Hari Minggu kemarin, 12 Juli, setelah nyekar ke makam keluarga, kami mampir di sebuah rumah tradisional Jepang yang dijadikan semacam museum oleh pemerintah daerah Yokohama. Namanya “Yokomizo Yashiki” Misono Kouen, Tsurumi-ku (Yashiki = rumah besar/mewah…. biasanya milik petinggi atau bangsawan). Dan meskipun waktu itu udara cukup panas, kita bisa mengademkan diri dalam rumah, karena memang struktur rumah di Jepang itu sejuk waktu musim panas (dan dingin waktu musim dingin …brrrr)
Kami memasuki pintu gerbang yang disebut 長屋門 Nagayamon , sebuah bangunan yang berfungsi sebagai pintu gerbang memanjang, dengan gudang alat pertanian di kiri kanannya. Tapi sebelum itu kami melewati sebuah parit yang sedang ditanami padi….. Ah setiap melihat hamparan padi menghijau dengan capung beterbangan di atasnya, aku selalu rindu kampung halaman Indonesia (karena aku tinggal di kota Jakarta).
Begitu lewat pintu gerbang, kami bisa melihat bangunan rumah utama 主屋 Shuya yang bertingkat dua, di sebelah kiri adalah ruang tamu/keluarga, sedangkan di kanannya menuju ke dapur. Kami masuk melalui dapur. Pintu masuk masih berupa tanah dan untuk memasuki ruang tamu harus menaiki tangga 2 undakan yang berpelitur. Tinggi undakan itu pas cocok untuk manusia dewasa duduk dengan kaki menjuntai sedikit. Terbayangkan pada musim panas, wanita dan pria berkimono duduk di pelataran teras sambil mengayunkan kipas mereka, memandang langit, yang sesekali dihiasi kembang api. Hmmm musim panas = kembang api.
Dapurnya masih jaman baheula dengan memakai kayu. Mungkin saya tidak perlu lagi menerangkan dapurnya Jepang, cukup dengan foto ini. Karena saya tahu kebanyakan pasti sudah pernah menonton oshin. Oshin kecil yang harus meniup kayu, membuat api dan memasak. Ya …di dapur seperti ini.
Dari dapur kami mengelilingi ruang tamu yang “biasa” saja, dengan meja pendek dan hiasan-hiasan. Tapi saya sempat mampir ke wc yang terpisah di samping luar ruang tamu itu. Tadinya saya pikir harus siap-siap pakai wc jaman dulu… eeeeh ternyata wcnya sudah modern meskipun bangunannya kuno. Yang menambahkan kesan kuno hanya sandal wc yang terbuat dari jerami, dan tempat cuci tangan di luar yang terbuat dari batu, dengan cidukan kayu khas Jepang.
Dari WC, saya menyusul Gen dan anak-anak ke lantai dua. Di lantai dua dipamerkan barang-barang milik keluarga Yokomizo, pemilik rumah besar ini, seperti hiasan untuk matsuri (festival), cangkir-cangkir sake, baju kimono, gendang, boneka-boneka jepang….. (kayak di film ring hahahah, aku ngebayangin kalau datang ke sini malam-malam pasti takut ya, kalo semua bergerak hidup hahaha)
Menuruni tangga curam, kami bisa sambil melihat gudang beras di belakang rumah. Sayang tidak bisa difoto karena posisi yang jelek. Lalu kami keluar mengitari halaman di sebelah kanan. Banyak lansia yang sedang menggambar rumah utama di bawah Nagayamon. Hebat memang lansia Jepang, tidak berhenti beraktifitas meskipun sudah tua. Tidak mendekam di rumah, mereka tepat melanjutkan hobi mereka, sekaligus berkumpul dengan “teman-teman sehobi”.
Halaman dipenuhi tumbuhan beranekaragam, ada lavender, bunga ajisai, dan ada parit kecil yang airnya begitu bening, sehingga Riku bisa menemukan bahwa di situ ada sarigani, sejenis udang berkulit tebal. Didekat situ juga ada rumpun buah berry dan ichijiku. Berry saya rasa sudah banyak yang tahu, tapi ichijiku mungkin termasuk buah khas Jepang. Yang kalau dibelah bentuk dan warnanya seperti buah jambu klutuk versi kecil. Tapi kalau biji jambu klutuk keras, tidak bisa dimakan, maka ichijiku, bisa dimakan semua dengan biji-bijinya karena bijinyapun lembut.
Selesai menikmati kebun di sebelah kanan, kami pergi ke sayap kiri dari Nagayamon, dan mendapatkan gudang berisi alat pertanian, dan beras dalam karung jerami yang siap untuk diangkut (tentu saja bukan beras betulan). Satu karung itu biasa digendong buruh tani untuk dibawa ke pasar. Satuan yang dipakai untuk mengukur beras jaman dulu adalah ippyou 一俵 (satu karung itu kira-kira 60 kg). Waktu saya coba mengangkatnya…wahhh tidak bergerak sedikitpun. Mungkin kalau setengahnya masih bisa, karena setengah hyou itu = beratnya Riku hihihi.
Dan dipinggiran gudang beras itu tersedia engrang 竹馬 takeuma, dan potongan bambu yang diikat dengan tali. Gen dan saya coba pake enggrang, tapi tampaknya agak sulit karena badannya keberatan hihihi. Kemudian Riku dan Gen bertanding memakai potongan bambu tali itu (yang saya tidak tahu apa namanya). Kai hanya bisa menonton saja, karena belum bisa partisipasi.
Yang saya suka di bagian halaman kiri ini juga terdapat hutan bambu. Entah kenapa saya suka hutan bambu yang mistis dan berkesan Jepang sekali gitu. Sayang sekali musim ajisai sudah selesai, kalau tidak pasti bagus deh. Melihat “Yokomizo Yashiki” ini, saya jadi ingin pergi ke perumahan orang asing dan pemakaman orang asing di Yokohama. Well, we’ll keep it for September’s course. Hari minggu itu kita benar-benar enjoy menikmati rumah tradisional itu, mungkin disebabkan juga karena masuk ke sini gratis, tanpa tiket masuk hehehe.
Sepulang dari yokohama, malam harinya kami menyalakan kembang api di pelataran parkir. Untuk Kai, ini yang pertama melihat kembang api dari dekat.
Dan saya paling suka dengan senkou hanabi 線香花火, sinarnya tenang dan membuat bentuk-bentuk percikan yang indah yang bisa membuai khayalan ke mana-mana.