Sense of Service

29 Mar

Membaca tulisan Pak Oemar Bakrie soal sense of service, saya ingin mengumpulkan cerita pengalaman menyangkut s.o.s itu yang saya masih ingat.

Memang masalah “sense of service” ini orang Indonesia harus belajar dari orang Jepang. Banyak sekali yang saya bisa ceritakan sebagai contoh, tapi salah satunya terjadi seminggu yang lalu. Saya terlambat mendaftarkan kembali anak saya untuk kelas sepak bola. Lalu guru sekolah Olahraga itu menelepon saya dan menanyakan soal itu (mungkin kalau ini pasti dilalukan juga oleh marketing Indonesia). Saya katakan “Anak saya akan melanjutkan latihan sepak bola dan sekaligus saya pesan baju OR nya”. Supaya jangan terjadi kesalahan sang guru minta supaya saya mengirimkan fax orderan baju OR. Ada 3 item seharga 12.000 yen atau bisa juga hanya membeli celana pendeknya seharga 3.900 yen. Karena anak saya ingin punya baju atasannya juga, maka saya pesan 3 item. Fax…. dan tidak lama lagi sang guru telepon,

“Apakah benar mau 3 item, teman-teman Riku (anak saya) semua hanya membeli celana pendek saja. Kalau Ibu mau bisa diubah (menjadi celana saja)”. Saya katakan”tidak apa, tetap 3 item karena itu menjadi kenang-kenangan kalau dia lulus TK”. Di sinilah yang saya anggap sense of service orang Jepang top. Dia akan memikirkan konsumen bukan pihaknya. Kalau kejadian ini di Indonesia, pasti saya tidak akan dapat telepon, atau si guru pasti tidak akan beritahu bahwa teman-teman yang lain hanya membeli celana saja.

Pengalaman yang lain, waktu saya memesan barang keperluan rumah tangga di Koperasi via internet. Saya memesan satu plastik tissue kotak (isi 5 kotak). Waktu diantarkan ke rumah saya lihat memang ada secarik kertas ketikan yang ditempelkan ke situ, tapi saya tidak curiga apa-apa. Waktu kotak tissue tinggal 2 buah, saya mau membuang plastiknya, baru ketahuan bahwa kertas itu berisi pernyataan maaf. Saya baca lebih detil, ternyata seharusnya tissue yang saya pesan satu kotaknya berisi 180 lebar (two ply), tetapi yang diantarkan hanya berisi 168 lembar, jadi kurang 12 lembar setiap kotaknya (12×5 = 60 lembar). Dan untuk itu pihak koperasi mengurangi harga tissue tersebut sebesar 18 yen. Duuuh, saya juga tidak ingat, atau tepatnya tidak membaca dengan teliti seharusnya ada berapa lembar tissue dalam satu kotak. Seandainya pihak koperasi tidak menulis itu juga pembeli tidak akan sadar/ tahu. Kalau di Indonesia sudah pasti tidak ada pemberitahuan seperti begini (kesannya apatis sekali ya?)

Pembeli adalah Raja, benar-benar diterapkan di sini. Bukan hanya slogan belaka.