Syukurilah setiap anugerah perjumpaan karena setiap perjumpaan memberi perubahan dalam diri kita. Doakanlah setiap pribadi yang dijumpai karena melalui merekalah kasih Tuhan menjadi nyata dalam hidup kita.
Itu adalah status dari salah seorang Friend di Facebook saya, Robert Agung Suryanto OFM, seorang misionaris di Jawa Barat. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Pastor Robert tapi melalui rangkaian pertemanan yang lain, bisa menjadi friendnya. Dan pagi itu aku merasa sejuk dengan status itu, karena sesungguhnya aku pun merasakan hal itu.
Jika teman-teman membaca posting-posting teman-teman blogger akhir-akhir ini memang dipenuhi oleh nuansa kopdar dan ramadhan. . Kopdar itu sendiri merupakan kata khusus yang dipakai di kalangan blogger, singkatan dari kopi darat. Teman-teman maya bertemu di kenyataan = kopdar =pertemuan. Dan selama 2 minggu aku berada di tempat kelahiranku ini, hampir setiap hari kupenuhi dengan kopdar dan pertemuan.Dan laporan mengenai kopdar-kopdar itu belum sempat aku tulis di TE. Bagaimana bisa menulis kalau setiap hari jadwal padat? Atau jika ada waktu di rumahpun koneksi internet tidak memungkinkan? Benar-benar keteteran.
Kenapa sih aku begitu “getol” kopdar? Pernah kutuliskan dalam posting sang inyiak nya Putri di sini, sbb:
“It takes two to tango” kalau salah satu tidak mau tidak bisa terjadi sebuah rangkaian tarian indah.
Mas, aku senang kalau bisa mempertemukan sahabat-sahabat blogger, aku senang dia senang semua senang…apa lagi coba yang dicari. Apalagi kalau belum pernah ketemu. AKu ingin bisa bertemu semua kenalan, blogger, sahabat…at least sebelum semuanya terlambat dan Imelda hanya tinggal nama
Ada juga kok setelah bertemu malah menjauh dan bermusuhan, tapi yang penting aku sudah berusaha membuat jaring laba-laba yang kuat.
Kesempatanku hanya sekali setahun, karena aku jauh… Mungkin jika aku tinggal di Jakarta juga tidak akan segetol ini ingin bertemu teman
Hari Senin tanggal 25 Juli (aduh udah lama sekali berlalu ya?) itu aku melakukan dua pertemuan. Satu berupa kopdar dengan Uda Vizon dan satu berupa pertemuan dengan tokoh di dunia penulisan yaitu Mas Gola Gong. Keduanya orang yang saya hormati dan saya hargai karena kesederhanaannya sekaligus sepak terjangnya.
Memang sehari sebelumnya aku sempat kopdar dadakan dengan Uda Vizon, tapi saat itu boleh dikatakan aku tidak sempat bertukar sapa dengan Uda. Jadi pada pertemuan hari Senin itu aku mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap dengannya.
Aku mengenal Uda Vizon melalui blog om-pak-mas Ordinary Trainer (memang dia makelar blog sejak aku mengenalnya th 2008). Kami mulai menjadi akrab sejak aku merencanakan kunjungan ke Kweni untuk bertemu bocah-bocah yatim di sana, Maret 2009. Jadi kopdar pertama kami adalah tanggal 5 Maret 2009 di hotel Rumah Mertua Yogyakarta. Bukan saja di kopdar pertama saja, tapi sejak aku chatting persiapan kunjungan, aku banyak belajar mengenai muslim dan agama islam pada ustad bersahaja ini.
Setelah 2 tahun berselang, baru kami bertemu lagi kali ini di Jakarta. Tapi…rasanya kami sudah sering berjumpa, sampai aku kaget sendiri menemukan kenyataan bahwa aku dan Uda baru dua kali bertemu fisik. Rasanya aku cukup tahu tentang Uda dan keluarganya melalui blog, dan akhir-akhir ini melalui facebook.
Karena itu waktu kami melewati waktu dengan brunch sushi di Sushi Tei Plaza Senayan, kami tidak lagi bertanya “Bagaimana kabar keluargamu” tapi sudah langsung berbicara mengenai pemikiran-pemikiran dan cerita-cerita lain yang belum diketahui dari blog masing-masing. Tentang gempa di Tohoku, tentang PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) seorang anak di Padang yang menyebabkan bapaknya pindah kerja, pindah kota. Suatu cerita yang sama yang dialami oleh adik iparku pasca gempa, meskipun penyelesaiannya berbeda. Mengenai kuliner Jepang karena kami makan sushi, mengenai pendidikan di Jepang dan lain-lain. Silakan baca juga tulisan Uda tentang kopdar kami di sini.
Satu tambahan cerita seperti yang juga sudah dituliskan Uda yaitu waktu kami keluar dari restoran sushi kami berpapasan dengan 4-5 orang murid SMA berseragam. Kami menyatakan keheranan kami dengan berpandangan, dan membandingkan situasinya dengan kami di jaman dulu. Mau traktir makan bakso saja susah, ehhh ini ke restoran sushi yang sudah pasti jauuuh lebih mahal, dan … yah bukanlah tempat makan yang cocok untuk pelajar. Mewah!
Tapi ternyata aku baru mengetahui dari Apin sempai bahwa sekarang ada trend, kecenderungan di kalangan remaja untuk berlomba-lomba makan sushi. Seakan sushi itu menjadi “standar pergaulan”. Belum asyik rasanya kalau remaja sekarang tidak bisa makan sushi. Sehingga katanya banyak orang tua yang “terpaksa” mengantar anaknya makan sushi dan menraktir anak-anak di restoran sushi, sedangkan dia si orang tua sendiri tidak makan, HANYA SUPAYA ANAKNYA TIDAK KETINGGALAN JAMAN, dan tidak dikucilkan. Waaah suatu pendidikan yang salah. Jika alasannya untuk kesehatan (karena sushi itu memang termasuk makanan sehat) OK deh. Tapi untuk memenuhi standar pergaulan? Salah besar tuh. Turut prihatin atas kecenderungan ini. Di satu pihak aku memang senang bahwa semakin banyak orang Indonesia bisa makan dan mengetahui kuliner Jepang, tapi jika hanya untuk menjadi GAUL… tunggu dulu deh. Kerja dulu, cari uang sendiri dulu baru boleh makan makanan yang mahal. Tentu saja aku tidak menentang jika orang tua membelikan makanan mahal pada anaknya SESEKALI, karena aku juga selalu berusaha memberikan kesempatan pada anak-anakku untuk makan yang mewah dalam kondisi tertentu seperti peringatan/selamatan, tapi jangan jadikan kebiasaan. Memang benar “duit gue ini“, tapi pikirkan dampak negatifnya juga terutama di masa depan.