Menumbuhkan Kemampuan Berkreasi pada Anak Indonesia

23 Jul

atau lebih tepatnya, “menumbuhkan kemampuan berpikir secara ilmiah pada anak-anak Indonesia”. Ini adalah sebuah tujuan mulia, yang saya dukung sepenuhnya, meskipun waktu itu saya satu-satunya anggota yang bukan berasal dari ilmu eksakta. Hanya sayangnya “keinginan” yang pernah menjadi tujuan sebuah organisasi di Jepang (saya rasa tidak etis juga menyebutkan namanya di sini), yang anggotanya terdiri dari alumni universitas Jepang kandas di tengah jalan. Alasannya, masing-masing sibuk dengan kegiatan dan pekerjaannya — termasuk saya. Saya akui karena waktu kegiatan itu dicanangkan tahun 2003 itu, saya baru saja melahirkan Riku. Dan setelah itu sempat beberapa kali ikut kegiatan organisasi ini, dan akhirnya sekarang statusnya “mati suri”.  Baru berhasil ikut serta sebagai fasilitator kerjasama SMA Jepang – Indonesia, dan ikut dalam kegiatan Pasca Tsunami. Padahal waktu itu targetnya tahun 2010, kami ingin membuat sesuatu tindakan nyata di Indonesia. Sayang… sungguh sayang…. karena sebetulnya banyak ide-ide brilian yang bisa diwujudkan.

Kreatifitas haruslah diajarkan dan dilatih. Jarang ada orang yang lahir langsung kreatif. Manusia kreatif biasanya ditempa oleh alam dan kehidupannya dan didukung oleh otak yang encer. Tapi kreatifitas ini amat penting jika kita mau menghasilkan generasi “pencipta” bukan hanya “pemakai”. Monozukuri istilah di Jepang, membuat barang, inventor. Bahkan di Jepang ada Universitas untuk mendidik para inovator itu, Monozukuri Daigaku, yang mereka terjemahkan menjadi University of Technologist.

Kreatifitas itu juga sebetulnya bukan melulu sebuah bentuk barang, yang bisa terlihat. Ide, gagasan dari sebuah pemikiran juga memerlukan kreatifitas. Bahkan menurut saya setiap segmen kehidupan, membutuhkan kreatifitas. Seorang ibu yang kreatif akan bisa menghasilkan sebuah menu baru dari makanan sisa. Bisa menggunakan kembali barang-barang yang sudah tidak dipakai sehingga bisa dipakai untuk tujuan lain. Kalau saja setiap ibu rumah tangga bisa kreatif, misalnya seperti Bintang di postingannya yang ini, duhh kampanye Cinta Lingkungan tidak perlu terlalu digembar-gemborkan. Karena secara tidak langsung, seharusnya kreatifitas akan mendukung perlindungan lingkungan hidup.

Banyak sebetulnya yang bisa dicoba oleh orang tua untuk mengajarkan anak-anak untuk kreatif. Daripada membelikan gameboy, lebih baik membelikan lego misalnya. Atau mengajak anak-anak pergi ke planetarium, atau museum. Namun memang saya akui, sarana-sarana yang bersifat mendidik di Indonesia masih kurang, karena lebih banyak mall yang didirikan daripada sebuah “perpustakaan” misalnya. Saya amat sangat iri dengan anak-anak Jepang yang memang kreatifitasnya ditunjang oleh pemerintah. (Jangan pikirkan alasan kurang dana dulu deh, meskipun memang dana itu penting)

Setelah mengikuti pendidikan dasar bagi Riku di  kelas 1 SD selama 4 bulan, saya menemukan beberapa hal menarik. Yaitu penggunaan kertas origami, untuk melipat berbagai bentuk, dan penggunaan lilin/malam nendo yang cukup sering. Dengan dua media yang murah ini, anak-anak dilatih kreatifitasnya tanpa batas. Origami juga dibiarkan anak-anak membuat bentuk apa saja yang mereka inginkan. Well, awal-awal saya selalu menggerutu, dan berkata “Buang kertas saja…” Tapi apa sih yang tidak pakai modal? Kreatifitas juga perlu modal meskipun tidak perlu mahal-mahal. Jadi setiap Riku minta kertas origami atau kertas untuk menggambar, selalu saya kabulkan.

Lilin/malam juga fantastis. Sudah lihat kan hasil eskrim yang ibu-ibu buat untuk acara bazaar anak-anak SD? Bermacam bentuk bisa dibuat, tak terhingga. Dan anak-anak dibiarkan membentuk imajinasinya. Dan kualitas lilin/malam itu benar-benar mengagumkan. Tangan tidak menjadi merah jika kita bermain dengan lilin merah. Saya cuma bisa iri hati pada anak-anak Jepang.

duuuh tampang serius amat
duuuh tampang serius amat

Sehari sebelum keberangkatan kami ke Jakarta tanggal 20 Juli lalu, Hari minggunya, Gen mengajak Riku untuk pergi ke planetarium dekat rumah. Saya sempat membatalkan kegiatan saya packing, dan berusaha siap-siap berniat pergi dengan Kai juga, tapi Gen memberitahukan terlambat sekali. Dalam waktu 15 menit menyiapkan anak dan diri sendiri, belum mengurus tutup-tutup rumah segala… impossible. Jadi saya biarkan Gen dan Riku pergi berdua, diiringi tangisan Kai, yang begitu menyayat hati karena kakaknya pergi tanpa dia.

Gen dan Riku pergi ke Tamarokuto Science Center, yang terletak kira-kira 15 menit bermobil dari rumah kami. Mereka mengejar tayangan film mengenai planetarium yang diputar mulai pukul 10:30 selama 50 menit. Tempat tersebut mempunyai panggilan kesayangan, “Science Egg”, karena bentuknya seperti telur raksasa. Dan saya bisa bayangkan betapa asyiknya jika tanggal 22 kemarin menikmati gerhana matahari di “Science Egg” ini. Jika mau memang harus mendaftar, karena pasti banyak anak-anak akan datang karena persis liburan musim panas.

Saya tidak tahu persis apa saja yang mereka lihat di dalam planetarium itu. Karena setelah mereka kembali, saya masih sibuk membereskan rumah, packing barang, belanja dan akhirnya lupa mendengarkan cerita mereka. Tapi yang pasti saya kaget menemukan foto-foto Riku membuat bentuk bangunan dari tumpukan kayu seperti lego.

Rupanya di dalam planetarium tersebut ada sebuah hall, yang bisa dipakai untuk event tertentu. Dan hari itu ada event dari perusahaan KAPLA. balok kayu terkenal buatan Perancis yang ditemukan oleh seorang belanda kolektor/dealer  benda bersejarah dan antik bernama Tom van der Bruggen. Kata Kapla itu sendiri berasal dari kata Kabouter Plankjes (Plang/papan kecil)

Melihat Riku menyusun Kapla seperti di foto, saya lalu teringat bahwa setiap musim panas di Jepang ada lomba menyusun domino. Domino Taoshi ドミノ倒し, merubuhkan domino yang telah diatur sedemikian rupa sehingga waktu domino itu jatuh membuat gambar yang bagus. Untuk anak SD, pertandingan begini diadakan untuk tingkat seluruh Jepang, dan tidak mudah loh untuk menciptakan kekompakan dalam regu, kesabaran memasang domino karena setiap kali jatuh berarti harus ulang semua, dan kreatifitas menciptakan bentuk-bentuk unik. Tapi yang paling penting memang kerjasama. Kadang saya ikut menangis melihat usaha-usaha anak-anak itu yang terekam dalam tayangan televisi. Bagaimana mereka berusaha dan menghasilkan tangis gembira maupun tangis sedih karena kalah.

foto kegiatan sekolah di Gifu diambil dari sini http://school.gifu-net.ed.jp/ogknisi-hs/ibento/h17/bunnkasai/bunkasai.htm

Saya memang tidak tinggal di Indonesia, sehingga tidak tahu sampai sejauh mana kegiatan anak-anak di Indonesia dalam mengembangkan kreatifitasnya. Semoga saja masih banyak orang yang mau bersama-sama memikirkan anak-anak Indonesia terutama di Hari Anak Indonesia, hari ini. Saya tetap optimis (harus) bahwa anak-anak Indonesia bisa menjadi inovator yang bukan hanya bisa mengangkat nama bangsa Indonesia tapi juga mengajak teman-temannya memajukan bangsa kita ini.