Awal tahun, tanggal 7-9 Januari 2012, Miyashita Family mengadakan wisata bersama ke Sendai. Sebetulnya mau dikatakan wisata juga ngga sih. Karena sebetulnya tujuan kami ke Sendai, selain untuk menjenguk adiknya Gen, juga ingin memperlihatkan pada Riku kondisi daerah tohoku pasca gempa. Wisata keluarga, wisata kekeluargaan atau wisata batin lebih tepatnya.
Berawal pada percakapanku dengan Gen pada Natal yang lalu, betapa kami ingin pergi berlibur. Untuk ke Indonesia tidak mungkin karena mahal sekali. Inginnya sih pergi ke Onsen (Hot Spring) tapi juga ingin bertemu adiknya Gen di Sendai, sambil mengunjungi juga daerah yang dilanda tsunami waktu Gempa Tohoku lalu. Di sana ada Matsushima, tempat yang pemandangannya termasuk dalam 3 besar di Jepang. Tapi…. kalau hot spring begitu biasanya mahal. Untuk biaya transport naik shinkansen (kereta cepat – bullet train) saja butuh 30.000 yen per orang. Dan di penginapan ala Jepang satu malam biasanya 15.000 sampai 30.000 per orang tergantung tempatnya. Oh ya sebagai informasi di sini biasanya biaya hotel/penginapan dihitung per kepala, bukan per kamar. Jadi tidak bisa kita minta satu kamar untuk diisi 4 orang misalnya dengan harga satu kamar seperti di Indonesia/negara lain selain Jepang. Memang untuk Riku dan Kai akan dihitung beda dengan harga anak-anak. Sehingga untuk shinkansen dan hotel satu orang minimum butuh 50.000 yen (kali 4 orang…oh no…. mahal!). Naik mobil memang murah tapi untuk menyetir di daerah bersalju….. kami penduduk Tokyo tidak biasa, dan ban mobilnya tidak memadai. Harus beli ban berantai khusus jalanan salju. Belum lagi menghabiskan waktu minimum 6 jam perjalanan. Sayang waktunya.
Akhirnya aku sibuk mencari tempat-tempat dan hotel di daerah hotspring lewatsitus jalan.net. Ya namanya memang “Jalan” lanjutan dari majalah travel yang berjudul Jalan (jaran じゃらん) terbitan penerbit recruit. Perusahaan Recruit memang mengaku bahwa dia mengambil dari bahasa Indonesia, untuk menamakan majalah travelnya. Aku suka perhatikan perusahaan ini sering pakai bahasa asing untuk produknya. Karena ada majalah ini juga, maka mahasiswaku cepat menghafal kata “jalan”. Tapi aku tidak menemukan penginapan yang cocok untuk tanggal 7-8-9 Januari. Setelah tanggal itu Gen akan sibuk terus dengan sipenmaru (UMPTN)nya Jepang dan akhir semester dilanjut awal tahun ajaran baru dsb dsb, sampai sekitar bulan Mei. Tidak ada lagi waktu yang tepat selain tanggal 7-8-9 Januari itu. Hmmm…
Jika daerah hot spring tidak bisa, ya apa boleh buat, kita fokus di kota Sendai saja. Itu kesimpulan kami sambil mencari hotel kosong di kota Sendai. Ternyata banyak yang kosong! Dan senangnya waktu membuka situs travel agent Kinki Nihon Tourist, karena mereka menyediakan paket untuk shinkansen+hotel khusus online buying. Bayangkan kami bisa menginap dua malam +naik shinkansn dengan separuh harga semestinya. Lalu Gen hubungi orang tuanya, menanyakan apakah mereka juga bisa ikut berwisata ke Sendai bersama kami. Dan ternyata mereka juga OK untuk ikut. Senangnya bisa berwisata bersama, dan aku langsung memesan paket untuk 6 orang, setting jam berangkat dan pulang shinkansen sekalian.
Yang bodohnya, pada hari Sabtu itu aku salah lihat jam berangkat shinkansennya. Kupikir jam 12:43 padahal itu adalah jam untuk pulang tanggal 9 nya. Seharusnya kami berangkat jam 11:20. Dan saat itu kami masih dalam kereta menuju Stasiun Tokyo. Duhhhh benar-benar bodoh deh aku! Salah juga sih aku tidak pakai lihat-lihat lagi. Mungkin karena aku kecapekan jadi careless. Terpaksa deh kami membeli karcis shinkansen baru dengan tempat duduk bebas (jiyuseki 自由席)yang berangkat jam 12:08. Karena yang kubeli tidak bisa ditukar (fix tiket dari biro wisatanya). Padahal sudah senang bisa berangkat sama-sama dengan bapak ibunya Gen satu gerbong, eh ngga jadi deh.
Untung saja sedikit orang yang antri di tempat duduk bebas, sehingga kami bisa mendapat tempat duduk. Kalau seandainya kejadian itu pada akhir tahun, pasti penuh dan harus bersiap-siap berdiri selama 2 jam lebih. Karena buru-buru juga, kami tidak sempat mengambil foto shinkansennya sebelum berangkat. Bahkan kami juga tidak sempat membeli ekiben 駅弁 (singkatan dari eki bento = bekal makanan untuk dimakan dalam kereta yang dibeli di stasiun). Ekiben ini banyak macamnya, dan banyak yang enak. Sehingga biasanya orang Jepang menikmati perjalanan shinkansen (atau kereta biasa) karena ekibennya itu. Seperti yang pernah kutulis di sini, papaku senang sekali makan ekiben yang berisi unagi (belut) , sehingga setiap naik shinkansen pasti minta unagi bento.
Jadi begitu naik shinkansen dan berangkat, kami membeli ekiben di dalam kereta saja. Biasanya harga ekiben di dalam shinkansen sekitar 1000 yen, sedikit lebih mahal dari ekiben biasa. Sambil makan, syarafku yang tegang sejak mengetahui bahwa aku salah jam mulai kendur dan bisa menikmati pemadangan yang ada. Aku memang sudah lumayan sering naik shinkansen, sehingga tidak terlalu exciting. Riku juga sudah pernah naik shinkansen waktu dia usia 3 tahun, jadi kali ini yang kedua kalinya. Sedangkan Kai baru pertama kali ini naik shinkansen sehingga enjoy bener dan…. cerewet! Semua dikomentarin. Memang sih tempat duduk di shinkansen itu mirip tempat duduk dalam pesawat. Apalagi suara kereta yang halus tidak terdengar sebagai suara kereta. Jadi waktu dia membuka tutup tempat menaruh makanan, dia bertanya, “Mana (televisi) videonya? Kok ngga ada?” (Dalam pesawat kan memang ada display untuk video hehehe). Dan…. di shinkansen juga tidak ada seatbelt! Perjalanan deMiyashita di awal tahun ini sudah dimulai.
bersambung