Gurume adalah pengucapan bahasa Jepang untuk bahasa Perancis ‘Gourmet‘, atau yang mungkin lebih akrab di telinga teman-teman Indonesia adalah wisata kuliner. Namun di Jepang Gurume lebih ke menikmati masakan dengan bahan segar terpilih yang didukung oleh keindahan penyajian hidangan dan suasana sekitarnya. Nah biasanya restoran yang menjadi tujuan Gurume seperti itu tentu mahal. Ada rupa ada harga! Restoran yang seperti ini di Jepang disebut sebagai Gurume Kelas A. Sedangkan untuk restoran dengan masakan yang terjangkau oleh masyarakat biasa (baca: murah) tapi enak disebut dengan Gurume Kelas B.
Untuk pembagian apakah suatu restoran itu Gurume A atau B memang sulit, tapi biasanya kalau di Jepang rata-rata makan siang 1000-1500 masuk ke Gurume B, yang lebih mahal dari itu ya Gurume A. Perlu diketahui bahwa biasanya harga Lunch dan Dinner di restoran di Jepang (kecuali family restaurant dan chain restaurant) berbeda. Jika budget lunch minimum 1000 yen (100.000), maka untuk dinner biasanya 4000 yen. Kecuali jika Anda peminum minuman keras pasti budgetnya akan lebih mahal. Harga minuman memang mahal, tapi biasanya setiap tamu mendapat air minum (bukan air mineral – di Jepang biasanya tidak tercantum air mineral dalam daftar minuman). Tidak seperti di Indonesia yang untuk minumpun harus membeli air mineral.
Waktu pergi ke Sendaipun kami berwisata kuliner ke restoran yang memang khas Sendai. Dan yang terkenal di Sendai adalah Lidah Sapi Date (date no gyutan). Satu set lidah bakar lengkap dengan nasi dan sup nya sekitar 1900 yen. Dan memang namanya juga lidah, untuk yang bermasalah dengan gigi, lebih baik memesan Semur Lidahnya daripada Lidah Bakar. Selain masakan dari Lidah Sapi, restoran ini juga menyediakan sake dari daerah Tohoku. Yang aku heran waktu pergi ke restoran ini, Kai yang biasanya malas makan, makan dengan lahapnya. Akupun menikmati dinner di malam pertama kami di Sendai.
Untuk lunch pada hari kedua, kami pergi ke sebuah restoran sushi di Ishinomaki. Kami memang sengaja makan (dan mengeluarkan uang untuk membeli bermacam oleh-oleh) dengan maksud membantu perekonomian lokal. Apalagi Ishinomaki terkenal dengan hasil lautnya. (Tapi aku merasa sushi di sini mahal!) Kami memesan set sushi yang dipilihkan oleh itamae (chef/pembuat sushi), kecuali untuk Kai kami memesan Ikura Gunkan (jenis sushi dengan telur ikan ikura di atasnya) kesukaan Kai.
Setelah dari restoran sushi, kami membeli oleh-oleh dan souvenir di pusat penjualan di stasiun Ishinomaki. Di sini kami menemukan es krim rasa bir, rasa sake, rasa beras dan yang kami beli untuk coba adalah es krim rasa Lidah bakar! hehehe…rasanya aneh! Di tempat yang lain kami juga melihat es krim shijimi (kerang kecil), tapi malas ah untuk mencoba.
Malam hari kedua kami diajak makan ke sebuah nomiya (tempat minum-minum khas Jepang) yang makanannya juga enak. Di sini kami disuguhi berbagai jenis sashimi dan udang (tentu saja mentah semua), tempura 3 jenis ikan, dan penutup 2 buah sushi. Makanan ini saja sebetulnya tidak mengenyangkan, tapi kami minum sake khas Tohoku 4 jenis yang berbeda. Nomikurabe (membandingkan yang mana yang enak), dan menurutku sake bernama Miya no Kanbai yang terenak (dan semua Miyashita Family menyetujuinya hehehe). Kadang-kadang aku terpikir untuk menjadi Sommelière (pencicip anggur) tapi khusus sake Jepang. Karena sake Jepang terbuat dari beras, rasanya perut juga tercukupi.
Wisata kuliner kami yang terakhir tidak dilaksanakan di restoran tapi di dalam Shinkansen. Aku dan Riku membeli bento (bekal makanan) berupa Lidah Bakar di stasiun Sendai, sedangkan Gen membeli nasi dengan lauk ikan, dan Kai Hayabusa Bento. Hayabusa adalah nama kereta shinkansen terbaru berwarna hijau. Dalamnya nasi dengan berbagai lauk yang disukai anak-anak. Rata-rata bento-bento ini harganya 1000-1200 yen.
Nah, biasanya bento dalam keadaan dingin, tidak panas. Dan itu sudah diketahui orang Jepang, bahwa bento itu dingin. Tapi yang menariknya, bento yang aku beli memakai alat pemanas khusus. Sebelum makan kami harus menarik tali yang ada, sehingga tiba-tiba bagian bawah bento itu memanas. Bagaikan tercurah air panas 80 derajat. Setelah 5-6 menit, baru dibuka, dan…. voila… makanan kami hangat! Sistemnya seperti kairo pemanas buatan. Untuk mengetahui cara kerja pemanas itu aku sampai membawa pulang bagian dasar dari bekal makanan kami.
Ah, memang makan makanan yang hangat jauh lebih enak dari makanan dingin. Teman-teman biasanya memilih makan yang mana? Masakan panas, hangat atau dingin? Orang Indonesia di Jepang dikenal sebagai nekojita (lidah kucing) tidak bisa makan yang panas-panas :D. Dulu aku memang nekojita, tapi sekarang sudah menjadi orang Jepang 😀
Demikianlah laporan gurume di Sendai dan Tohoku.