Tadi pagi aku mengajar tentang “Rumah Makan, Kaki Lima dan Warung” , bagaimana cara-cara makan di Indonesia. Nah satu yang selalu menjadi topik pembicaraan adalah cara makan di restoran Padang. Jika kamu datang ke restoran Padang, maka begitu duduk, kamu akan disajikan nasi, teh tawar dan setumpuk piring berisi lauk. Orang Jepang yang pertama kali datang ke restoran Padang, pasti akan terkejut dan kalau dia bisa bahasa Indonesia pasti dia akan berkata, “Maaf pak, saya tidak pesan sebanyak ini!”.
Adalah tugasku untuk menjelaskan kebiasaan di restoran Padang itu. Jadi kamu ambil saja lauk yang akan kamu makan. Kalau dalam satu piring ada dua ayam, kalau kamu ambil satu, maka kamu bayar untuk satu itu saja. Nah…yang menjadi pertanyaan orang Jepang itu adalah, “OK kami bayar untuk satu daging, lalu satu daging yang masih di piring bagaimana?” .
“Dikembalikan ke wadahnya dan disajikan ke tamu lain lagi, toh kamu tidak pegang-pegang kan? ”
“hmmmm saya tidak pegang-pegang, tapi belum tentu orang lain tidak pegang-pegang sebelum disajikan ke saya ya?”.
Lalu saya jawab begini, “Kalau kamu makan di rumah, kamu kan juga ambil dari piring besar, dan menyisakan daging lainnya untuk anggota keluarga lain, dan tidak merasa jijik kan? Anggap saja pengunjung restoran Padang itu sebagai satu keluarga besar”. 😀
TAPI memang benar bahwa banyak orang Jepang yang “bersihan” sehingga banyak berpikir tentang sanitasi/kebersihan dan …”cerewet” :D. Di Restoran di Jepang, pasti dibagikan lap basah oshibori begitu duduk, dengan maksud untuk membersihkan tangan sebelum makan, meskipun makannya tidak dengan tangan! Kalau di Indonesia itu urusan pribadi masing-masing apakah mau cuci tangan sebelum makan atau tidak. Tapi sesudah makan ada lap/tissue basah untuk membersihkan tangan kalau memang makanan itu membutuhkan makan dengan tangan. Jadi menurutku memang orang Jepang yang “bersihan” tidak bisa tinggal lama di Indonesia. Di Indonesia kita perlu untuk mempunyai “kekebalan tubuh” dalam kehidupan. Susah bagi orang yang bersihan untuk tinggal di Indonesia. (FYI dulu aku sama sekali tidak bisa makan di warung karena merasa jijik, kalau sekarang… ya masih bisa deh “tutup mata” hehehe)
Pernah aku juga membaca polemik tentang “Apa reaksimu jika menemukan rambut dalam makanan restoran?”. Ada yang mengatakan, “Ya sisihkan saja rambutnya, dan makan terus tanpa ribut-ribut dengan pihak restoran”, “Kalau tidak begitu lapar, ya saya tinggalkan saja makanan itu dan pergi ke restoran lain”. Tapi ada yang mengatakan “Saya sih pasti lapor dan minta ganti makanan yang saya pesan itu…HARUS buat baru, jangan cuma diambil rambutnya di belakang lalu kembalikan ke saya”. Nah, orang yang langsung mengajukan claim begitu yang terbanyak. Aku? Hmmm… Aku merasa aku tidak termasuk orang yang jijikan. Tapi liat dulu juga ah rambut apaan, kalau pendek keriting mungkin aku juga ogah hihihi. Mungkin aku tidak akan buat ribut-ribut seperti claim, cukup beritahu restoran, dan pergi. Maklum lah Imelda kan ngga bisa marah (really? masa sih mel! 😀 )
Lalu ada juga pembicaraan menarik lainnya, yaitu tentang menu makanan dan minuman. Aku tanya pada murid yang pernah pergi ke Indonesia, “Kamu bisa baca menu?”
Dia jawab, “Bisa, tapi menu di Indonesia jenis makanannya tidak banyak ya…”
“Wah, kebetulan saja kamu pergi ke restoran yang sedikit menunya. Kalau restoran besar cukup banyak loh jenisnya.”
Dan memang aku juga merasakan memilih makanan di menu Jepang itu mudahnya karena ada foto-foto dan kadang ada contohnya yang terbuat dari lilin di etalase restoran itu. Yang biasanya menjadi masalah berikutnya adalah apakah ada kandungan babi/makanan tidak halal dalam masakan tersebut bagi umat muslim.
Lalu murid yang tadi itu mengatakan, “tapi sensei saya tidak bisa makan kodok goreng”….
“Hahaha, banyak orang Indonesia tidak bisa kok makan kodok goreng juga. Saya sih pernah dan rasanya seperti ayam saja. Lagipula kodoknya hanya kaki saja kan, tidak seperti di Cina yang kodok utuh dimasak…. kalau melihat kodok utuh, saya juga tidak mau makan”.
Lalu satu per satu menceritakan pengalamannya makan “masakan teraneh buat dirinya”. Ada yang berkata “Jangkrik goreng manis (inago tsukudani)” –aku juga sudah pernah, dan cukup enak kok heheheh. Lalu si murid anti kodok berkata, “Saya pernah makan sup kucing di Cina….” langsung semua berteriak…hiiiiiii termasuk saya (meskipun saya sudah pernah mencicipi anjing–dan ngga dua kali deh hihihi). Dan yang terakhir yang menurutku juga aneh adalah cerita seorang murid yang pernah tinggal di Kamboja. Katanya di sana dijual Laba laba goreng di pasar bertumpuk-tumpuk, dan dia pernah makan karena terpaksa. “Mungkin seperti kepiting ya rasanya?” tanyaku…dan dia mengatakan ya, seperti kepiting. Cuma aku ngga deh kalau disuruh makan laba-laba atau kepompong atau ulat atau…kecoak…hoekkk….
Maaf yah pembicaraannya jadi begini, tapi memang kebudayaan makanan di dunia ini amatlah beragam dan berbeda. Perlu ada pengertian dan tentunya tidak memaksakan orang lain untuk makan sesuatu yang memang tidak bisa/mau dia makan. Apalagi kalau itu berkaitan dengan agama.
So….. apa menu Anda hari ini? Aku lagi masak rawon nih 😀 Mari makan……