Bukan siapa-siapa?

6 Sep

Kalau dia bukan siapa-siapamu, kenapa kau memikirkannya? Kenapa kau menangisinya? Sampai tiga hari air mata mengalir setiap teringat padanya, dan tertundalah tulisan ini yang semestinya aku publish hari Sabtu lalu, sebagai persembahanku padanya.

Aku dan dia terpaut hampir 50 tahun! Kupanggil dia Oma Poel. Dia bekerja di kantor yang sama dengan papa dan mamaku dulu, di BPM, cikal bakal Pertamina sekarang. Dan kami tinggal di sebuah kompleks milik perusahaan minyak itu. Rumahnya persis di belakang rumahku. Berbentuk town house, kami share halaman belakang yang sama, yang dipakai untuk menjemur pakaian.

Aku si Barendtje Donderkop, di halaman tempat jemuran yang memisahkan rumah kami.

Waktu kulahir, dia ikut gembira menyambutku. Dan menyambut gembira setiap aku yang masih balita “menyeberang” ke rumahnya. Aku diberikan julukan khusus olehnya, Barendtje donderkop…. kepala botak yang kerjanya mondar-mandir.

Terkadang dia mengajakku pergi ke rumah temannya. Dan katanya aku selalu bersikap manis, tidak nakal, mau dengar-dengaran …pokoknya tidak memalukannya. Bahkan ceritanya yang terakhir, aku sempat tertidur lelap di rumah temannya itu, begitu enak tidurku, sehingga temannya berkata, “Sepuluh anak seperti begini, aku juga mau jaganya”

Yang pasti tangannya banyak menghasilkan baju-baju untukku. Sejak aku kecil, sampai aku SMP dia selalu menjahitkan bajuku. Sampai dia menyerah dan mengatakan “silakan beli saja”, kecuali untuk  seragam sekolah SMAku.

Dia juga yang membantu membuat kebiasaan keluarga kami untuk selalu mengikuti misa di gereja setiap hari ulang tahun anggota keluarga, lengkap atau tidak lengkap. Baik yang ulang tahun hadir, atau tidak.

Dia pula yang menangisi aku waktu aku bisa melampaui masa krisis pasca operasi usus buntu waktu aku berumur 13 tahun…….. Dia ada di setiap hari-hari besarku, kecuali waktu aku menikah. Ya, aku telah membuatnya kecewa tidak bisa membantu mempersiapkan misa dan lagu untuk misa pernikahanku karena dilaksanakan di Tokyo. Dia juga sudah terlalu tua untuk datang ke sini.

Dia bergembira karena anak pertamaku lahir persis seminggu setelah hari ulang tahunnya. Dan dengan bangganya menggendong Riku waktu ulang tahun pertamanya dirayakan di Jakarta. Ah… itu sudah 7 tahun yang lalu.

Bersama Riku meniup ke ultah dengan lilin 82 - 1 karena beda seminggu saja HUT nya

Tapi tanggal 19 Agustus 2010 yang lalu,  dia masih menyempatkan datang ke rumah di Jakarta khusus untuk bertemu denganku, sebelum kepulanganku ke Tokyo tanggal 22 Agustus. Saat itu dia berpesan padaku ada dua hal:
1. “Imelda kalau mau kasih uang pada Oma. Jangan ketahuan yang lain ya…. Nanti mereka tahu aku ada uang. Aku yang musti bayar taxinya.” Sambil tersenyum-senyum aku jawab saja, “Iya oma…..” karena dia berbicara dengan suara keras, di depan semua orang. Bagaimana bisa tidak ketahuan orang lain coba? Dan dalam hati aku bertekad, memberikan uang padanya, dan uang taxi pada tante yang turut serta.
2. “Imelda…kamu jaga badan kamu! Sudah bagus begini. Jangan lebih gendut dari sekarang ya… ” Dan aku cuma tertawa… “Iya oma….” sambil peluk dan cium pipinya yang keriput. Ah….aku ingat 4 tahun yang lalu dia masih berpesan padaku untuk “membuat” adik untuk Riku, untung tahun ini dia tidak berkata…bikin cucu perempuan dong….hehehe.

Dan hari itu aku bertanya padanya, “Oma mau makan apa?” Dia dulu suka kalau aku buatkan onabe, rebusan segala macam ikan, daging, sayuran. Tapi kali ini dia minta sate ayam (sebetulnya sudah dia katakan pada kedatangan sebelumnya tanggal 2 Agustus). Jadi aku dan mama menyuruh asisten RT beli sate ayam depan RSPP untuk makan siang, dan minta dipisah bumbu kacangnya. Dia tidak boleh makan bumbu kacang, karena maagnya tidak bisa terima lagi.

Dan aku juga terharu pada mamaku. Saat itu dia menyiapkan bubur untuk oma Poel. Aku tidak tahu bahwa Oma sudah tidak bisa lagi makan nasi. Mama bersikeras masak bubur, dan menggorengkan ikan bandeng untuk Oma. Jadi siang itu oma makan bubur + sate ayam yang tanpa saus kacang + ikan bandeng goreng yang aku suwir-suwir untuknya (and ikan itu enaaak sekali, karena aku sempat mencicipnya). Senang sekali melihat dia makan banyak, meskipun tante Ina, keponakannya yang mengantar agak mengomel….. “Nanti kalau kebanyakan maag nya sakit lagi…”

Aku dan mama mungkin sudah merasa, bahwa kami harus memenuhi permintaan Oma Poel. Mama termasuk peka terhadap hal-hal begitu. Kami berempat makan bersama di meja makan, sambil aku menahan tangis. Dia berulang kali mengatakan, “Imelda terima kasih makanannya enak sekali. Ini makanan yang terenak selama ini”. Duhhhh…. makanan yang “biasa” saja untuk kami yang muda dan sehat, tetapi istimewa untuknya. Yang memang tidak bisa lagi makan yang lebih enak atau lebih mahal….meskipun sudah kutanya mau apa. Apa saja akan kubelikan, seberapapun mahalnya. Tapi yang dia minta hanya sesuatu yang sederhana…. Sate Ayam. Ah betapa aku sering tidak bersyukur bahwa aku masih bisa menikmati semua masakan. Aku tidak ada larangan makan ini itu, karena tidak punya penyakit yang menahun misalnya. Apa saja masih bisa, meskipun aku tahu di kepulanganku tahun ini, aku tidak selera makan sama sekali. Selain (mencari) sate padang, tidak ada keinginanku untuk makan sesuatu yang lain. Kemana wishlist aku? (Dan waktu kubicarakan pada Gen, kami berdua sepakat bahwa kami sudah TUA….. tidak /sudah jarang ingin makan ini itu)

Sebelum Oma pulang ke rumahnya di Ciater naik taxi, aku sempat memergokinya duduk sendirian di sofa depan patung Maria di ruang tamu kami. Dia “ngoceh” tidak jelas, dan aku tahu dia berdoa, sambil bernyanyi, tapi tidak jelas di telingaku. Aku menjadi sedih lagi, seorang yang sudah tua, sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Sudah “terbuang” dari percakapan orang muda…. mungkin hanya bisa bicara sendiri. Dan untungnya iman Oma yang kuat membawanya pada berdoa dan bernyanyi. Sering kita melihat orang tua yang sering berbicara sendiri, dan mungkin anak-anak menganggap orang gila…. tapi bukannya itu ekspresi hati mereka? Ah … aku ingin duduk di sebelahnya dan mendengarnya bercerita, tapi kali ini dia tidak suka bercerita. Dia hanya menyuruh aku melihat buku album fotonya….

Ya album foto itu dia bawa setiap kali datang ke rumahku. Dan aku HARUS melihat album foto itu, yang sebetulnya isinya adalah foto-foto kami. Foto aku, gen, riku, kai, papa mama, novi, tina semua keluarga di Jakarta. Ah…kenapa aku tidak mengerti saat itu apa yang ingin dia sampaikan ya? Dia mungkin hanya ingin mengatakan, “Lihatlah  foto-foto ini yang selalu menghibur aku di kala malam. Di kala aku rindu kalian…..”

Benarkah aku tidak mengerti?

Tidak… aku sudah merasa. Aku tahu dan dia tahu. Bahwa waktunya sudah tidak ada lagi. Sudah cukup. Tapi dia tidak sedih, tidak menangis. Dan aku … berusaha tidak menangis di depan dia. Beberapa kali aku harus membuang muka dan menahan tangisku. Hanya saat terakhir aku mengantarnya ke dalam taxi. Aku memeluk dia erat-erat… tanpa suara…tanpa pesan…. tanpa kata-kata, “sampai tahun depan ya”…

Sampai hari Jumat lalu, tgl 3 September. Seharian aku merasa sedih. Sempat bercakap dengan Ria dan Kika lewat YM, dan aku juga sempat berkata pada mereka bahwa aku sedih. Ntah apa tapi perasaanku tidak enak. Sampai puncaknya aku menangis waktu melihat tayangan malam di televisi, mengenai gereja-gereja di Nagasaki. Ah, aku rindu aktif kegiatan gereja lagi. Mungkin sudah saatnya aku memulainya.

Aku tertidur setelah mendongengkan Kai dan Riku. Tiba-tiba pukul 2 pagi aku terbangun. Dan seperti biasanya aku melihat email lewat HP. Dan saat itu aku melihat pesan dari Novi adikku di FB 3 jam sebelumnya, bahwa Oma Poel kritis di RSPP. Aku langsung terbangun dan menyalakan komputer. Terlambat! Oma Poel sudah meninggal pukul 9:30 malam (11:30 waktu Jepang).

Ah, Oma…. kamu tetap kuat sampai terakhir, masih bisa jalan sendiri. Tapi badan manusia memang ada akhirnya. Setelah pendengaran yang melemah bertahun yang lalu, Maag-mu sudah tidak bisa bekerja menerima makanan. Karenanya kamu dirawat di RSPP sejak kamisnya. Dan menurut cerita papa, papa dan mama masih sempat bertemu kamu Kamis itu dan berdoa bersama. Papa sempat membisikkan: “Jangan takut!” dan kamu sempat berkata, paling senang dikunjungi keluarga kami.

Oma Poel memang tidak ada hubungan darah dengan kami. Dia juga tidak menikah. Dan entah dia pernah cerita atau tidak kepada orang lain, tapi dia pernah bercerita padaku alasannya tidak menikah. Kekasihnya tidak kembali waktu perang …mungkin waktu perang dengan Jepang, aku tidak berani tanya lebih jauh. Cintanya tidak tergantikan. Ah, betapa murni cintanya itu. Dan dia mempersembahkan hidupnya untuk membantu kegiatan gereja terutama setelah pensiun dari pertamina. Lebih dari 30 tahun yang lalu, bersama kepala sekolah SMA Tarakanita, memimpin paduan suara CAVIDO (Cantent in Viis Domine) , yang terdiri dari pemuda pemudi Katolik yang bersekolah di Tarki dan PL. Terus berdiri memimpin setiap minggu, dan mempersiapkan partitur lagu yang akan dinyanyikan dalam misa. Sudah berapa orang “lulusan” Cavido ini, tidak ada yang pernah menghitung. Aku, Novi, dan Tina juga termasuk dalam paduan suara itu…setidaknya sampai aku pergi ke Jepang.

Dan pada misa requiemnya, yang dilaksanakan hari Sabtu lalu begitu banyak anak Cavido yang berkumpul dan mendoakan kepergian Oma. Oma tidak mempunyai anak kandung, tapi Oma adalah Tante/Oma kita semua. Oma diantar ke peristirahatan terakhir dalam suasana sederhana dan khidmat. Tapi kami semua tahu, doa dan hati kami semua selalu untuk Oma…. Oma kami…. Tante/Oma Pauline Fernandes.

Benarkah kamu bukan siapa-siapa?

Kamu adalah seorang wanita yang kuat dan menjadi teladan kami semua. Bagi kami, kamu bukan hanya pemimpin koor, bukan hanya tetangga, bukan hanya teman kerja, bukan hanya umat paroki, bukan hanya seorang kenalan! Kamu adalah oma kami semua, dan yang pasti Oma Poel akan selalu ada dalam hatiku. Maafkan cucumu ini yang sering tak berkabar, yang sering menggodamu, becanda dan berkelakar. Tolong doakan kami semua yang masih ada di dunia sini ya Oma. Anak-anak Cavido hanya bisa mengantarmu dengan lagu-lagu yang engkau senangi waktu pemakaman. Semoga Oma disambut di sana dengan paduan suara yang indah, seindah hidupmu selama 89 tahun ini.

Dan aku hanya bisa bergumam, sambil berdoa rosarioku. Lagu kesayangan kita berdua: Di kebun (In the Garden, Jim Reeves etc)

Aku berjalan di kebun
waktu mawar masih berembun
dan kudengar lembut suara
Tuhan Yesus memanggil

Dan berjalan aku dengan Dia
dan berbisik di telingaku
bahwa Aku adalah milikNya
Itu saat bahagia….

Sampai Jumpa Oma Poel Fernandes (18 Februari 1921 – 3 September 2010).

I love you…..

Sayaaaaaaang sekali…..

.

.

. terima kasih atas “dorongan” Liona Lee untuk menuliskan posting ini secepatnya. Semoga bisa mengusir rasa bete kamu ya…