Jazz Waltz

3 Agu

Akhir-akhir ini aku sering berpikir untuk main ke almamaterku di Yokohama, tapi memang tidak mudah untuk pergi ke sana, apalagi dari rumahku sekarang. Ingin rasanya melihat kampusku dulu, yang pastinya sudah berubah banyak. Sayangnya perasaanku tidak sama dengan suamiku yang malas pergi melihat masa lalu 😀 … Ya sudah, saya mengalah 😀

Dulu pun waktu aku bersekolah di sana, aku perlu menyediakan waktu 1,5 jam untuk pergi ke kampus. Tentu jalan kaki dari rumah ke stasiun 8 menit, naik kereta 30 menit lalu naik bus ke pintu barat kampus, lalu jalan lagi. Kalau sekarang? Naik keretanya saja sudah 1,5 jam sendiri hihihi.

Yang aku sayangkan, aku tidak punya foto kenangan dengan kampusku. Waktu aku mahasiswa belum ada yang namanya handphone yang bisa dipakai untuk memotret. Email baru dipakai dosen pembimbingku, dan aku baru mengenal kata email juga dari dosenku. Tentu saat itu belum punya email lah. Aku ingat membuat email dengan membayar pada sebuah provider dengan nama crisscross. Keren kan namanya 😀
(Btw aku cari ternyata sudah tidak ada yang pakai domain itu, tapi tidak bisa dibeli :D)

Nah tanggal 19 Maret 2022 yang lalu, kerinduan terhadap almamaterku sedikit terobati. Di televisi ada acara yang bernama HAMONEPU (singkatan dari Hamonepu league) yang merupakan pertandingan kelompok acapela. Tahu dong acapela itu adalah menyanyi tanpa iringan, dan iringannya justru keluar dari mulut sendiri. Ada yang pegang vokal utama, vokal tambahan dan bass/drum/ atau bebunyian lainnya. Dan pada pertandingan tahun 2022 ini, kelompok Yoru ni Waltz dari Yokohama National University (横浜国立大学) yang memenangkannya. Ikut berbangga pada grup dari almamaterku ini, dan memang hamo (harmoni) lagu yang dibawakan bagus sekali. Mereka membawakan lagu pop yang digubah lagi dengan irama Jazz-Waltz. Bagi yang mau mendengar silakan klik di link ini.

#memories30years #almamater

Monyet pun Terpeleset

2 Agu

“Papa tidak suka pohon sarusuberi, ya? Padahal aku ingin coba tanam. Pohon itu mengingatkanku pada rumah di Jakarta!” kataku di dalam mobil.

“Sepertinya sudah berapa kali deh aku dengar mama bilang seperti ini!” Riku berkata agak kesal karena harus mendengar topik yang sama berkali-kali.

sarusuberi = pohon bungur

Memang aku selalu mengingat rumah di Jakarta begitu melihat pohon sarusuberi サルスベリ atau yang disebut juga dengan Hyakujitukou 百日紅. Bahasa Indonesianya pohon bungur.

Pohon ini memang ada di depan pintu masuk rumahku (dulu) di Jakarta. Bagi yang pernah datang ke rumah Jakarta, dan memperhatikannya, ada sebatang pohon kurus setinggi 160 cm di depan pintu masuk teras. Dulu aku tidak tahu namanya, dan menurut mama itu “Sakura”.

Jadi waktu saya mengikuti homestay pada kedatangan pertama ke Jepang, saya mengatakan… “Wah sakura!” sambil menunjuk pohon bungur itu. Host familyku tertawa dan berkata tidak ada sakura pada bulan September! Mereka memberitahukanku bahwa pohon yang sedang berbunga itu bernama SARUSUBERI. Tentu aku langsung hafal karena saru = monyet dan suberi = terpeleset.

Padahal sebuah peribahasa Jepang mengatakan 猿も木から落ちる Saru mo ki kara ochiru, Monyet pun jatuh dari pohon. Jatuh, bukan terpeleset. Peribahasa yang bermaksud menjelaskan “Sepandai-pandainya monyet berpindah dari pohon ke pohon, masih bisa jatuh! Jadi gagal itu wajar!”

Yang mengherankan, peribahasa yang berarti kurang lebih sama, dalam bahasa Indonesia tidak memakai “monyet” tetapi memakai tupai. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah juga. Memang sih, di Jepang ada juga monyet, dan di Indonesia ada juga tupai. Tetapi menurut logikaku, di Indonesia orang lebih sering melihat monyet daripada tupai, hehehe.

Dan si monyet yang terpeleset itu ternyata menjadi kenanganku, setiap memasuki musim panas sampai dengan bulan September. Sebatang pohon kurus di depan pintu masuk rumah Jakarta, yang sudah tidak ada, sudah hancur dengan tanah dan berganti bangunan baru. Tapi kenangan itu akan selalu ada dalam hatiku.

Pohon sarusuberinya sudah diganti dengan pohon pinang merah!

#memories30years #rumahmasakecil

Sekai KAME no hi (World Turtle Day)

23 Mei

Mumpung masih keburu, saya mau menulis sedikit. Hari ini tanggal 23 Mei adalah hari kura-kura sedunia. Memang hari peringatan yang baru, karena baru dimulai tahun 2000 di Amerika, tepatnya oleh American Tortoise Rescue. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk menarik perhatian warga dunia terhadap keberadaan kura-kura dan penyu dan mendorong manusia untuk menyelamatkan spesies yang terancam. Hari kura-kura dan penyu sedunia dirayakan di seluruh dunia dengan berbagai cara, mulai dari gerakan sosial, pembelajaran mengenai kehidupan kura-kura dan penyu, hingga pembuatan kerajinan tangan berbentuk kura-kura dan penyu.

Bagi Jepang, kura-kura juga penting. Ingat, ya, cerita Urashimatarou. Dan di Jepang ada istilah 鶴は千年、亀は万年 (つるはせんねん、カメはばんねん)yang artinya Bangau seribu tahun dan Kura-kura 10 ribu tahun. Apakah benar mereka bisa hidup sekian lama? Tentu tidak sampai sekian lama, tapi memang kura-kura bisa berumur lebih dari 100 tahun. Ini hanyalah ungkapan mensyukuri hidup (めでたいmedetai) terutama untuk mereka yang bisa hidup sampai lanjut usia. Karena itu waktu memberikan hadiah kepada lansia, biasa memakai lambang bangau atau kura-kura.

Kita dapat melihat lambang itu juga pada kue dorayaki どら焼きyang berbentuk kura-kura亀どら kamedora, buatan dari toko kue “亀屋Kameya” yang berlokasi di Kawagoe. Saya sering mendapat dorayaki ini terutama untuk acara yang “medetai (bersyukur)” misalnya kelulusan sekolah. Selain tentunya kue manju berwarna merah putih.

Si Kuya

Anak saya membeli kura-kura saat dia masuk SMP, dan sekarang dia sudah masuk universitas. Saat itu dia ingin tahu sampai kapan si Kamechan (saya memanggil kamechan dengan KUYA) itu hidup. Meskipun si Kame sebetulnya peliharaan anak saya, setiap hari saya yang memberi makan. Saya juga yang ganti airnya kalau sudah bau. Waktu kami pindah ke Saitama, Si Kuya kami taruh di akuarium besar di halaman rumah kami. Banyak anak-anak kecil mampir dan memanggil si Kuya, mengatakan “可愛いねkawaii ne “.

Nah, sebelum musim dingin yang lalu, sekitar November 2021 saya mau menidurkan dia di dalam rumah, untuk hibernasi selama musim dingin. Memang saya tidak beri makan satu minggu, persiapan tidur panjang. Eh, waktu saya mau ambil, si Kuya tidak ada! LENYAP! Entah siapa yang mengambil dia. Tapi yang pasti saya dan suami saya sedih sekali. Suami saya sampai membuat pengumuman “Siapa yang mengambil atau menemukan kura-kura, harap memeliharanya dan jangan membuang di sungai/kolam”. Kami memang menandatangani pernyataan bahwa kami tidak akan buang ke sungai. Tapi kalau diambil orang bagaimana, dong?

Oh ya, satu lagi. Bagi yang pernah/akan pergi ke Benteng Rotterdam di Makassar, bisa coba naik ke atas dan membayangkan bahwa bentuk keseluruhan benteng adalah kura-kura!

Hari Puisi Sedunia

22 Mar

Hari ini tanggal 21 Maret adalah World Poetry Day. Hari puisi sedunia. Seperti yang aku pernah tulis di sini, aku tidak begitu bisa menulis puisi. Kadang-kadang saja jika suasana hati sedang mendukung, tapi itu jarang sekali. Ah aku pernah menulis seperti ini:

Aku ingin menjadi laba-laba

yang memintal benang persabahatan

menjadi sebuah jaringan yang kuat

yang mungkin kerap rapuh dan koyak di beberapa tempat

namun sebagai kesatuan dia tetap kuat

dan aku akan kembali lagi menyulam bagian yang rapuh itu

memperbaiki persahabatan yang mungkin pudar atau jarang kukunjungi

Aku ingin menjadi laba-laba

yang menguntai jaringan besar atas dasar kasih

menghubungkan satu sama lain dalam persahabatan

sehingga semua menjadi satu kesatuan yang teguh

yang bisa menahan segala yang menghancurkan

ketidakpercayaan dan kecemburuan,

kemarahan dan rasa iri dengki

.

.

laba laba yang tidak lelah merajut

laba laba yang tidak melaba

Ini karya tahun 2009 sih. Tapi… kalau sekarang disuruh tulis lagi? Haduh belum tentu bisa deh 😀

Ada satu acara di Jepang yang bernama PureBato, sebuah acara variety yang menampilkan artis terkenal untuk membuat haiku, puisi Jepang. Haiku mereka kemudian dinilai oleh gurunya, yang bernama Natsui sensei. Nah, awalnya aku tidak suka menonton, karena aku merasa aku tidak bisa menikmatinya. Tidak tahu apa yang dibicarakan. Harus menggambarkan sesuatu, hanya dengan 5-7-5 suku kata Jepang. Susah menurutku. Tapi seiring dengan waktu aku menjadi suka acara ini dan mulai bisa mengerti atau menilai sebuah haiku. Menilai, bukan berarti bisa menulis, ya 😀

Menurutku Natsui sensei itu keren. Dengan kata-kata yang terbatas itu, dia bisa membuat kami, penonton mengerti pembuatan haiku. Ada satu acara yang khusus meliput keseharian Natsui sensei, dan satu perkataan dia yang menohok, dan aku setujui. “言葉でしか、人と人はつながれない” (Hanya dengan kata-kata (bahasa), manusia dapat saling berhubungan). Keren deh.

Natsui Itsuki sensei

Kalau mencari sejarah penemuan puisi, konon katanya buku berisi puisi yang pertama kali dibukukan adalah ギルガメシュ叙事詩 Epic of Gilgamesh. Aku belum pernah baca, tapi saya tahu Riku punya bukunya, dan katanya dia sudah baca sebagian.

Kemudian ada nama Elizabeth Barrett Browning yang dikenal sebagai penulis puisi wanita yang produktif di zamannya. Aku tahu namanya, tapi tidak hafal judul-judul puisinya.

Tapi ada satu puisi asing yang pernah seseorang beritahu padaku. Judulnya Desiderata karya Max Ehrmann ( 1927). Cukup panjang tapi puisi itu intinya menyuruh kita untuk menjadi diri kita sendiri.

Ada satu puisi, karya Hattori Ransetsu 服部嵐雪 yang selalu kuingat waktu bunga plum mulai mekar.

一輪一輪ほどの暖かさ

うめいちりん いちりんほどの あたたかさ

yang kira-kira artinya : Kehangatan musim semi terasa sedikit demi sedikit bagaikan keindahan bunga plum yang mekar sekuntum demi sekuntum.(Imelda’s interpretation)

Memang butuh bakat dan keahlian tersendiri untuk bisa menulis puisi. Tetapi kita bisa usahakan untuk dapat menikmatinya, bukan?

Selamat hari puisi sedunia!

“Poetry is a deal of joy and pain and wonder, with a dash of the dictionary.” Khalil Gibran

Pekan Baca 2021

9 Nov

Semestinya aku menulis ini pada tanggal 27 Oktober lalu, namun tidak sempat, dan hari ini harus disempatkan. Kenapa harus disempatkan? Karena hari ini tanggal 9 November adalah hari penutupannya 😀

Jadi, setiap tahun dari tanggal 27 Oktober sampai 9 November, di Jepang diadakan Pekan Baca 読書週間 dan tahun ini adalah pelaksanaan tahun yang ke-74 karena dimulai pada tahun 1947, segera setelah selesai perang dengan kondisi negara porak poranda.

Awalnya Pekan Baca Pertama ini diadakan hanya selama satu minggu dari tanggal 17 November sampai23 November 1947. Pekan Baca ini diadakan oleh penerbit, perusahaan penghubung, toko buku dan kemudian ditambah surat kabar dan media siar dengan slogannya, “Dengan kekuatan membaca, mari kita membentuk negara berbudaya yang damai”. Karena tanggapan yang begitu bagus, mulai tahun berikutnya Pekan Baca diadakan mulai tanggal 27 Oktober sampai 9 November dengan mengapit Hari Kebudayaan tanggal 3 November. Dan terus berlangsung setiap tahun sampai tahun ini yang ke 74. Ini pun menjadikan Jepang sebagai salah satu negara yang rakyatnya suka membaca, di antara negara-negara “pembaca”.

Memang sekarang media digital sudah berkembang sedemikian pesat yang sangat mengubah arus penyampaian informasi di seluruh dunia. Tetap pemakainya adalah manusia, dan yang memegang peranan penting dalam mendidik dan membuat kemanusiaan itu adalah buku, dan tidak berubah sampai kapanpun. Mari kita tetap memasukkan BUKU dalam gaya hidup kita dan dalam pembentukan kemanusiaan kita.

Dari poster yang dilombakan tema Pekan Baca ke-74 tahun ini adalah “Waktu menutup halaman terakhir, aku telah berubah” 最後の頁を閉じた 違う私がいた.  Entah mengapa, saya lebih suka kalimatnya tetap dalam bahasa Jepang, karena ada nuansa yang berbeda di situ, dibandingkan terjemahannya. Dan kata-kata ini menohok saya, membuat saya bertanya, adakah buku yang telah mengubah aku?

Pekan Baca 2021

Ini saya tanyakan pada kedua anakku, Riku dan Kai, yang memang pembaca buku. Kapan atau buku apa yang telah mengubahmu?

Senangnya mendapat jawaban yang pasti dari Kai,

“Aku mulai merasa berubah, setelah membaca buku “Monster Inc” yang sangat panjang untukku waktu itu (kelas 4 SD). Tapi setelah menyelesaikan buku itu, aku jadi percaya diri dan bisa membaca buku yang tebal. Sejak saat itu!” Monster Inc adalah buku yang dia pilih untuk dibaca pada Pekan Baca tahun itu.

Kalau Riku lain lagi jawabannya. Dia langsung membawa dua buku ini: Meditationes karya Marcus Aurelius 自省録 マルクス・アウレリウス yang dibaca waktu dia kelas 2 SMP, dan Mindset: The New Psychology of Success karya Carol S. Dweck, PhD tentu terjemahan bahasa Jepang dan dibaca waktu dia kelas 1 SMA. Saya memang pernah mendengar ceritanya tentang kedua buku ini, waktu saya menanyakan, “Kalau ada yang bertanya buku yang kamu sarankan untuk dibaca apa, kamu akan kasih judul apa? Dan jawabannya memang kedua buku ini. Rupanya kedua buku ini telah memberikan kesan yang begitu kuat pada Riku.

Memang sedih melihat kenyataan bahwa ada perubahan dalam 30 tahun ini, bahwa anak-anak hanya membaca sepertiga dari jumlah buku yang dibaca anak-anak Jepang 30 tahun yang lalu. (lihat tabel) . Secara rata-rata dari 10 buku, sekarang mereka hanya baca 3 buku per bulan. Ada beberapa tabel tambahan seperti waktu menonton TV yang juga berkurang. Waktu untuk baca buku dan menonton TV berubah menjadi waktu untuk memakai gawai, yang sayangnya gawai itu sedikit sekali peruntukkannya untuk sesuatu yang ilmiah. Pada saat melihat kenyataan bahwa anak-anak Jepang sekarang ini jarang membaca buku, saya masih beruntung anak-anakku masih membaca buku. Secara berkala, mereka pergi ke toko buku dan membeli buku apa saja yang disukai dari uang yang kuberikan. Meskipun kadang saya tidak mengerti apa latar belakang mereka memilih buku-buku itu.

“Mama, aku heran deh. Waktu itu aku lihat buku-bukunya Riku, dan ternyata ada buku yang aku beli tenryata dia juga punya! Senang ternyata ada juga minat kami berdua yang sama.”

“Mestinya sebelum beli kamu tanya dulu sama Riku, sudah punya buku ini atau tidak. Supaya tidak dobel!”

Papanya berkata, “Mana mau Riku MEMINJAMKAN bukunya?Sudah biasa itu di keluarga M”.

Jadi begitulah, pernah suatu ketika Riku, dan papanya membereskan lemari dan ketemu 4 buku yang berjudul sama. EMPAT! Rupanya 1 dibeli Riku, 1 dibeli papanya, dan dua itu dibeli kakeknya Riku hahaha (cetakan pertama dan cetakan terbaru).  Jadi bukan salah saya rumah tidak beres-beres, karena di mana-mana ada buku! Buku! Dan BUKUUUUU (bukan dengan nada marah, tapi nada pasrah hehehe)

Untuk menulis Pekan Baca ini, sebetulnya saya melakukan satu perubahan kecil dalam kebiasaan saya dua minggu terakhir. Yaitu saya berusaha membuat waktu untuk membaca. Dan meskipun bukunya, buku roman yang ringan, saya berhasil membaca tiga buku online dalam dua minggu! Rekor 😀 Itu berhasil karena saya menjadi anggota premium di Gramedia Online! Yeay. Karena tidak bisa baca di iphone (terlalu kecil), akhirnya saya instal kembali ipad Mini yang dulu dipakai Kai (dan saya buang! 😀 ceritanya panjang deh. Buang tapi lalu saya ambil dari tempat sampah dan simpan…sampai lupa keberadaannya selama 3 tahun sampai lupa passwordnya hihihi). Tapi sepertinya perlu ipad baru karena kapasitasnya Cuma 16GB nih. (sambil berharap ada Santa Claus yang mengerti wishlist saya :D)

Buku kertas maupun buku digital, sama saja. Karena yang penting isinya, kan?

Sudah baca buku apa?

Narablog vs Teddy Bears

28 Okt

Hari ini sebetulnya harus menulis, jika masih menganggap diri sebagai narablog. Tetapi apa daya waktu tidak memungkinkan.

Sebetulnya rindu juga menulis jurnal harian di sini. Lebih banyak menulis tentang Jepang di blog satunya.

Lalu mengapa judulnya Narablog vs Teddy Bears?

Hanya ingin menghubungkan bahwa hari ini adalah hari blogger nasional, tapi di belahan dunia lain adalah hari Teddy Bear. Dan baru tahu bahwa Teddy Bear itu berawal dari cerita President Theodore (Teddy) Roosevelt yang menolak menembak seekor beruang kecil yang sengaja ditangkap untuk kemudian ditembak dalam suatu perburuan bulan November 1902. Kartunis kemudian menciptakan “Teddy” yang takut beruang, tetapi akhirnya komik tentang Teddy Bears malahan populer dan tahun 1906 terciptalah boneka beruang lucu yang menjadi teman anak-anak di seluruh dunia.

Blog memang sudah mulai pudar masa jayanya, tapi semoga masih tetap eksis karena blog merupakan salah satu wadah untuk menorehkan sejarah melalui tulisan.

Semoga TE juga tetap eksis 😀

Cerita Kelas : Tiga Mahasiswa

2 Mei

Setelah satu tahun mengadakan kuliah daring/online, akhirnya semester ini tiga sekolah/universitas tempatku mengajar mengadakan kuliah tatap muka. Karena sudah lama tidak pergi ke kampus, satu hari terasa sangat melelahkan. Apalagi ada satu universitas yang jaraknya HANYA 60 km dari rumah dan makan waktu 2 jam naik kereta. Daaaan… aku ke sana setiap hari Jumat (akhir minggu gitu loh :D).

Satu lagi yang membuatku sangat lelah setiap hari Jumat itu karena aku harus membawa laptop ke kampus. Tidak seperti sekolah lainnya, di universitas ini tidak tersedia laptop di ruang kelas. Ngerti sih, karena jumlah kelasnya banyak sekali, jadi tidak bisa menyediakan untuk setiap kelas. Kalau mau pakai komputer harus “ambil dan kembalikan” ke Information Center yang cukup jauh juga letaknya. Mendokusai めんどくさい merepotkan! Jadi aku terpaksa deh bawa laptop.

Kenapa perlu laptop? Karena sistem di universitas ini, memberlakukan kelas tatap muka untuk mahasiswa tingkat 1, dan kelas online untuk tingkat 2 ke atas. Jadi jam ke-2 aku harus online dari kampus dan jam ke-3 tatap muka. Tidak mungkin aku online dari rumah kemudian ke kampus yang letaknya 2 jam perjalanan, kan?

Nah, untuk mengadakan kelas online, aku ke kelas yang sudah ditentukan. Untung saja wifi di universitas ini kencang :D. Daaan, minggu lalu waktu online dari kelas, ternyata ada dua mahasiswa yang juga online dari kelas yang sama. Karena mereka ada kelas tatap muka setelah jam pelajaranku. Jadi hybrid deh. Aku sendiri tidak suka kelas hybrid karena perlu konsentrasi ke dua tempat, laptop dan kelas. Saiaku 最悪 kata orang Jepang. Menyebalkan sekali.

Jika kamu online bersamaan dari satu tempat, maka jika berbicara di Zoom, yang lain harus mematikan pelantang (mic) nya karena akan bergaung. Bahkan ada kalanya kamu harus mematikan volume suara, supaya gaungnya tidak mengganggu. Kalau aku mengadakan webinar dengan dua laptop pun demikian. Hanya satu laptop saja yang dinyalakan suaranya, yang satunya hanya berfungsi sebagai pemantau keseluruhan (baca chat, atau meyakinkan bahwa berbagi layar sudah terlihat) saja.

Ada kejadian yang menarik setelah aku mengadakan kelas online minggu lalu. Salah satu dari dua mahasiswa yang berada di kelasku, datang kepadaku dan bertanya, (aku sebut Mahasiswa ke-1 deh)

“Sensei, bagaimana caranya supaya saya bisa hafal kata-kata bahasa Indonesia. Ini tahun kedua saya (kelas menengah) tapi saya belum hafal banyak kata-kata”.

Tentu kujawab macam-macam, dan yang penting dia harus menyukai dulu baru semuanya bisa maju. Lucunya dia tidak beranjak setelah aku selesai bicara, padahal aku sudah mau makan siang dengan onigiri yang kubawa. Kelihatan sekali dia mau bicara. Jadi sambil makan, kutanya dia tinggal di mana, asalnya dari mana dan lain-lain. Rupanya dia dari Shizuoka dan kost dekat kampus. Yang menarik, temannya (yang diam saja) ternyata berasal dari SMA yang sama, masuk fakultas yang sama tapi kost berbeda tempat. Aku kemudian tanya, kamu tidak beli bento/makan siang (sembari mengusir halus sih :D). Eh dia berkata, tidak sempat beli dan malas beli. Sepertinya dia lebih mau berbicara denganku daripada pergi beli. Di situ dia berkata,

“Sensei tahu, saya kemarin malam kerja di konbini dari jam 11 malam sampai jam 6 pagi tadi. Jadi saya juga sudah malas melihat makanan yang dibeli dari konbini”

“Tapi kamu harus makan, kan?”

Kemudian temannya, rupanya membawa dua onigiri dan satu roti (yang dia beli dari konbini sih) dan menawarkan untuk makan salah satu. Si mahasiswa ke-1 kemudian mengambil satu onigiri dan makan. Dan setelah makan dia ambil dompetnya dan membayar seharga 1 onigiri.

Melihat itu, aku trenyuh juga. Dua mahasiswa yang jauh dari keluarga, harus cari makan sendiri, tapi juga tidak mau bergantung pada kebaikan orang lain. Dia bayar ke temannya, karena tahu bahwa temannya juga sama-sama kost dan perlu uang. (dan kemudian aku teringat pada anak sulungku yang seumuran dengan mereka, yang masih bisa berbahagia karena tinggal dengan orang tua). Minggu depan aku mau bawa makanan lebih ah….

Karena judulnya 3 mahasiswa, aku masih harus bercerita tentang mahasiswa ke 2 dan ke 3. Mahasiswa ke-2 ini tiba-tiba datang di kelas tatap muka jam pelajaran ke-3, hari Jumat kemarin. Waktu itu aku dan mahasiswa lainnya sedang makan siang sebelum kuliah dimulai. Aku sedang mengunyah kentang goreng waktu dia datang.

“Sensei, konnichiwa. Sensei suka kentang?”
“Ya, suka. kamu sudah makan siang?”
“Sudah, tadi beli di konbini. Onigiri dan roti.”
“Bisa kenyang? Bento yang dijual di universitas itu mengenyangkan loh. Cuma 350. Kalau beli di konbini berapa?”
“380 yen”
“Nah kan, dari pada onigiri dan roti, lebih baik makan nasi dan sayur meskipun sedikit. Tapi kalau untuk saya kebanyakan, tidak bisa habis”

Yang lucu lagi, ternyata si mahasiswa ke-2 ini BUKAN mahasiswaku. Dia mengambil bahasa Cina yang kelasnya di depan kelasku. Kebetulan dia masuk kelasku untuk bertemu temannya yang mengambil kelas bahasa Indonesia. Aneh, kan? KOK dia mau berbicara dengan aku yang BUKAN senseinya? Kelihatan sekali dia mau bicara macam-macam, jadi aku tanya dia tinggal di mana dsb. Ternyata dia tinggal di kota sebelah rumahku, jadi butuh 2 jam juga ke kampus. Enaknya aku ada kereta cepat, sedangkan dari rumahnya tidak ada. Sebagai penutup, aku berkata,

“Minggu depan kalau mau ngobrol lagi, bawa saja makananmu ke kelas ini dan kita makan sama-sama”

Dua mahasiswa baru yang … kesepian. Mereka baru saja jadi mahasiswa (tingkat satu) dan karena pandemi lebih banyak kuliah yang online dan juga bermasker. Bagaimana kamu bisa akrab atau mencari teman baru padahal kamu tidak tahu mukanya? Muri 無理, imposible apalagi orang Jepang memang sulit untuk menjadi akrab.

Cerita tentang mahasiswa yang ke-3, hanya berselang 5 menit dari mahasiswa ke-2. Tiba-tiba ada pemuda masuk ke kelasku dan berkata,

“Ah, untung keburu! Sensei ohisashiburi お久しぶり (long time no see) “

Aku heran … dan waktu melihat mukanya (yang setengah tertutup masker) langsung ingat. Dia mantan mahasiswaku yang pernah mengambil kuliahku. Langsung saya bertanya, kamu sekarang tingkat berapa?

“Sensei, saya sudah lulus kemarin. Mulai Mei saya ada training di perusahaan baru yang kantornya dekat sini. Hari ini saya pergi ke kantor itu dan mampir ke kelas sensei. Untung pas waktunya”

Jadi, dia waza waza わざわざ dengan sengaja datang untuk menyapaku hari ini. SENANG SEKALI. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mahasiswa yang masih mengingat dosennya, meskipun dia sudah lulus. Dan aku ingat, dia memang mengambil kelasku 3 tahun dan pernah hadir dalam acara RBI di kedutaan. Setelah bertukar id LINE, dia pun pulang dan aku harus memulai kuliahku. Mahasiswa ke-3 ini memang sudah mantan mahasiswa, tapi di mataku dia tetap mahasiswa. Ada apa ini, kok aku menjadi tempat curhat mahasiswa-mahasiswa ini, ya? Tapi aku senang, karena berarti aku dipercaya untuk menjadi “teman” mereka, bukan hanya sebagai guru mereka.

Sedang menunggu apakah ada mahasiswi yang akan mendekatiku? 😀

Tulisan yang panjang, tapi aku memang ingin meninggalkan cerita ini dalam TE. Terutama pada hari Pendidikan tanggal 2 Mei ini. Pendidikan penting, tapi pendidikan akhlak dan keseimbangan mental sangat perlu, terutama di masa pandemi ini.

Selamat Hari Pendidikan.

Remember Me

24 Apr

Remember me, though I have to say goodbye
Remember me; don’t let it make you cry
For even if I’m far away, I hold you in my heart
I sing a secret song to you each night we are apart
Remember me, though I have to travel far
Remember me, each time you hear a sad guitar
Know that I’m with you the only way that I can be
Until you’re in my arms again, remember me…..

Lagu remember me adalah theme song dari film Coco (Disney) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang menjadi Remember Me リメンバーミー. Aku teringat kembali lagu ini kemarin malam.

Kemarin malam, aku mengikuti zoom doa rosario bersama teman-teman masa SMA untuk mendoakan suami salah satu teman yang meninggal 2 hari yang lalu. Ini merupakan kali ke 3 kami berkumpul untuk mendoakan teman/keluarga teman waktu SMA. Dua untuk mohon kesembuhan dan satu untuk kematian. Aku merasa kedekatan seperti ini sangat menghibur. Berkumpul secara virtual untuk berdoa dan mendoakan….. meskipun rasanya sedih kalau kami berkumpul kok hanya untuk yang sedih-sedih saja, dibandingkan untuk yang gembira. Tapi, hei…. justru di saat sedih kita butuh dikuatkan, bukan?

Kembali berbicara mengenai film Remember Me. Aku memang sudah lama tahu tentang film itu yang dikeluarkan tahun 2017. Tapi entah mengapa, aku malas menonton. Memang dari sononya, aku malas menonton film (atau video clip). Menurutku menonton film itu buang waktu karena harus terpaku di depan monitor/tv 😀 Segitunya aku tak punya waktu ya? hehehe. Tapi kalau Gen atau anak-anak pasang film tentu aku sering terhanyut menonton juga. Kalau tidak mau terganggu, biasanya aku pasang headset dan terus konsentrasi mengetik saja. Jadi kalau mau dikatakan tidak suka menonton, ya tidak juga.

Nah, aku mendapat kesempatan menonton di dalam pesawat, dalam perjalanan (entah pergi atau pulangnya) ke Eropa musim panas tahun 2019. Perjalanan berjam-jam itu memang membosankan, makanya biasanya aku bawa laptop untuk kerja 😀 Tapi kali ini aku tidak buka laptop di perjalanan tapi sengaja menonton film. Untung di pesawat KLM itu film-filmnya cukup menarik. Yang kuingat aku menonton 3 film: Tonde Saitama翔んで埼玉, Garden of Words 言の葉の庭 dan Coco リメンバーミー. Ketiga film ini cukup menarik tapi yang paling meninggalkan kesan adalah Coco.

Kenapa? Ya karena dalam satu penerbangan itu aku menonton Coco sampai 3 kali 😀 Tentu sambil mewek… hihihi. Apalagi dalam ceritanya ada nama Imeldanya hahaha. Mama Imelda Rivera.

Mama Imelda

Menonton film itu, aku merasa bahwa kebiasaan untuk mendoakan dan menghormati leluhur itu sangat baik. Dan dalam semua agama yang kutahu, memang mengajarkan untuk menghormati leluhur. Aku jadi teringat kotbah seorang pastor dalam misa. Ada seorang lansia pria yang ingin dibaptis secara katolik. Waktu ditanya mengapa dia mau dibaptis, dia mengatakan, “Pastor saya ingin didoakan setelah saya meninggal nanti. Saya melihat orang katolik dalam misa pasti mendoakan mereka yang sudah mati, jadi saya juga ingin didoakan.” Suatu keinginan yang sederhana, tapi mengena kan?

Dan kemarin malam dalam doa virtual, kami juga mendoakan orang tua-orang tua kami yang sudah meninggal dunia. Termasuk mama…. How are you ma…. <3

Oh ya, persis minggu lalu aku juga bermimpi mengadakan pesta di Jakarta yang dihadiri saudara-saudara dekat seperti biasanya. Dan aku memeluk seorang oom, kakak mama Oom Lody yang sudah meninggal. Erat sekali sampai waktu bangun aku masih merasakan kehangatan pelukannya. Rupanya kerinduan untuk bertemu saudara-saudara semua sudah mencapai puncaknya ya?

Rindu itu pasti. Jenuh pun manusiawi. Tapi ingat, Tuhan tidak akan meninggalkanmu sendirian. Peluk dan doa untuk semua yang sedang kesepian.

Hand Gel

14 Feb
ハンドジェル アルコール洗浄タイプ 500ml 2本セット

Sejak tahun lalu, awal pandemi dinyatakan, barang ini dicari-cari. Sempat menghilang tapi sekarang sih sudah banyak tersedia di mana-mana. Jel untuk sanitasi tangan. Beruntung di Jepang, hampir di setiap toko, atau sekolah pasti disediakan hand gel ini. Aku pun rajin memakai setiap melihat keberadaannya. Kalau di rumah sih cukup dengan cuci tangan.

Aku mau cerita saja sedikit tentang hand gel yang membuatku sedih dan menangis hari ini. Entah kenapa aku kok cengeng sekali tadi.

Begini, pagi ini aku mengikuti misa online berbahasa Jepang. Biasanya berbahasa Indonesia, sehingga tidak begitu aku perhatikan apakah ada pengumuman ini. Yang pasti aku memang melihat pastor akan memakai hand gel pada awal misa dan sebelum membagikan komuni untuk yang hadir di kapel/gereja tersebut. Untuk kami yang online, kalau misa di Indonesia pasti ditayangkan lagu Komuni Batin, yang amat menyentuh juga (sering nangis juga sih sambil menyanyikannya).

Nah, tadi pagi ini, misa di katedral Tokyo. Saya memperhatikan bahwa misdinar memakai hand gel sebelum komuni. Pastor dan diakon juga memakai hand gel. Ini memang S.O.P nya begitu. Namun yang membuat aku terharu itu justru pengumuman dari lektornya.

“Dalam pembagian komuni, umat tetap berada di tempat. Pastor yang akan menuju Anda. Harap memakai hand gel yang disemprotkan oleh misdinar, dan selama menunggu hostia, jangan menyentuh apa-apa”.

Duuuh, terus terang aku baru pertama dengar pengumuman itu. Dan aku merasa sebal sekali. Kan pastor sudah pakai gel? Kenapa umatpun sampai harus pakai gel lagi persis sebelum menerima hostia. Hostia kan bukan metal yang bisa tertempel virus, dan tidak menularkan? Kesal karena situasi ini jarang aku alami. Karena aku tahu, kita harus menerima kondisi dalam New Normal ini. Dan ya, aku memang tidak bisa ke gereja tatap muka karena pilihan sendiri, karena mengurangi interaksi dengan orang lain setidaknya sampai akhir bulan Februari. Selepas itu, aku ingin kembali misa offline.

Dan ya, mungkin tidak lama lagi, manusia harus memakai baju astronot ke mana-mana seperti cerita-cerita science fiction itu? Jangan sampai deh 🙁

*galau di hari Minggu*