bertahan hidup dengan membuat terobosan-terobosan baru. Dari tulisannya ini aku teringat akan sebuah topik yang diangkat dari artikel koran Tokyo, Tokyo Shimbun persis 3 hari yang lalu. Yaitu bahwa telah terjadi perubahan pola makan masyarakat Jepang yang “menjauhi” ikan, yang juga terjadi pada kalangan manula yang tinggal sendiri, sehingga mereka menjadi “pemakan daging”.
Konon penemuan bahwa konsumsi warga Jepang satu hari menunjukkan perubahan dari “ikan” menjadi “daging” bermula tahun 2006. Dan kenyataan itu terus berlanjut sampai sekarang, dan kecenderungan itu pun terjadi pada kaum manula yang tinggal sendiri. Mereka lebih memilih makan daging daripada ikan. DalamPutih tanggal 25 Mei, pemerintah menuliskan bahwa pada tahun 2000, konsumsi ikan satu orang warga Jepang per hari adalah 92 gram, sedangkan daging 78,2 gram, jadi ikan lebih banyak, tapi pada th 2010 angka itu berubah 72,5 gram untuk ikan dan 82,5 gram untuk daging.
Kenyataan ini sebenarnya menurutku cukup bermasalah. Aku memang bukan ahlinya, tapi menurutku rata-rata usia hidup masyarakat Jepang yang tinggi itu, selain dari pola hidup sehari-harinya, juga ditentukan pada pola makan mereka yang banyak makan ikan. Aku termasuk orang yang berpikir bahwa ikan jauh lebih bagus daripada daging. Sehingga jika pola makan ini berubah, aku khawatir usia hidup orang Jepang akan “menciut”. Tapi tentu saja ini baru bisa diketahui 50-60 tahun yang akan datang. Semoga saja tidak.
Aku sendiri suka ikan, maklum deh karena nenek moyangku orang pelaut 😀 dan nenek moyang itu bahkan sejak tahun 1600 sudah mengarungi lautan dengan kapal buatannya sendiri. Tapi merupakan kenyataan bahwa harga ikan di Jepang itu mahal, jauh lebih mahal dari daging ayam atau daging babi. Meskipun memang ada jenis-jenis ikan tertentu yang murah. Kebetulan jenis ikan yang kusuka bernama “buri” ブリ(鰤)、nama latinnya Seriola quinqueradiata, (Japanese amberjack, Five-ray yellowtail) yang hidup di laut dingin. Dagingnya mirip dengan tongkol tapi lebih berlemak. Enak dimakan mentah untuk sushi, tapi juga enak dibakar. Dan yang menarik dari ikan buri ini adalah menurut besarnya ikan, namanya bisa berubah-ubah. Nah, ikan jenis ini cukup mahal. Misalnya satu potong ikan buri potongan untuk satu orang harganya bisa mencapai 300 yen. Atau termurah yang pernah kulihat 4 potong 750 yen. Nah untuk harga segini, aku bisa membeli ayam halal 2 kilo 😀 Jadi bisa mengerti kenapa aku juga akan lebih memilih membeli ayam daripada ikan kan?
Selain harganya mahal, ikan segar jauh lebih enak. Sejak tinggal di Jepang, aku tidak pernah masak ikan yang sudah masuk freezer. Frozen fish itu rasanya berubah! Jauh lebih enak ikan segar (tentu saja). Apalagi jika mau makan sashimi (mentah), harus membeli yang khusus sashimi dan tidak bisa dibiarkan menginap. Tapi untuk dibakarpun akan jauh lebih enak jika ikannya segar, belum pernah masuk lemari beku. Jadi, kalau mau makan ikan, aku harus pergi ke pasar untuk membelinya. Atau paling lama dibakar keesokan harinya. Ini juga membuat orang malas masak ikan. Tentu kita bisa bayangkan bahwa manula itu juga jarang dan malas keluar rumah kan?
Bagiku alasan ekonomis dan kesegaran itu amat sangat dapat dimengerti. Tapi selain kedua alasan itu, ada alasan MALAS. Untung aku tidak malas, karena aku bisa menyiangi ikan, membuang sisik dan insang, memotong, membakarnya sendiri, dan …. makan tanpa merasa repot jika bertemu tulang! Tapi banyak orang muda di Jepang yang malas! malas bertemu tulang, karena biasanya jika kita membeli ikan di pasar/supermarket, kita bisa minta pelayan untuk membersihkan dan memotongnya untuk kita. ATAU tentu saja membeli ikan potongan, bukan yang utuh. tapi itu saja mereka MALAS membakarnya, dan makan ikan yang mungkin saja masih bertulang (padahal menurutku ikan laut di Jepang tulangnya sedikit, coba deh bandengnya Indonesia, durinya boooo!Apalagi ikan air tawar :D). Salah satu kesalahan waktu mereka makan ikan yang bisa kuteliti adalah bahwa mereka makan ikan tetap dengan sumpit sih. Coba pakai tangan seperti orang Indonesia, pasti tidak takut dengan tulang :D.
Cara makan ikan bakar dengan sumpit: Makan satu sisi sampai bersih. Kalau sudah, ikan tidak boleh dibalik, tapi singkirkan tulangnya sehingga yang tertinggal adalah daging ikan sisi satunya, baru dimakan 😀 repooooot kan :D, enakan juga pakai tangan. Sayang aku tidak punya foto makan ikan dengan sumpit. Nanti deh aku beli khusus ikan sanma untuk ambil fotonya 😀
Menanggapi kecenderungan turunnya konsumsi ikan di Jepang, Kementrian Pertanian, Kehutanan dan Perairan (Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries) Jepang mulai bulan Juli mendirikan proyek baru bekerjasama dengan pihak terkait untuk menggalakkan konsumsi ikan di Jepang. Mereka bermaksud mengubah padangan warga Jepang bahwa ikan hanya bisa “dibakar” dan “direbus”. Well, memang di Jepang jarang atau tidak ada yang menggoreng ikan, apalagi pepes ikan 😀 Selain variasi masakan mereka juga bermaksud menggalakkan penjualan “ikan tanpa duri”. (Sumber : Tokyo Shimbun 26 Mei 2012)
Bagaimana dengan teman-teman? Suka makan ikan? Mari kita galakkan makan ikan, baik di Jepang maupun di Indonesia.
日本人の魚離れが止まらない。国民一人の一日当たりの魚と肉の摂取量は、二〇〇六年に初めて肉が魚を上回り、その後「肉食化」の傾向が拡大。肉を好む若者だけではなく高齢者でも魚離れが進んでおり、水産庁は消費拡大の取り組みに乗り出すことにした。
政府が二十五日に閣議決定した水産白書によると、国民一人の一日当たり摂取量は、二〇〇〇年には魚が九二・〇グラム、肉が七八・二グラムと魚が上回っていたが、一〇年には魚は七二・五グラム、肉が八二・五グラムと大きく逆転している。
年齢別にみても、二〇〇〇年と一〇年の比較で、子どもから高齢者まですべての年齢層で魚の摂取量が減少。水産庁は魚離れの一因を、「骨があって食べるのが面倒」「肉より割高」と感じる消費者が増えているためと分析する。
七十歳以上でも魚が減少し、肉の消費が増えていることについて水産庁は「単身住まいの高齢者が増えているため、冷凍庫での保存や調理の簡単な肉が好まれているのではないか」とみている。
こうした低迷に歯止めをかけるため、水産庁は七月に消費拡大に向けたプロジェクトを立ち上げ、生産や加工、流通、小売り業者と連携。「焼く」「煮る」だけではない魚の食べ方の提案や、売り場で手に取ってもらうための工夫などを検討、試行していくことにした。
水産加工業者も介護施設のお年寄りや、骨を取るのが面倒な消費者に合わせて「骨なし魚」の新商品を開発しており、官民一体で魚の消費減に歯止めをかけるべく取り組んでいく方針だ。http://www.tokyo-np.co.jp/article/economics/news/CK2012052602000103.html